Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menengok ke Timur

East Cinema memutar 30 film dari Indonesia bagian timur dan dunia timur yang berkonflik.

4 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
East Cinema memutar 30 film dari Indonesia bagian timur dan dunia timur yang berkonflik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan susah payah, akhirnya celana cawat hijau itu berhasil diraihnya dengan gagang payung warna pelangi. Sayangnya payung itu menyenggol gelas hingga terjatuh. Tentu saja si empunya rumah lalu bergegas mencari tahu, namun tak ada siapa pun di luar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya bocah perempuan yang mencuri cawat hijau ini ketahuan sembunyi. Jadilah ia dikejar-kejar si empunya cawat. Setelah aman, barulah bocah berpayung ini keluar dan melemparkan cawat tersebut ke genting seng permukiman kumuh itu. Hujan kemudian reda. Penonton pun bisa melihat belasan celana dalam di atap rumah-rumah itu, tentu, dengan tawa kecil yang sulit ditahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari terang-benderang ketika hatinya gembira dan bisa memakai sepatu biru baru. Dengan senyum lebar, gadis kecil itu memamerkan sepatu itu kepada lelaki tua di rumah yang dilewatinya. Apa daya, tak lama kemudian hujan kembali deras menyiram bumi. Ia pun kembali kecewa karena hujan mengotori sepatu barunya.

Film karya Aditya Ahmad berjudul Sepatu Baru itu dibuat pada 2013. Karya ini mengambil setting di Makassar dengan memotret tradisi menghentikan hujan dengan cara melempar celana dalam ke atap. Mungkin tradisi ini pun bisa ditemui di bagian lain bumi Nusantara. Film yang mendapat penghargaan Special Mention Berlin International Film Festival ini diputar kembali dalam East Cinema Postfest 2018 di Kineforum.

East Cinema merupakan bagian dari rangkaian acara Post Fest 2018. Acara ini menyajikan 30 film dari dunia Timur (Palestina, Afganistan, Irak, dan Suriah), dan Indonesia timur (Papua, Makassar, Palu-Kendari, dan Ambon). East Cinema berlangsung pada 3-5 Agustus 2018 di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Film lain yang turut diputar adalah Pendayung Terakhir yang bercerita tentang penderitaan para ojek perahu di Ambon setelah berpuluh tahun tergilas megahnya jembatan Merah Putih. Jembatan ini merupakan proyek terpanjang di kawasan Indonesia timur yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2016. Sutradara Ali Bayanudin Kilbaren memotret kemiskinan yang makin menjadi-jadi dari keluarga Arif Ren’al setelah kehilangan penghasilan sebagai pendayung.

Ada juga kisah bocah yang membunuh kebosanan dan bermain-main sendiri di halaman belakang karya Yusuf Rajamuda. Film berjudul Halaman Belakang ini pernah mendapat beberapa penghargaan di berbagai festival di dalam dan luar negeri. Diputar pula film dokumenter tentang Kampung MacArthur di Papua. Ini adalah sebuah kampung bernama Werur di Nuigini Belanda, tempat pasukan Jenderal Douglas MacArthur mendarat pada 1944. Lewat film ini sutradara Danny Mambrasar melihat sisa-sisa artefak peninggalan pasukan sekutu itu. Sebuah situs sejarah, bekas lapangan terbang untuk merebut Filipina dari Jepang. "Saat pengambilan gambar kami masih menemukan sisa-sisa botol, bayonet, peluru dan lainnya," ujar produser film Andrianus Oetjoe.

Pelaksana program Sofia Setyarini menuturkan memilih film dari bagian timur tak lain karena ingin menghadirkan sesuatu yang lain. "Dari wilayah-wilayah itu penonton bisa tahu, melihat sisi lain dunia yang di media selama ini diberitakan sebagai wilayah konflik. Di Indonesia, saatnya kita melihat kebangkitan dari timur," ujarnya kepada Tempo, kemarin.

Sofa mengatakan selama ini film alternatif dari wilayah Asia atau konflik tak banyak dipertontonkan. Dari sana pun bisa diperbandingkan proses, ide, teknik, dan konten. Mereka menciptakan film-film bermutu, tidak lebay, dan dibuat dengan kesungguhan. "Mereka di wilayah konflik, yang setiap saat siap mati, tapi mereka bisa bikin film seperti itu."

Lihatlah film Far’falastine yang bercerita tentang desa kecil di Palestina yang selalu dalam keadaan darurat. Film ini meneropong kehidupan beberapa warga Susya. Atau film Dyab dari Irak yang bercerita tentang gadis bernama Dyab yang tinggal di sebuah kamp pengungsi. Desanya dihajar kaum ekstremis. Ia bermimpi menjadi seorang sutradara film. Dari Dyab kita juga bisa melihat bagaimana penderitaan tinggal di negeri yang tak berhenti perang. Lihat pula kisah berjudul Standing Death yang didasarkan dari kisah nyata seorang petani yang menjadi buta dan merasa tanahnya masih penuh ditumbuhi pohon palem. Nasibnya kemudian tak berbeda dengan pohon palem yang mati karena perang.

Film-film menarik dari Afganistan, seperti Mary Mother, Water, dan The Luck Bird, lalu dari Suriah ada From The Edge of Sanity yang bercerita tentang perjuangan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang meninggalkan tanah kelahirannya, mencari peruntungan hidup yang lebih baik ke Eropa. DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus