Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama bunyi kelepak telinga gajah, auman singa, dan lindungan pohon-pohon yang rimbun itu, Lana merasa berada di rumah. Sejak kanak-kanak, dia dibuang oleh sang ayah di tengah kebun binatang yang luas itu. Si kecil Lana kemudian tumbuh di bawah asuhan sang pengurus binatang. Berbagai binatang menjadi kawannya sehari-hari. Dia berdialog, bermain, memandikan, dan memberi mereka makan. Tapi perkawanan Lana yang paling intens dan penuh kasih sayang adalah dengan Jera, sang jerapah. Kagum pada binatang yang berleher tinggi, bermata cantik, bergerak dan melangkah dengan anggun itu, Lana dewasa (Ladya Cheryl) dengan fasih mampu memberikan kuliah Jerapah 101 kepada penonton atau pengunjung kebun binatang.
Tapi film kedua sutradara Edwin ini bukan sebuah film persahabatan manusia dengan binatang. Inilah kisah perjalanan batin Lana sebagai seorang manusia yang bermentalitas dan memiliki kepatuhan serta daya adaptasi yang sama dengan seekor binatang yang ditaklukkan oleh penjinaknya. Semula, kita mengenal Lana dan habitatnya di kebun binatang yang sudah menjadi rumahnya. Tapi, setelah Lana beranjak dewasa, dia bertemu dengan tukang sulap a.k.a. Koboi (Nicholas Saputra), seorang pemuda yang lebih banyak berkomunikasi dengan permainan sulap dan merepet berjualan obat. Hanya dalam sekejap, Lana sudah berpindah tangan, mengabdikan seluruh jiwa raganya menjadi asisten sang Koboi. Jika pesulap itu mengenakan kostum koboi, lengkap dengan topi, rompi, dan sepatu bot hingga dia mirip jagoan kesiangan yang tersasar, Lana tak keberatan menjadi Indian yang siap menjadi umpan setiap kali sang Koboi perlu melempar pisau. Dari Mas Koboi, Lana tidak hanya belajar bagaimana menyembunyikan segumpal api di balik telinga, tapi juga berkenalan dengan bagian Jakarta yang lain di luar Kebun Binatang Ragunan.
Sentuhan Lana dengan dunia di luar kebun binatang itu memperkenalkannya pada kenyataan muram yang lebih brutal. Sang Koboi menghilang. Lana, seperti juga "binatang" yang terperangkap dalam kandang kebun binatang, segera saja mencoba beradaptasi dengan "rumah" berikutnya: sebuah tempat pemijitan yang sekaligus berfungsi sebagai tempat pelacuran terselubung. Di sini kita menyaksikan sebuah fase ketika Lana memasuki kerak Jakarta yang bukan hanya busuk tapi juga keji, serta bagaimana dia beradaptasi dan bertahan.
Tokoh Lana, seperti juga Jera dan binatang-binatang yang terkurung di kebun binatang, adalah sekelompok sosok yang "terbuang" dari habitatnya dan tumbuh di sebuah tempat yang akhirnya menjadi "rumah" yang mengurung mereka. Lana, Jera, dan para binatang adalah makhluk yang lantas saja tunduk dan jinak begitu merasakan sentuhan–seperti halnya ketika Lana pertama kali merasakan sentuhan sang Koboi yang terasa menyihirnya. Urusan sentuh-menyentuh ini pula yang menjadi obsesi Lana, karena dia cuma punya satu cita-cita: ingin menyentuh perut Jera.
Meski film kedua Edwin ini memberi kesan lebih realis dan naratif dibanding film debutnya, Babi Buta yang Ingin Terbang (2008), sesungguhnya Edwin tetap saja menyajikan sebuah dunia yang magis, sebuah mimpi (yang tak selalu indah) yang terkadang membuat kita lega setelah kita terbangun. Dunia Lana yang seolah-olah penuh warna dan permainan keajaiban itu sesungguhnya penuh dengan eksploitasi dan kegelapan. Mimpi yang disajikan terkadang seperti dunia Alice in Wonderland, yang semula terlihat cantik tapi belakangan menyiksa dan kita meronta ingin meloncat keluar dari mimpi buruk itu.
Pada film-film Edwin, yang kita tangkap selalu soal isolasi, alienasi, rasa sunyi, dan kekejian yang selalu saja terbungkus di balik kulit yang mulus dan cantik. Edwin, seperti juga pada film pertamanya, melahirkan serangkaian fragmen, seperti pecahan adegan dalam mimpi kita yang sering mengejutkan dan melahirkan rasa tak nyaman.
Risiko menyaksikan film eksperimental seperti ini adalah kita tak terlalu bisa menikmati seni peran pemain. Para aktor dan aktris dalam film Edwin sama seperti bayangan yang berkelebat dalam mimpi-mimpi. Sosok-sosok itu tak perlu memiliki nama, karena mereka adalah segumpal konsep. Jika karakter mereka tak berubah ataupun tak berkembang—seperti yang dituntut dalam film realis—juga tak apa, karena seperti yang saya katakan: ini adalah dunia mimpi.
Dan meski kita lega setelah bangun dari mimpi ciptaan Edwin itu, kita ingin terlelap dan menceburkan diri kembali ke dalam dunianya yang magis dan enigmatik tersebut.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo