Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Kayu, Cerita Kampung

Bertolak dari perkakas kampung, pematung Anusapati menyangkal kelimpahan dunia modern. Karyanya mengandung wujud ganda yang sarat parodi.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KHAZANAH patung modern telanjur membiasakan kita dengan bentukbentuk kukuh, berat, menjulang, dan menaklukkan ruang, juga tak jarang monumental. Cap pribadi sang pematung konon membubuhkan nilai hakiki: menolak kesementaraan demi meraih ke- kekalan, sekurangnya menyangkal erosi terhadap bahan. Tetapi karya Anusapati bukanlah patung dalam arti demikian. Tiga belas patungnya yang dipamerkan di Galeri Nadi, Jakarta, pada 19 Juli-5 Agustus lalu, bukan hanya "kampungan", tetapi juga terlalu rendah hati untuk menyebut diri patung. Inilah karya yang menyadari proses pembentukan dan pelapukan materinya oleh alam. Bagi Anusapati, memilih kayu sebagai bahan utama dan satu-satunya adalah meng-hormati dan mengikuti tilas hidup pohonnya. Jejak pahatan atau sayatan justru menonjolkan urat kayu, lingkaran tahun, dan akhirnya warna kayu. Tanpa cat atau polesan lain, patung-patung ini seakan dibiarkan menempuh hidupnya yang kedua. Si pematung bukan hanya memilih kayu "bangsawan" seperti jati atau sonokeling, namun juga kayu yang biasa digunakan sebagai bahan bakar, seperti kayu mindi. Retakan pada karya yang terbuat dari mindi (misalnya seri Genesis) segera mengingatkan kerapuhannya. Akan tabahkah kita membayangkan pelapukan begini terjadi di ruang tamu dan ruang museum, misalnya? Wawasan patung modern kita juga terguncang oleh betapa dekat Anusapati kepada kebudayaan kampung, kepada perkakas kayu yang (pernah) luas terpakai di antara orang kebanyakan. Karyanya segera mengingatkan kita kepada lesung, perahu, kotak sirih, garu, kelenengan lembu, roda gilingan, dan beduk, misalnya. Tetapi pematung kelahiran Surakarta tahun 1957 ini bukanlah pecinta berat tradisi seperti pematung Gregorius Sidharta atau Amrus Natalsja. Dua yang terakhir ini terilhami ragam hias dan patung seni dari pelbagai khazanah etnik Nusantara. Dengan kata lain, mereka masih menggali kecantikan, eksotika, dan "seni murni". Sedangkan Anusapati, dengan memilih pertukangan dan keperajinan, justru membawa paradoks dari alam tradisi. Karya Anusapati mungkin mengantar nostalgia: kita pernah hidup di kampung, tapi kini kita tak di sana lagi. Rasa akrab kepada sifat perkakas kayu di ruang pameran mendekat dan menjauh silih berganti manakala kita menyadari bahwa fungsi, guna, sudah menyingkir dari "perkakas" Anusapati. Pada titik tertentu, pengambilan bentuk justru mendekatkan kita kepada watak alamiah kayu. Object 10, misalnya, adalah perancuan antara lunas perahu dan tempat sirih: ketika kita mencermati kontras antara bidang lurus dan lengkung yang merangsang gambaran akan dua perabot itu, menonjollah urat dan warna cokelat kayu jati. Ingatan kepada bandul kalung lembu terangsang oleh Object 12, namun kecembungan patung selebar dua jengkalan ini mencetuskan warna kekuningan dan barik dari bahannya, kayu nangka. Terkadang terasa juga si pematung lebih menonjolkan proses pertukangan ketimbang wujud akhir patungnya. Pada Artefact 1 terasalah bagaimana gelondongan jati itu dipotong, dilubangi, dan nyaris dimuluskan. Inikah bakal tubuh beduk yang menunggu kulit dipasangkan pada kedua ujungnya? Bukan, sebab tiga kasau besar menembus tubuh kayu secara mendatar dan vertikal, meninggalkan perpaduan antara bentuk lingkaran dan palang, yang "menggema" dalam rongga kayu. Demikian pula dengan empat bilah kayu bengkirai dalam Artefact 2, yang berpaut dengan bentuk setengah pinggan dari kayu nangka. Pertautan yang pas antara trapesoid dan oval, antara warna kemerahan dan kekuningan kedua jenis kayu, seakan hanya terjadi jika pasak, "teknologi" konstruksi yang sudah amat tua itu, digunakan dengan tepat, sesadar-sadarnya. Keserbacukupan. Itu yang bisa kita katakan tentang watak patung Anusapati yang dibuat pada 1997-2001 ini. Patungnya tak menyimpan tenaga yang kuasa mendesak dan menguasai mata. Seakan bentuknya sudah terkandung dalam bahan asalnya, yang sering berupa "potongan atau limbah kayu yang telah rubuh atau ditebang orang, sementara bagian yang lebih besar telah digunakan untuk barang kebutuhan sehari-hari". Kurator Hendro Wiyanto menulis bahwa kesadaran memilih kayu dan bentuk perabotan kampung itu adalah kritik bermata dua: terhadap penggunaan bahan serba mengkilat dan luks yang menjadi pilihan utama para pematung, dan terhadap budaya masyarakat dalam memamah barang yang memancarkan kemodernan dan kemewahan. Tapi saya tak yakin bahwa alumni School of Art and Design, Pratt Institute, New York, 1998-1991 ini menjadi pemuja kampung atau ibu pertiwi. Pertautan antarelemen, juga raut karyanya, memperlihatkan efisiensi dan hitungan rinci, kaidah yang berlaku dalam abad mesin. Yang ditentang si pematung adalah kemubaziran dan keserbalimpahan dunia modern, bukan prinsip dasarnya. Layaknya menolak untuk hanyut ke dalam nostalgia, ia menyadari masa purnawaktu perkakas kayu sekalian bersama masyarakat pendukungnya. Perancuan dua bentuk—misalnya antara lunas perahu dan kotak sirih (Object 10), antara bel lembu dan ekor ikan (Object 11), antara roda gilingan dan payung atau kapak (Imbalanced)—boleh kita anggap parodi terhadap kegunaan dan bentuk perabot asal. Barangkali Anusapati mencurigai kebudayaan kampung seraya mencintainya? Karena ia telanjur bermain mata dengan khazanah patung modern? Puncak parodi demikian adalah Confession, judul yang membawa kita ke khazanah Kristiani. Kita mengenali citra lesung, yang diberdirikan, menyambung, pada pedestal. Namun "perkakas" ini mengandung citra lain, yakni tubuh manusia. Pada ceruk badan kayu jati yang nyata uratnya itu terdapat bentuk jantung yang sungguh menonjol, seperti berdegup, lalu bentuk jendul di bagian atas, menandakan kepala. Ada suasana teduh dan khusyuk di sini: tubuh itu seperti sedang berdoa atau mengaku dosa. Atau ia jenazah yang belum kehilangan hangat tubuh. Tapi perlahan-lahan, kita menyadari citra lain. Pada bagian kepala, Anusapati menautkan, dengan pasak yang amat kentara, dahan mindi yang masih berkulit kayu, horizontal. Teranglah, citra lengkap yang terakhir ini adalah tubuh di kayu salib. Katakanlah tubuh Kristus. Siapa telah berdosa? Lesung yang menyangkal fungsinya dan mau menjadi seni? Manusia yang tak kuasa memelihara tradisi dan kehidupan kolektif dan karena itu terkutuk jadi seniman? Ternyata, manusia dan perkakas bergabung untuk bersama-sama mengaku dosa: lalu wujud ganda ini menjadikan diri sendiri sang juru selamat. Namun, parodi begini bisa juga berlaku sebaliknya: sang penebus dosa ternyata hanya tampak sebagai lesung sisa yang tak lagi berguna, yang memerlukan uluran tangan si pematung agar tampak nyata. Menyadari hal ini kita mungkin ketawa, terbalik dengan suasana haru-syahdu pada peristiwa mengaku-dosa yang sesungguhnya. Maka, kentaralah bagaimana Anusapati menyadari paradoks dalam mengambil gaya kampung: antara ketabahan membendung budaya industri yang mendunia dan bahaya mengidealkan masa lampau, antara kearifan tradisi dan sihir orientalisme, antara daya alam dan ancaman perusakan. Paradoks ini dalam Confession dilunakkan sebagai harmoni antara kehidupan dan kematian, pengakuan dosa dan pembebasan, benda dan manusia pengguna benda. Maka, ketimbang terbeban (atau terkutuk) oleh warisan moyang, baiklah si seniman mengambil bentuk lain yang bukan perkakas, misalnya telur, dalam hal ini telur yang telanjur masyhur dalam khazanah patung modern dunia: telur dari marmer putih oleh Constantin Brancusi. Telur Brancusi yang berjudul The Newborn (1915) itu mengandung citra lain: kepala bayi yang menangis. Enam telur kayu Anusapati sebesar kepala yang berjudul Genesis itu, khususnya telur pertama, adalah parodi terhadap si telur marmer: ia mempertajam sudut dan lekuk Brancusi, ia "merusak" kesederhanaan, kesetimbangan, dan kehalusannya. Sumbu telur Anusapati mengikuti arah tumbuh pohon, sehingga menonjollah lingkaran tahun. Empat telur pertama dari kayu mindi: kita segera teringat bahwa bahan ini tak akan awet, bahkan belum selesai mengering, ada retakan alamiah yang sejajar dengan sumbu. Jika kita merujuk ke judul—asal-mula, kejadian, penciptaan—terasalah paradoks, sebab retakan itu mencitrakan pelapukan, pemusnahan, kematian. Bidang cembung permukaan telur belum lagi sempurna, ada jejak pahatan di situ. Dan kecembungan ini dicacati oleh ceruk cekung halus dari mana tumbuh sebuah bidang vertikal (Genesis 1), yang membesar terus untuk melawan kodrat telur, yang bersama ceruk bersudut dan melingkar yang lain membentuk "struktur" seperti bagian dari mesin atau arsitektur modern (Genesis 2-4). Lalu kita mendapat telur yang sempurna: dua belahan dari kayu mindi dan sonokeling yang bertangkup dengan pasak (Genesis 5), namun kesempurnaan ini terganggu oleh kontras antara warna pucat dan kelam dari dua jenis kayu, lalu oleh ikatan bersudut dari keduanya. Bila kita beroleh telur yang kukuh karena terbuat dari sonokeling seluruhnya, ceruk bersudut tajam di situ menggoyahkan harapan kita akan kemandirian telur (Genesis 6). Tak kurang dari 10 tahun Anusapati bergelut dengan perkakas kampung. Genesis mengisyaratkan bahwa ia sedang melintasi titik jenuh kemapanan bernama gaya kampungan ini. Seperti sang telur, mungkin ia sedang menetaskan diri. Dengan jalan menyerap kampung baru, kampung dunia (dan bukan sekadar kampung Nusantara), yang sesungguhnya kini sudah terjajah plastik, kaca, beton, dan baja? Ataukah ia bergerak kian melawan para pemuja kemajuan dan kelimpahan, yaitu ke arah nirbentuk, kekosongan, dan makrifat? Siapa tahu ia akan memadukan dua jalan ini, setia kepada paradoks yang tarkandung dalam karyanya yang barusan kita tatap. Nirwan Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus