Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlahan dan sedikit demi sedikit, sosok yang sepenuhnya terbungkus kain putih yang lentur itu memunculkan gerakan-gerakan kecil. Makin besar, makin kerap, makin cepat. Berbagai gambaran menakjubkan tercipta oleh gerakan dari dalam kain putih dan bentukan visualnya. Penonton terpana dan tak jarang terbahak.
Lalu sosok itu, Sosiawan Leak, aktor dan penyair dari Surakarta, menyeruak dari balik kain. Dia bergerak lebih jauh, lebih lebar, dengan suara-suara aneh. Gerak itu terkadang lucu, terkadang memunculkan gambaran kesakitan, tersiksa, terpenjara. Lain kali ia justru tampak merajalela di panggung, bagai angkara murka. Kadang ia seperti sedang menjalani peribadatan, kadang seperti sedang mengalami orgasme.
Sarung, repertoar karya Sosiawan Leak, bagai menaklukkan Amphitheater Monbijoupark, Berlin, pada siang itu. Ia melahirkan kelegaan dan membangun kepercayaan bahwa para seniman Indonesia, yang tak banyak dikenal di Jerman, mampu membangun hubungan dengan publik, yang sebagian bukan pula penonton setia pertunjukan seni.
Leak menciptakan Sarung secara khusus untuk festival ini. Ia memanfaatkan kesempatan ini untuk berkarya secara benar-benar bebas. "Di Indonesia belum tentu saya bisa menampilkan nomor ini sepenuhnya," kata dia. "Sebab, saya menampilkan beberapa hal yang bisa jadi dianggap menyinggung kalangan tertentu." Sarung adalah kain yang lazim dipakai sebagai perlengkapan ibadah kaum muslim di Nusantara.
Leak menampilkan, di antaranya, parodi gerak ritual ibadah untuk mengkritik suasana kemasyarakatan sekarang, yang baginya terasa sangat mengimpit dan bahkan menindas. Menurut dia, kalau ditampilkan di Indonesia, Sarung bisa jadi akan diprotes. Maka Sarung tak akan pernah tampil di Tanah Air dalam bentuk seperti yang ditampilkannya di Berlin.
Beberapa seniman Indonesia mendapat kesempatan mementaskan karyanya di Jakarta-Berlin Art Festival pada akhir Juni dan awal Juli lalu. Selain Leak, ada pula Godi Suwarna dan Wawan Sofwan, kelompok musik Krakatau, dan kelompok pantomim Sena Didi Mime.
Godi, aktor dan penyair dari Kawali, Ciamis, Jawa Barat, menampilkan 16 puisinya dalam bahasa Sunda dalam pertunjukan Urat Jagat. Seniman kurus berambut putih tergerai berusia 55 tahun itu melempar suaranya dengan sangat ekspresif:
Mireng pirang-pirang gunung humarurung, gumalingging. Mireng sagara marudah rumahuh beurang jeung peuting. Mireng angin ngabangingik. Aya nu ngaranjah lemah, ngagayem saban kakayan tuluy niup balon sabun warna warni masieup saban impian.
(Mendengar beribu gunung menggeram menahan sakit. Mendengar deru samudra mengelih resah siang dan malam. Mendengar tangis dan lolongan angin. Ada yang melahap tanah, mengunyah pepohonan, lalu meniupkan balon sabun berwarna-warni menghias semua impian.)
Penggalan puisi sajak Urat Jagat itu menjadi semacam roh yang menjalin puisi-puisinya. Sutradara Wawan Sofwan mengemas puisi Godi itu menjadi pertunjukan yang memadukan teater dan tari. Dalam pementasan sekitar satu jam itu, Godi berbagi peran dengan Wawan dan Wina Rezky Agustina, yang juga menari dan bermain kecapi.
Mereka tetap mempertahankan puisi Godi dalam bahasa Sunda dan tak menyertakan terjemahan dalam bahasa Jerman. Mereka membangun suasana upacara tradisional Sunda, dengan tembang Rajah dan alunan kecapi serta gerak ritual. Godi pandai menyesuaikan diri dengan situasi pertunjukan yang berbeda. Sebagaimana Leak, ia tampil dua kali. Pertunjukan malam dalam ruangan kecil dan pertunjukan siang hari di Amphitheater yang relatif besar.
Di Teater Panda, yang berkapasitas sekitar 50 penonton, Godi menempatkan penonton di lantai dan menata ruangan menjadi semacam arena ritual. Bersama Wawan dan Wina, ia bagai memindahkan upacara rakyat Nyiar Lumar, acara tahunan di Kawali yang selalu ia ikuti.
Adapun dalam pertunjukan siang hari di Amphitheater, suasananya lebih longgar. Amphitheater terletak di Monbijoupark, di tepi Sungai Spree, berseberangan dengan Museuminsel. Panggung teater ini berupa bangunan kayu berbentuk rumah beberapa lantai. Godi memanfaatkannya dengan berpindah dari satu lantai ke lantai lain. Untuk akhirnya menjadikan salah satu lantainya sebagai panggung sangat tinggi untuk pembacaan sebuah sajaknya.
"Bahasa Sunda saya gunakan dalam pertunjukan ini tidak dalam konteks komunikasi penyampaian pesan biasa, tapi lebih sebagai alat ekspresi bunyi. Seperti musik," kata peraih dua hadiah sastra Rancage untuk kumpulan puisi dan cerita pendek berbahasa Sunda itu. Dan Godi berhasil.
Menurut Wawan, keberangkatan mereka ke Berlin tergolong spesial, karena di antara rombongan penyair Indonesia yang diundang, hanya Godi yang memakai bahasa ibu. "Ini kesempatan yang langka," ujar pendiri kelompok Mainteater, Bandung, itu.
Undangan ini datang, kata Wawan, karena Direktur Festival Martin Jankowski kesengsem dengan pembacaan puisi Godi meski Martin tak mengerti bahasa Sunda. "Teks kan hanya masalah teknis. Seperti halnya Martin, saya sudah tiga kali ikut festival penyair internasional dan dia enggak ngerti bahasa Sunda, tapi dia tertarik. Puisi itu bisa menembus batas-batas bahasa," kata Godi. Tapi Martin meminta ada strategi khusus agar bisa membawa Godi tampil di Berlin. Konsep pembacaan puisinya harus dikemas sebagai performing art, maka jadilah pertunjukan seperti di Berlin ini.
Konser Krakatau Band dan pertunjukan Sena Didi Mime juga berhasil memikat publik Berlin, terutama karena sifat pertunjukannya yang tak menuntut pemahaman kebahasaan tertentu. Krakatau pimpinan Dwiki Dharmawan muncul dengan 12 nomor yang membangkitkan gairah penonton. Penyanyi Nyak Ina Raseuki, atau akrab disapa Ubiet, sama sekali tak menampilkan alunan lagu yang konvensional. Ia seakan lebih dimunculkan untuk melakukan penjelajahan vokal. Dengan berbagai teknik, gaya, dan bahasa daerah. Adapun musiknya dikembangkan dari jazz yang berintikan pada instrumen modern piano, keyboard, bas, dan drum serta waditra Sunda, seperti trompet, suling, kendang, dan kenong.
Krakatau memunculkan sensasi luar biasa pada penonton, yang tak henti-hentinya bersorak, berteriak, berjingkrak, dan akhirnya berjoget di bawah alunan paduan jazz dan tepukan kendang Sunda yang menggairahkan.
Sena Didi Mime tampil dengan Sapu di Tangan, sebuah nomor yang diciptakan dua tahun lalu dan sudah dipertunjukkan di berbagai negara. Pertunjukan ini menampilkan lima pemain berbaju rombeng dan sapu lidi panjang, yang melambangkan para pemulung sampah. Memang, sutradara Yayu A.W. Unru hendak bicara tentang sampah. Bagaimana negeri kita, Jakarta khususnya, bagai menjadi tong sampah raksasa. Bagaimana kalau, kata Yayu, "Dunia kita ditelan sampah yang kita bikin sendiri dan hanya tersisa lima orang."
Di awal pembentukannya pada 1980-an, Sena Didi Mime didasarkan terutama pada keahlian mime atau pantomim. Didi Petet dan mendiang Sena Utoyo memang dikenal sebagai pemain pantomim yang sangat kuat dan langka. Belakangan, karya-karya kelompok ini lebih bertumpu pada kekuatan cerita, pesan, dan pengadeganan. Sebagaimana tampak dalam Sapu di Tangan, yang kesannya tidak lagi terlalu menggali kelenturan tubuh dan mimik.
Sapu di Tangan terbagi dalam dua babak. Babak pertama lebih merupakan sketsa-sketsa kecil dan ringan. Babak kedua lebih banyak menghadirkan adegan puitis. Di paruh kedua ini sutradara juga memunculkan muatan lebih: macetnya komunikasi. Para pemungut sampah itu bercakap tapi tanpa berkomunikasi. Setiap orang bicara dalam bahasa berbeda, topik berbeda, dan kalimat-kalimat tidak runut. Salah satunya berbicara dalam bahasa campuran Jawa dan Jerman. Meski demikian, percakapan ganjil itu ternyata mampu memikat penonton.
Ging Ginanjar, Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo