Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berkunjung ke Museum Avianti

Avianti memilih ruang masa kecil sebagai museum, bukan rumah, taman, apalagi sekolah.

4 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Berkunjung ke Museum Avianti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setyaningsih
Kontributor penulis buku anak Kacamata Onde

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Avianti memilih ruang masa kecil sebagai museum, bukan rumah, taman, apalagi sekolah. Pengungkapannya tidak dalam bentuk prosa biografis, melainkan puisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketiadaan sampul menampilkan huruf ala pukulan mesin tik, punggung buku dijahit benang, sekaligus kertas tampak grepes-grepes di pinggiran, inilah visualisasi buku puisi terbaru Avianti Armand, Museum Masa Kecil (2018). Andai logo Gramedia Pustaka Utama tidak nekat tampil di kanan atas, kita bisa menganggap permainan desain buku Avianti Armand dan rekannya, Kristin Monica, sungguh serius ingin kembali ke masa lampau. Seolah-olah, lembaran masa kecil Avianti Armand memang sebuah manuskrip kelahiran dari fase kehidupan seorang bocah. Avianti menulis (ulang) masa kecil yang diakui, "menyimpan dan menghadirkan ‘benda-benda’ yang pernah tinggal atau sekadar lewat di masa kanak-kanak saya; seperti cerita-cerita sebelum tidur, kelas menggambar, perbincangan tentang jarak ke bulan, kartu pos, kaktus di lantai lima, buku alamat, bermain hujan, ketakutan menjadi tua, juga kematian."

Kita biasanya menemukan pengungkapan masa kecil dalam bentuk prosa biografis, bukan puisi. Penulisan masa kecil pernah dilakukan oleh Nur St. Iskandar dalam Peng-

alaman Masa Kecil (Balai Pustaka, 1979) atau M. Rajab di Semasa Kecil di Kampung, Anak Danau Singkarak (2011), yang diterbitkan Balai Pustaka dan terus dicetak ulang. Sastrawan agung dunia seperti Garcia Gabriel Marquez pun mengungkapkan masa kecil dalam autobiografi Jalan Hidupku sebagai Juru Kisah, yang diterjemahkan oleh Tia Setiadi (Komodo, 2012). Masa Kecil (Basabasi, 2017) Leo Tolstoi pernah diterjemahkan Deasy Serviana. Ayu Utami membawa kita ke semesta Rabindranath Tagore dengan menerjemahkan Tagore dan Masa Kanak (KPG, 2011). Roald Dahl menulis kisah masa kecil bergambar yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Poppy Damayanti C., Boy: Kisah Masa Kecil (Gramedia, 2004). Dalam prosa biografis, pengingatan dan pengalaman sering jadi alasan kehidupan kanak dituliskan. Dalam puisi, bahasa lebih kentara bermain dalam metafora. Masa kecil tak melulu pengingatan kembali, tapi juga merekonstruksi.

Avianti memilih ruang bermasa kecil itu sebagai museum, bukan rumah, taman, apalagi sekolah. Hal ini menunjukkan kepemilikan Avianti pada waktu dan peristiwa yang direkonstruksi untuk "dikunjungi" pembaca. Sekalipun kunjungan pembaca mungkin memantik biografi kanak bersama, museum tetaplah privat bagi Avianti seorang. Kesan anonimitas pada puisi justru makin merujuk pada satu nama: sang penyair. Kita bisa menyimak sambutan pembukaan museum, Akhirnya museum itu dibuka kemarin. Tak banyak yang datang./ Alamatnya agak susah dicari : Hujan, Gelas Susuk Ke-3,/ satu belokan sebelum pagi. Di dalamnya dideretkan/ yang hilang dan yang ditemukan/ dari masa kecil.

Biografi bacaan di masa kecil kuyup membentuk diksi Avianti, melakukan pengungkapan yang lugu dan mungkin terlihat tanpa tendensi. Tapi puisi-puisi Avianti jelas digarap saat dewasa dengan kondisi pikiran, kebahasaan, dan perasaan yang lebih mapan. Kita cerap puisi Kelas Menggambar berikut ini: Di Kelas Menggambar kami belajar menggambar peta/ perjalanan cahaya dan cahaya mengubah benda-benda menjadi ada/ dan satu saat nanti kami akan ingat bahwa kami pernah cahaya/ sebelum cahaya.

Pengungkapan Avianti di dunia Alice berhasil karena jelas dia berkuasa atas bahasa tulis, bukan bahasa tubuh sebagai tindakan khas anak-anak. Seorang anak perempuan tertinggal sendiri di sebuah airport kecil,/ pukul dua dini hari. Ia tidak menangis, hanya mencari kelinci yang/ katanya lari entah ke mana./ "Siapa namamu?" Tanya petugas./ Alice, jawabnya, begitulah uturan Avianti dalam Meja Perjamuan Paling Panjang di Dunia. Ketika cerita menyapa di masa kecil, merasuknya raga dalam cerita mungkin terjadi tanpa penilaian, meski kemampuan berbahasa sudah terjadi. Puisi ini bertanda 01: 01/ 04.01.2017. Avianti menggarap ulang cerita Lewis Carol bukan sebagai "pengarang yang lain". Posisi Avianti justru lebih kuat sebagai Alice.

Dalam puisi Malam yang dipersembahkan kepada ibu, pembaca bisa menduga-duga kenapa ibu lebih sering hadir daripada ayah secara tertulis ataupun tidak. Puisi-puisi Avianti seperti menghilangkan peran ayah yang dominatif. Tidak ada ayah yang berkuasa, mencipta ketentuan, dan membangun proteksi ketat-longgar. Pun, tidak tampak konflik atau trauma masa lalu yang membuat anak tidak harus "mencipta" bapak (keluarga). Kita cerap, Seperti ini aku akan mengingat malam:/ Ayahku terbang setelah gelap/ dengan deru besi seperti derap/ dan ia belum akan pulang/ sampai aku pergi nanti./ Kata ibuku:/ Kehilangan adalah jarak/ yang terlalu jauh.

Di Indonesia, keluarga membingkai ayah, ibu, anak dalam ikatan eksistensi sosial. M.A.W. Brouwer (1985) mengatakan kesosialan ini membawa ayah, ibu, dan anak sebagai insider yang mengada atas nama pertalian, loyalitas, kebanggaan, dan lain-lain. Keluarga meneduhi setiap harmoni dan konflik yang tercipta seiring dengan perbedaan peran dan harapan. Avianti lebih ingin bertindak sebagai anak yang keluar dari kelembagaan keluarga. Puisi menjelma menjadi lahan merdeka untuk berlari, bersembunyi, terbang, dan bahkan bila perlu mati tanpa ketahuan.

Penerbitan Museum Masa Kecil tidak akan memudahkan kita, para pengunjung, mengambil kesimpulan paling umum dari sebuah kehidupan yang lampau: bahagia atau sedikit bahagia. Seperti tindakan lumrah berkunjung, ada ruang-ruang yang patut ditinggalkan segera atau membikin jenak sampai tidak mau beranjak. Avianti sadar, setiap manusia dewasa adalah pengenang ulung atas masa kecil. Sekalipun setiap orang, penulis atau bukan penulis, tidak selalu ingin mengungkap. Entah karena efek traumatis atau masa itu tidak lebih baik dari masa-masa hidup setelahnya. Dalam Halte, Avianti masih sempat berpesan, "Aku menunggu di halte dengan hujan./ Tuhan (yang terlambat)/ jangan lupa membawa masa kecilku/ yang tertambat/…

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus