Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berlinale, Edwin, dan Ragunan

Postcards from the Zoo, sebuah film karya Edwin, sutradara muda kita, masuk seksi kompetisi Festival Film Berlin (Berlinale). Berlinale adalah festival film bergengsi terbesar di dunia setelah Oscar dan Cannes. Zoo bersaing dengan 17 film lain. Meski akhirnya tak meraih Golden Bear, penghargaan tertinggi Berlinale, film ini cukup mendapat perhatian media dan pasar film.

Apa yang menggugah dari film yang separuh syutingnya dibuat di Kebun Binatang Ragunan ini? Bagaimana posisinya di tengah film Italia, Jerman, Cina, dan Prancis, yang juga bertanding dalam seksi kompetisi? Dan apa saja film Indonesia yang tampil di seksi lain Berlinale? Ikuti liputan Tempo dari Berlin.

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jemari puluhan fotografer sigap mengklik tombol kamera begitu Edwin menjejak karpet merah Berlinale Palast, Potsdamer Platz, Berlin, dengan menggendong anaknya, Jiri, yang masih berusia dua tahun. Mereka meminta lelaki 33 tahun itu lebih mendekat. Jiri terlihat mendekap sebuah boneka beruang. Beruang-beruangan tersebut pemberian Dieter Kosslick, Direktur Berlinale.

Sore 15 Februari lalu, angin musim dingin berembus kencang di Berlin. Eropa masih mengalami cuaca ekstrem. Sungai-sungai beku. Udara minus beberapa derajat Celsius. Terasa menggigilkan. Namun sore itu merupakan peristiwa bersejarah bagi perfilman Indonesia. Sebuah film Indonesia secara terhormat masuk seksi kompetisi. Postcards from the Zoo karya Edwin bersaing dengan 17 film dunia lainnya merebut penghargaan tertinggi, Golden Bear.

Dengan topi hitam khasnya, Dieter Kosslick menyambut hangat rombongan Indonesia. Edwin didampingi pemain utama Nicholas Saputra dan Ladya Cheryl serta kru Zoo: Sidi Saleh (penata kamera), Wahyu Tri Purnomo (penata suara), dan Meiske Taurisia serta Kemal Arsjad (produser). Dari BMW hitam lain juga muncul mengawal Edwin ke karpet merah: Lalu Rois Amriradhiani, pegiat festival film; M. Abduh Azis, Ketua Panitia FFI 2011; Duta Besar Indonesia di Jerman Eddy Pratomo;, Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Ukus Kuswara; serta istri dan mertua Edwin, Marsillam Simandjuntak.

Udara dingin terasa terkalahkan oleh rasa bangga menyaksikan puluhan jurnalis mengabadikan momen itu.

l l l

Meskipun Edwin tak meraih Golden Bear, apresiasi datang dari mana-mana. Sehari sesudah pemutaran, Berliner Zeitung, salah satu koran terbesar di Berlin, memuji film Edwin. Demikian juga Screen, majalah resmi untuk festival, dan Hollywood Reporter.

Golden Bear jatuh ke Caesar Must Die, karya sutradara kakak-adik Paolo dan Vittorio Taviani. Taviani bersaudara kita kenal sebagai sutradara kawakan Italia peraih Palem Emas di Cannes 1977 untuk film Padre Padrone. Dewan juri Berlinale kali ini dipimpin sutradara kawakan Inggris, Mike Leigh.

Sebagai pemenang Silver Bear (Jury Grand Pix), Mike Leigh dan kawan-kawan memilih film Just the Wind karya sutradara Hungaria, Bence Fliegauf. Sutradara terbaik jatuh ke Christian Petzold dari Jerman lewat film Barbara. Aktor terbaik adalah Mikkel Boe, pemeran film Denmark, Royal Affair. Dan aktris terbaik Rachel Mwanza dari Kongo dalam film War Witch.

Selama ini Berlinale terkenal dengan film politik. Kita ingat Zhang Yimou melejit ke dunia internasional setelah karyanya, Red Sorghum, meraih Golden Bear pada 1987. Ada kritik, selama kepemimpinan Dieter Kosslick, film-film makin dibebani eksperimentasi artistik dan semakin idealistis. Tapi juga ada yang melihat Kosslick memasukkan film-film yang cukup berselera umum.

Namun, kita lihat, film yang masuk seksi kompetisi kebanyakan film dengan dramaturgi dan struktur yang tak lazim. Film dengan plot, konflik, dan titik-titik klimaks yang tidak menggunakan resep Hollywood.

Tengoklah film terbaik Berlinale tahun ini, Caesar Must Die. Ini diangkat dari naskah klasik William Shakespeare. Di Indonesia, naskah ini sudah biasa dimainkan oleh Teater Lembaga atau Studiklub Teater Bandung. Namun tidak terbayangkan naskah itu dieksekusi seperti ini. Caesar mengambil lokasi di penjara tahanan kelas berat Rebibbia, Roma. Semua aktornya adalah pembunuh, perampok, dan mafioso yang dihukum 14 tahun penjara hingga seumur hidup.

Film dimulai dengan adegan Brutus menghunjamkan belatinya ke badan Julius Caesar di aula penjara. Dan keluarlah kalimat penghabisan yang terkenal itu: "Engkau juga, Brutus?" Panggung gelap, aula kosong, para aktor kembali seperti semula: narapidana. Mereka digiring balik ke sel masing-masing.

Film berubah menjadi hitam-putih dan kilas balik ke proses awal produksi drama, enam bulan sebelumnya. Film memperlihatkan bagaimana proses casting terjadi. Pengambilan gambar seperti sebuah interogasi. Latihan-latihan awal di bawah pimpinan sutradara teater Italia terkemuka, Fabio Cavalli. Cavalli mengubah banyak dialog Shakespeare sesuai dengan latar belakang para pesakitan. Dia membiarkan napi berbicara dalam logat daerah masing-masing, Italia ala Napoli, ala Milano, ala Cagliari, dan sebagainya.

Sebagian latihan berlangsung spektakuler. Salah satunya, pidato Brutus di depan jenazah Caesar dilakukan di halaman dalam yang luas. Di situ ia sendirian bersama mayat Caesar yang terbaring dibungkus kafan putih. Sedangkan rakyat Roma adalah para narapidana yang merespons melalui jendela sel-sel mereka yang mengelilingi halaman. Akhirnya, ketika layar ditutup, para pesakitan melepas kostum, sipir menggiring mereka kembali ke sel masing-masing. Pintu sel dikunci dari luar. Di dalam, Cosimo Rega, pemeran Cassius, menatap kamera, "Sejak mengenal seni, sel ini berubah menjadi penjara."

Tengok bagaimana dramaturgi film peraih Silver Bear, Just the Wind, karya Bence Fliegauf dibangun. Film ini berbicara tentang rasisme di Hungaria. Mereka yang berpendapat bahwa sebuah film, dalam 15 menit pertama, harus segera diketahui duduk perkaranya pastilah kurang sabar menyaksikan film ini. Film ini hampir 50 menit menyajikan situasi keseharian seorang ibu bernama Mari (Katalin Toldi), yang bekerja sebagai pembersih, dengan dua anaknya, Anna dan Rio. Mereka terlihat sebagai keluarga miskin. Wajah mereka tampak menyimpan kepedihan, bahkan tatkala berenang, bermain di sungai.

Kita tidak tahu mengapa wajah mereka seperti meredam ketakutan sampai kita tiba pada sebuah adegan, menjelang akhir, tatkala Mari melintas di jalan dan menyaksikan keributan di antara beberapa laki-laki, yang dimaki-maki sebagai gipsi. Adegan itu hanya sekilas, tapi merekatkan dan memberi konteks sosial semua serpihan situasi. Kita segera tahu bahwa Mari adalah bagian dari masyarakat pinggiran gipsi yang sering menjadi target kekerasan. Eskalasi film langsung meningkat. Malam saat ia hendak tidur, terdengar suara bergeresekan di rerumputan. "Itu hanya angin," ujar Mari menenangkan anaknya di tempat tidur. Tapi kemudian kita mendengar suara tembakan. Di akhir, di sebuah rumah sakit, film memperlihatkan tubuh mereka bolong-bolong. Mereka dibantai. Film ini juga menyabet Amnesty Film Prize.

Film Just the Wind adalah contoh bagaimana sebuah film membicarakan politik tanpa banyak menampilkan adegan klise politik. Demikian juga Barbara, yang membuat Christian Petzold dianugerahi sutradara terbaik. Film ini bercerita tentang Barbara (Nina Hoss), seorang dokter di Jerman Timur zaman komunis. Pada 1980, ia dibuang ke sebuah rumah sakit di kota kecil di Jerman Timur karena mengajukan permintaan pindah ke Jerman Barat untuk menyusul kekasihnya.

Film mencekam kita sejak menit pertama Barbara digulirkan Petzold secara sangat hati-hati dan telaten. Dalam film ada sosok Schütz, perwira Stasi, polisi rahasia setempat, yang sepertinya tugas utamanya mengawasi Barbara. Petzold memaparkan pengawasan itu secara perlahan. Penuh ketegangan, penuh teka-teki.

Akan halnya permainan aktris Kongo, Rachel Mwanza, dalam film War Witch, yang membuatnya dipilih sebagai aktris terbaik, memang mengesankan. Film karya Kim Nguyen ini berkisah tentang seorang gadis umur 12 tahun bernama Komona, yang diculik gerilyawan Macan dan dipaksa menembak orang tuanya sendiri. Dalam hutan Kinshasa ia dilatih berperang. Ia dianggap memiliki kemampuan cenayang, mampu melihat hantu, yang menyebabkan para gerilyawan lolos dari sergapan pasukan pemerintah.

Hantu itu bergelantungan di pohon, berdiri terpaku, menghalangi mereka. Menurut catatan sutradara Kim Nguyen, dia sama sekali tak memberi skenario lengkap kepada para pemain. Ia hanya membagikan kelanjutan naskah sebelum tiap syuting dimulai. Para aktornya tak tahu apa yang bakal terjadi dengan karakternya.

Mwanza mengalahkan aktris hebat Prancis, Isabelle Huppert, yang berperan sebagai pekerja sosial yang disandera oleh kelompok teroris Abu Sayyaf di Filipina dalam film Captive karya sutradara Filipina, Brillane Mendoza. Dalam film ini, kamera tenteng menciptakan efek kejadian nyata. Cukup menegangkan, tapi secara umum terasa sebagai film laga biasa. Mwanza juga mengalahkan Agathe Bonitzer yang memerankan Gaèlle, seorang gadis yang diculik selama delapan tahun, dalam film A Moi Seule besutan sutradara Prancis, Frédéric Videau.

Film dahsyat White Deer Plain karya sutradara Cina, Wang Quan, bahkan tidak meraih apa-apa. Selama tiga jam kita bisa tetap terpaku di kursi menyaksikan film ini. Wang adalah peraih Golden Bear pada 2007 untuk film Tuya Marriage. White Deer berkisah tentang kehidupan sebuah desa kecil di Provinsi Shaanxi pada akhir zaman Qing pada 1910 sampai kedatangan Jepang pada 1938. Pergesekan antara ideologi Chang Kai Sek dan Mao terekam dalam hubungan dua keluarga besar, keluarga tetua klan Bai Jiao Xuan (Zhang Feng Yi) dan keluarga kepala desa Lu Zilin (Wu Gang).

Film ini bertolak dari novel Cheng Zhongshi yang bertahun-tahun dilarang terbit karena penuh deskripsi seks. Dalam film ini, ada sosok Xiaoe (Zhang Yu Qi), seorang perempuan yang melakukan affair dari satu keluarga ke keluarga lain. Kemampuan Wang Quan merangkai lapisan-lapisan plot penuh intrik dan erotisme itu memukau. Tapi, karena mungkin hal demikian sudah sering disajikan sutradara Cina lainnya, seperti Zhang Yimou dan Chen Kaige, film ini tak menang.

l l l

Masalah cinta juga tersaji dalam film-film yang dipilih di seksi kompetisi. Film Tabu karya sutradara Portugal, Miguel Gomes, membicarakan cinta secara unik. Film ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berkisah tentang wanita setengah baya bernama Pilar (Teresa Madruga) di Lisabon yang bertetangga dengan seorang perempuan berumur 80 tahun bernama Aurora. Aurora sakit keras. Sang tetangga sering bermimpi tentang anak buaya. Saat sekarat, Aurora menyuruh Pilar bertemu dengan lelaki bernama Gianluca Ventura di panti jompo.

Film lalu meloncat flash back ke bagian kedua di perkebunan teh Mozambik. Gianluca muda (Henrique Santo) membentuk sebuah band yang menyanyikan lagu-lagu penyanyi kondang Amerika, Phil Spector. Di sini ia bertemu dengan Aurora (Ana Moreira). Mereka berselingkuh. Suami Aurora terbunuh. Mereka lalu minggat dan sama-sama tinggal di Lisabon meski tak pernah bertemu. Sampai Aurora mati. Yang menarik, seluruh film ini disajikan hitam-putih. Terasa parodi terhadap romantisisme-romantisisme kolonialis.

Lalu ada film Meteora karya Spiros Stathoupoulos (Yunani). Ini kisah percintaan biarawan Katolik Ortodoks Yunani bernama Theodoros dan biarawati Ortodoks Rusia di Meteora. Meteora adalah kawasan biara kuno di Yunani Selatan yang letaknya berada di ketinggian tebing-tebing karang. Tempo pernah mengunjungi lokasi ini. Kawasan ini sudah terbuka untuk turis. Dulu ada 16 biara di sana, tapi kini hanya ada enam yang bisa dikunjungi. Lainnya sudah menjadi reruntuhan. Dulu, untuk mencapai kapel di pucuk karang, para biarawan harus dikerek dengan keranjang. Setiap biara memiliki balkon dan teras yang luas, sehingga panorama Kota Kalambaka di bawahnya terlihat jelas. Spiros Stathoupoulos memanfaatkan keajaiban lanskap ini menjadi sebuah kisah cinta yang sublim.

Tema kematian juga mewarnai kompetisi. Aujord Hui (Hari Ini) karya sutradara Prancis, Alain Gomis, berkisah tentang Satche (Saul Williams), seorang lelaki dari Amerika yang pulang ke kampungnya di Senegal hanya untuk, secara sadar, menjemput ajal. Satche menjelajahi kota, menemui pacar pertamanya, pejabat kota, bahkan pengurus mayat yang nanti akan mengurus jenazah dia. Film memunculkan letupan-letupan kecil yang menampilkan gejolak batin Satche, yang pada hari terakhir hidupnya terpana oleh begitu banyak hal yang pada hari lain tak pernah terbayangkan.

Lihatlah juga bagaimana kematian dalam film Mercy karya Matthias Glasner disuguhkan sangat subtil. Kita dibawa kamera ke sebuah kota kecil bernama Hammerfest di tepi Laut Norwegia yang ditutupi salju. Kota itu seolah-olah sudut paling dingin di dunia. Di situ berlangsung polar night—matahari tak terbit dan suasana gelap. Pada suatu malam, Maria (Birgit Minichmayr) menyetir dan menabrak sesuatu. Ia tak tahu menabrak apa. Sang suami, Niels, mengecek dan tidak menemukan apa-apa. Tapi berita koran keesokan harinya menyatakan di lokasi itu seorang gadis berumur 16 tahun mati karena jatuh menggelundung ke salju.

Maria diburu perasaan bersalah. Apalagi tatkala dia mengetahui sesungguhnya gadis itu adalah anak teman gerejanya. Penonton dibawa terus-menerus perasaan bersalahnya. Apakah Maria berani berterus terang bahwa ia yang menabrak? Penonton dibawa ke perenungan apa arti maaf dan penebusan.

l l l

Postcards from the Zoo sama sekali tak berbicara tentang isu kekerasan atau kematian yang menggugah seperti film-film di atas. Ini berbeda dengan Babi Buta yang Ingin Terbang karya pertama Edwin, yang mengetengahkan problem rasisme terhadap minoritas Cina. Karakter-karakter tokoh yang ada dalam Zoo ingin alegoris. Dia tidak mengandalkan perwatakan. Kata-kata yang muncul dari para aktor sering terasa muncul tidak sebagai rumusan kalimat yang hidup. Pembukaan film ini sangat surealis. Dalam suasana gelap malam, Lana kecil tergeletak tertidur di halaman kebun binatang. Samar-samar ada bayangan babi hutan di belakangnya. Ia ditinggalkan oleh orang tuanya di kebun binatang semenjak umur tiga tahun.

Tema film ini tentang kesepian, tentang kehilangan. Tentang kebutuhan manusia akan sentuhan. Edwin menganggap baik manusia maupun binatang butuh intimitas belaian. Lokasi syuting adalah Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan. Terlihat seluruh materi visual Ragunan dieksplorasi Edwin. Kereta mainan berbentuk dinosaurus, mobil keliling yang bermuka gigi, sepeda air berbentuk bebek. "Semua ada di Ragunan, tidak ada yang dibuat-buat," kata Edwin. Ia cukup berhasil untuk tak jatuh ke kekenesan visual.

"Saya tidak pernah ke kebun binatang malam-malam. Pasti beda," kata Sidi Saleh, kameraman, menjelaskan bagaimana ia banyak mengambil gambar pada malam hari untuk memunculkan suasana mimpi yang dimaui Edwin. "Saya membayangkan diri sebagai Rapunzel," Ladya Cheryl menambahkan. Lana dalam imajinasi Ladya menganggap dunia di luar kebun binatang ternyata lebih ganas. Kehidupan kebun binatang lebih wajar daripada kehidupan manusia Jakarta.

Separuh bagian film memperlihatkan bagaimana Lana melakukan dialog intim dengan gajah, harimau, kudanil, dan jerapah. Dia juga memandikan macan dan menggosok gigi kudanil. "Binatang berkenalan lewat bau. Karena itu, saya tak memakai parfum," kata Ladya. Untuk memerankan tukang sulap yang misterius, Nicholas Saputra belajar melakukan sulap untuk mengeluar-masukkan bola dari kuping. "Yang saya lakukan itu trik sulap, bukan trik kamera. Saya dua bulan berlatih, termasuk adegan saya dalam kotak yang dibakar," kata Nicholas.

Tak syak, film ini adalah realisasi dari sebuah kerja keras. Bahwa tim film ini mampu menggaet beberapa lembaga internasional untuk pendanaan adalah bukti tersendiri. "Bujetnya sekitar Rp 7 miliar," kata Meiske Taurisia, produser Zoo. Yang lebih menggembirakan, meski tidak meraih Golden Bear di Berlinale, film ini sudah dilirik pasar internasional.

"Film ini sudah terjual. Distributor Jerman, Neue Visionen, membelinya. Juga distributor Joint Entertainment, Taiwan; distributor Korea Selatan, Sponge; dan world sales agent The Match Factory yang akan memasarkan ke bioskop di Belgia, Belanda, Luksemburg, dan Austria," kata Meiske. Sementara film ini sudah ancang-ancang untuk tayang di bioskop mancanegara, nasibnya lain di negeri sendiri. Adanya beberapa adegan erotis tentu tidak diizinkan lembaga sensor diputar di bioskop umum. "Ini art work. Kalau dipotong, ya, enggak masuk akal," kata Meiske. Rencananya pada Maret—saat bulan film nasional—Zoo akan disetel di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Setelah Badai Selatan yang disutradarai Sofia W.D., mampu masuk Berlinale 12 pada 1962, kemudian film-film Garin Nugroho pada 1990-an, kini Edwin menorehkan sejarah. Karpet merah telah digelar untuknya di seksi kompetisi. Sudah selayaknya kalangan film Indonesia dan pemerintah—semuanya—merenungkan kembali perjalanan film Indonesia dengan pencapaian ini.

Seno Joko Suyono, Ging Ginanjar (Berlin)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus