Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Siaga di Laut, Bahaya di Bawah Selimut

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti inilah Indonesia," ujar Gede Suantika.

Ia mencubit tangannya. Lalu dengan matanya ia menunjuk ke kulit tangannya yang mengerut terjepit jari.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Gerakan Tanah itu tengah memperagakan keadaan di bawah tanah Indonesia. Menurut dia, Indonesia menjadi tempat pertemuan tiga lempeng bumi yang terus saling mendorong. Lempeng Indo-Australia di selatan dan barat, Lempeng Eurasia dari arah utara-timur, serta Lempeng Pasifik.

"Setiap jari tangan mewakili sebuah lempeng, dan cubitan merepresentasikan arah dorongan," kata dia menerangkan makna peragaannya. "Garis kerutan di kulit mewakili sesar atau patahan yang terbentuk di darat."

Mula-mula Gede Suantika mencubit tangannya dengan dua jari untuk memperagakan apa yang terjadi bila dua lempeng bertemu. Cuma ada beberapa kerutan. Lalu dengan tiga jari. Kerutannya makin tak teratur. "Makin banyak lempeng, patahannya makin rumit dan berbahaya," katanya di kantornya, akhir Januari lalu.

Patahan itu, ujar Gede, merupakan sumber gempa. Energi gempa dari patahan memang tak sebesar gempa yang dihasilkan tumbukan antarlempeng. Namun bahayanya tak bisa dianggap enteng, karena banyak patahan itu berada tepat di bawah kota, di bawah rumah-rumah.

"Ada yang gempanya kecil tapi sanggup membuat rumah rusak berat karena daerahnya padat penduduk," ujarnya. Atau seperti yang pernah terjadi di Bengkulu, kota berpenduduk 1,7 juta jiwa lebih. Pada 2000, hampir 100 orang tewas, ribuan orang luka, ratusan rumah hancur, dan ribuan bangunan rusak ketika Sesar Semangko di bawah kota itu menggeliat.

Ahli gempa Danny Hilman Natawidjaja mengungkapkan, bahaya sesar seharusnya diwaspadai seperti juga tsunami. Bentuk kewaspadaan itu, misalnya, dengan mewajibkan semua bangunan tahan gempa. Patokannya sudah ada sejak lima tahun lalu: Peta Sesar Badan Geologi. Namun hingga saat ini baru beberapa kota yang telah mewaspadai ancaman ini. "Pemerintah Kota Padang, misalnya, sudah lumayan siap," katanya.

Iskandar, penanggung jawab Pusat Kendali Operasi di Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), mengakui bahaya sesar sedikit terabaikan jika dibandingkan dengan tsunami. Namun BPBA sudah memasukkan soal sesar ke Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) 2012-2017. "Jurnal prioritas untuk wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar juga gempa yang disebabkan oleh sesar," ujarnya.

Adapun mengenai aturan tentang bangunan tahan gempa, pemerintah daerah sudah mengimplementasikannya. Setelah gempa dan tsunami pada 2004, ujarnya, bangunan di Banda Aceh merujuk pada standar nasional bangunan tahan gempa. Persyaratan bangunan bertingkat banyak juga diperketat. Misalnya, "Menurut saran ahli geologi, di Banda Aceh dan Aceh Besar, tinggi bangunan maksimal hanya lima lantai."

Di Kota Yogyakarta, izin mendirikan bangunan (IMB) juga hanya bisa keluar jika memenuhi persyaratan bangunan tahan gempa. Syarat ini merujuk pada aturan Badan Standardisasi Nasional nomor SNI 03 1726-2002. "Setiap bangunan di Yogyakarta dalam IMB-nya harus membangun bangunan tahan gempa sesuai dengan wilayah 03," kata Kepala Seksi Bidang Pengawasan dan Pengaduan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Sutarto.

Ia mengakui penerapan aturan ini masih memiliki kekurangan. Seharusnya, ujar dia, ada perlakuan berbeda untuk lima kecamatan yang menderita paling parah saat gempa 2006.

"Lima kecamatan ini rusak parah karena berbatasan dengan Bantul," kata Sutarto. Bantul adalah pangkal dari Sesar Opak. "Jadi seharusnya berbeda perlakuannya, mengikuti petunjuk Badan Geologi."

Sosialisasi bencana gempa juga dirasa masih minim. "Yang disosialisasi temanya banjir lahar dingin, angin puting beliung, dan kebakaran," kata Kepala Sub-bagian Tata Usaha Dinas Kebakaran dan Bencana Alam Wiwin Giri Doriawana. "Ini menjadi catatan kami dan kami anggarkan untuk sosialisasi gempa di lima kecamatan itu."

Di Lampung, Kabupaten Lampung Barat membatasi ketinggian bangunan. Pemerintah setempat juga menganjurkan untuk memakai atap berbahan seng, bukan genting tanah atau semen. "Itu untuk mengurangi risiko korban jiwa jika gempa mengguncang. Rumah adat dari kayu juga dilestarikan karena dinilai lebih tahan gempa seperti saat gempa dahsyat mengguncang Liwa," kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Lampung Budiharto.

Toh, cuma di beberapa kota itu persiapan menghadapi bahaya sesar terasa ada geliatnya. Padahal, "Kota yang berada di atas urat gempa jumlahnya banyak," kata Gede Suantika.

Uwd, Bernada Rurit (Yogyakarta), Febrianti (Padang), Nurochman Arrazie (Bandar Lampung), Anwar Siswadi (Bandung), Adi Warsidi (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus