Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

<font face=arial size=2 color=brown>Martin Jankowski, Direktur Festival Seni Jakarta-Berlin:</font><br />Butuh Tujuh Tahun untuk Menyiapkannya

18 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sastrawan Jerman kelahiran 1965 ini dikenal dengan seragamnya yang khas: topi, rompi hitam, dan kemeja merah. Ia terlibat dalam gerakan meruntuhkan Tembok Berlin dua dekade lalu. Sejak 2002, ia datang ke Indonesia secara berkala. Dia terlibat dalam berbagai proyek sastra bersama sejumlah lembaga dan sastrawan Indonesia. Salah satu kumpulan puisi dwibahasanya sudah pula terbit dalam bahasa Indonesia, Detik-detik Indonesia.

Ging Ginanjar mewawancarai Direktur Festival Jakarta-Berlin ini dalam dua kesempatan. Berikut ini petikannya.

Apa gagasan dasar festival ini?

Saya memang seorang penggemar Indonesia. Sepuluh tahun lalu saya datang pertama kali ke Indonesia sebagai orang asing sepenuhnya dan langsung terpana menyaksikan Indonesia sebagai suatu planet yang lain sama sekali. Saat itu saya bertemu dengan sejumlah penyair, termasuk mendiang W.S. Rendra. Jadi ini festival yang berangkat dari ketakjuban pribadi saya terhadap Indonesia yang begitu berwarna, begitu kaya, begitu hidup.
Yang kedua, Berlin-Jakarta adalah kota mitra, sister city. Tapi tak ada warga Berlin yang tahu. Berlin bermitra dengan banyak kota lain di dunia dan selalu ada festival-festival budaya besarnya. Mungkin Jakarta belum dikenal, karena baru sejak 1993 menjadi kota mitra. Tapi Jakarta adalah kota yang tiga kali lebih besar daripada Berlin. Kita perlu memberi gambaran kepada warga Berlin. Jadi ini merupakan suatu acara buka pintu.

Seberapa jauh persiapan acara ini?

Gagasan pertama, proposal pertama, diajukan pada 2003. Jadi butuh tujuh tahun sejak dicetuskan hingga benar-benar terselenggara. Prakarsa dimulai melalui lembaga saya, Berliner Literarische Aktion, karena untuk menjalankan gagasan itu perlu badan hukum.

Berapa anggaran festival? Dari mana sumber dananya?

Idealnya perlu lebih dari satu juta euro. Kami hanya berhasil menyelenggarakan acara dengan dana sekitar 300 juta euro. Tapi dalam bentuk dana segar hanya setengahnya, 150 ribu euro, dari Stiftung Deutsche Klassenlottererie, yayasan dana lotre Jerman. Setengahnya lagi kami terima dari berbagai sumber dalam bentuk fasilitas, termasuk dari pemerintah DKI Jakarta.

Apa sumbangan pemerintah Jakarta?

Khususnya sumbangan acara, yakni IKJ Dance Company dan Maya Hasan Music Group. Keduanya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah Jakarta.

Bagaimana kuratorial festival ini?

Ada sejumlah kurator. Konsep awalnya 10 kurator Jerman dan 10 kurator Indonesia. Sebagai direktur festival, saya juga merangkap kurator dengan mitra Indonesia Agus Sarjono. Dia merangkap sebagai kurator untuk seni pertunjukan. Untuk sastra, kuratornya Berthold Damshaeuser dan Dorothea Rosa Herliany.

Apa kriteria kesenian untuk festival ini?

Kriteria utamanya adalah kebudayaan masa kini, budaya urban dan bukan tradisional; cocok dengan publik Jerman, dan praktis. Maksudnya harus bisa dijalankan. Misalnya patung, kami ingin juga menghadirkan patung Indonesia kontemporer. Tapi, karena untuk mendatangkan tiga patung saja bisa menghabiskan puluhan ribu euro, jadi ya batal.

Apakah Anda yakin yang diundang benar-benar mewakili kesenian Indonesia?

Ini yang terbaik berdasarkan kondisi yang ada, termasuk kondisi keuangan.

Mengapa mendatangkan Harry Dharsono?

Sebetulnya begini. Tatkala saya berdiskusi dengan pemerintah Jakarta, mereka menyebut, "Jenis seni apa saja yang sebaiknya kami datangkan." Mereka juga meminta agar ada peragaan busana. Saya kenal Harry Dharsono. Dia salah satu perancang terbaik Indonesia. Saya tanya dia apa bersedia, dengan syarat bukan peragaan busana biasa tapi suatu pertunjukan. Dia bilang, "Tentu saja, saya kan juga musisi." Begitu ceritanya. Dan, terlepas dari apa pun, di sini banyak juga orang yang suka pada pertunjukan dia.

Apakah ini akan menjadi ajang berkala?

Terus terang saja, bisa jadi festival ini merupakan acara yang sekali saja, sudah itu selesai. Suatu peristiwa yang tak terulang lagi.

Kenapa?

Bukan hal yang gampang untuk menyelenggarakan acara semacam ini. Butuh biaya besar dan kerja besar. Saya tidak yakin dalam dua-tiga tahun ke depan acara ini bisa terselenggara lagi. Mungkin nanti Jakarta punya acara serupa. Siapa tahu? Tapi sekarang sih tidak terbayang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus