Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Monbijoupark, sebuah taman terbuka di tepi Sungai Spree di kawasan timur Berlin. Cuaca begitu cerah. Matahari bersinar terang. Kolam renang untuk anak di taman itu dipenuhi pengunjung. Orang hilir-mudik dengan baju-baju terbuka. Bangku dan kursi kafe di tepian sungai dipenuhi pengunjung yang datang dengan minuman di tangan dan wajah berseri-seri.
Di salah satu pojok terdapat sebidang ruang kosong. Itulah arena tempat biasanya orang-orang berdansa jika waktu dan cuacanya cocok. Tapi sore itu agak berbeda. Sejumlah orang yang berada di sana berbaju hitam-hitam serta saling berteriak dan membanting. Mereka memang bukan berdansa, melainkan beratraksi pencak silat yang diiringi kendang pencak. Pengunjung riuh bertepuk tangan menyaksikan para pesilat yang semuanya bule Jerman itu, kecuali gurunya, Ocav Dirgantara Setiadji, orang Sunda yang sejak 1982 tinggal di Berlin.
Suasana ganjil lain muncul di bagian atas, di halaman Amphitheater. Di sana ada bar terbuka yang melayani minuman, khususnya bir. Tapi kali ini ada wangi aneh yang menguar. Yap, itulah bau martabak telor yang dijual sekelompok mahasiswa Indonesia. Mereka juga menjual risoles, kacang sukro, kacang kulit, permen Kopiko, dan beberapa penganan khas Indonesia.
Jakarta-Berlin Art Festival terasa suasananya hari itu di Monbijoupark, yang dulu bagian dari Berlin Timur. Para pengunjung bar dan kafe, yang sebetulnya datang untuk sekadar makan atau minum, pun terseret suasana tersebut. Mereka masuk Amphitheater dan menyimak kesenian dari negeri jauh, yang bahasanya asing di telinga mereka.
Di dalam Amphitheater, suasana mulai dibangun oleh atraksi rampak kendang sejumlah anak muda Indonesia. Kelompok Puspa Gita Pertiwi memang bukan pemusik profesional, tapi penampilan mereka mampu membangun atmosfer Jakarta Open Air, mata acara pembuka Jakarta-Berlin Art Festival, pesta kesenian Indonesia di Berlin, yang berlangsung selama 25 Juni hingga 3 Juli 2011.
Berkat penampilan anak-anak belasan tahun itu, pengunjung tertarik masuk dan siap menikmati acara yang lebih serius dari para seniman profesional, seperti pertunjukan puisi Sunda oleh Godi Suwarna, teater Sosiawan Leak, pantomim Sena Didi Meme, dan konser Krakatau (lihat "Bermain Sarung dan Berpuisi Sunda"). Selain itu tampil pula That Tomi Simatupang Incarnation, kelompok musik pimpinan Tomi Simatupang, dan Agus Nuramal alias Agus PM Toh dengan atraksi pentas bonekanya yang khas di gedung pertunjukan untuk anak, beberapa puluh meter dari situ.
Suasana begitu hidup. Kita benar-benar merasakan suasana sebuah festival. Terlebih lagi cuacanya yang begitu hangat dengan suhu mencapai lebih dari 30 derajat Celsius. Tapi suasana itu tak selalu muncul di setiap acara festival ini. Keriuhan yang lepas hanya terasa saat pentas Krakatau, kelompok jazz pimpinan Dwiki Dharmawan. Khususnya melalui nomor-nomor yang kuat diwarnai kendang Sunda, seperti Tugu Hegar, Krakatau membangkitkan gairah penonton untuk berjoget.
Memang ada pula mata acara yang ramai dan hiruk-pikuk. Itulah Opera Fashion karya Harry Dharsono. Namun sifatnya sama sekali berlainan. Harry memainkan piano dengan penuh semangat, bergantian dengan pianis lain. Dua penyanyi membawakan sejumlah lagu lama, seperti Sepasang Mata Bola, Tanah Air Beta, serta Antara Anyer dan Jakarta, yang kemudian dibelokkan menjadi "antara Berlin dan Jakarta".
Perancang busana kondang kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, pada 1952 itu membangun suasana hura-hura yang dibungkus dengan peragaan busana. Ia tak menggunakan peragawati profesional, tapi anak-anak muda Indonesia dan Jerman serta ibu-ibu mereka.
Ada pula sejumlah perempuan berumur dari Jakarta, yang disebutnya "filantropis". Mereka, kata Harry, adalah kaum berharta dan berkemanusiaan yang meluangkan waktu dan harta untuk membantu kaum miskin, anak jalanan, dan kaum berkebutuhan khusus melalui Harry Dharsono Foundation.
Dalam acara Opera Fashion, segi busananya ditemukan pada baju-baju yang dikenakan "ibu-ibu filantropis" dan peraga busana amatiran Berlin. Segi operanya barangkali disarankan untuk ditemukan pada hilir-mudiknya ibu-ibu itu di arena, berjoget-joget kendati tak banyak yang kena dengan irama lagu dan musik.
Bagaimana bisa acara semacam ini bisa menjadi bagian penting sebuah festival seni yang cukup serius? Direktur Festival Seni Jakarta-Berlin Martin Jankowski mengaku acara ini muncul atas permintaan pemerintah Jakarta agar ada acara peragaan busana di festival. Martin pun menghubungi Harry Dharsono, yang dia kenal dengan segala eksentrisitasnya. Tapi, Jankowski menegaskan, panitia festival hanya membiayai empat pemain Harry Dharsono. Adapun ibu-ibu "filantropis" itu datang dengan biaya mereka sendiri.
Syukurlah. Kalau tidak, hadirnya acara itu akan menjadi tanda tanya besar, karena ada beberapa acara penting dan jauh lebih bernilai yang dibatalkan justru karena melibatkan orang terlalu banyak. Menurut Agus R. Sarjono, penyair dan salah satu kurator festival, Teater Kubur pimpinan Dindon W.S. sebenarnya sudah masuk buku acara, tapi belakangan batal didatangkan karena rombongannya berjumlah 30 orang. "Terlalu mahal jadinya, kita tidak kuat," kata Agus.
Teater Kubur bukan satu-satunya yang batal meramaikan festival. Semua acara pemutaran film dibatalkan. Musisi Sandhy Sondoro dan pelukis Heri Dono, yang dicantumkan di buku program, juga tak tampil. Heri Dono hanya tampak sekelebatan di antara penonton Fashion Opera. Adapun karya instalasinya, The Lost Magician, tampil dalam sebuah pameran bersama perupa Cina di sebuah galeri, tapi tak terkait festival ini, kendati dicantumkan dalam daftar acara.
Menurut Agus Sarjono, sedianya mereka juga ingin mengundang Jecko Siompo, penari berdarah Papua yang mengolah hip-hop dan tari urban lain dalam karya-karyanya. "Tapi ia dua bulan lalu sudah tampil di Berlin, padahal karya Jecko sangat mewakili kenyataan kesenian urban Jakarta," kata dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung ini.
Kesenian urban Jakarta. Ini yang sebetulnya hendak disajikan Festival Jakarta-Berlin. "Bukan kesenian tradisional yang dirawat khusus tapi tidak jadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat," kata Martin Jankowski. Ia menegaskan tekadnya untuk menghadirkan wajah kesenian Indonesia masa kini, yakni seni modern yang padanannya bisa dilihat di Berlin, seperti musik, teater, sastra, dan tari.
Tapi, dalam kenyataannya, "urban" dan "Jakarta" tak selalu tecermin di acara festival. Misalnya dramatari Roro Mendut garapan Retno Maruti yang dibawakan Padnecwara. Dikembangkan dari langendriyan Solo, Roro Mendut susah masuk kategori itu, kecuali bahwa kelompok Padnecwara berkarya di Jakarta dan Maruti mendekati tradisi tari Jawa dengan disiplin koreografi modern.
Nyatanya pula banyak seniman yang tak ada kaitan dengan Jakarta sama sekali. Sosiawan Leak tinggal dan berkarya di Solo. Godi Suwarna hidup dan berkarya di Ciamis dan menggunakan bahasa Sunda. Penyair Dorothea Rosa Herliany dan pelukis Damtoz Andreas bermukim di Magelang. Penulis cerpen Joni Ariadinata lahir di Majalengka dan tinggal di Yogyakarta. Penyair M. Faizi lahir dan tinggal di Madura.
Penyair dan aktor Sosiawan Leak mengakui kriterianya memang tak diterapkan terlalu ketat. "Bagi saya, ini lebih merupakan festival Indonesia-Jerman, lebih dari Jakarta-Berlin," kata dia.
Tidak apa-apa juga kalau batasannya jadi sangat longgar. Toh jenis dan mutu kesenian yang ditampilkan juga tidak ketat. Tak semuanya bisa diakui sebagai wakil terbaik dari jenis keseniannya. Tak semuanya pula muncul dengan penampilan yang patut dikenang.
Selain nama-nama yang sudah disebut, festival itu menampilkan pameran 30 foto potret warga (sebagian besar kelas menengah) Jakarta karya fotografer Australia, Graham Hains, dan pameran lukisan karya-karya Damtoz Andreas bertajuk Surat untuk Nadia—berdasarkan puisi karya Dorothea Rosa Herliany. Festival juga mendatangkan seorang disc jockey dari Jakarta, Henry Foundation. Repertoar Sapu di Tangan oleh Sena Didi Mime menjadi penutup festival.
Maya Hasan Music Group dan IKJ Dance Company, yang dipimpin koreografer Tom Ibnur, datang sebagai oleh-oleh pemerintah DKI Jakarta. Keduanya tampil dalam malam Jakarta Gala, yang juga jadi semacam pertemuan diplomatik resmi antara Gubernur Jakarta Fauzi Bowo, yang wilayahnya makin konservatif, dan Wali Kota Berlin Klaus Woreweit, yang kotanya makin liberal dan progresif. Woreweit adalah pejabat publik Jerman pertama yang sejak awal secara terbuka mengaku sebagai gay.
Festival ini menampilkan juga para seniman Indonesia yang bermukim di Berlin. Acara pada malam pembukaan bahkan hanya menampilkan para seniman Indonesia yang jadi warga Berlin, yakni pemusik Sayo, yang mengeksplorasi bebunyian dari gong; pemusik Paul Gautama dengan gamelan "masa kini" Banjar Grouppe Berlin; dan duet piano dua perempuan kembar Sonja dan Shanti Sungkono. Yang terakhir ini membawakan, antara lain, karya Ananda Sukarlan yang diciptakan khusus untuk festival ini, The Twin Should Meet, yang mengaitkan kenyataan bahwa sejak 1993 Jakarta dan Berlin resmi menjadi kota mitra atau sister city.
Ada pula pelukis wayang dan batik Herlambang Bayu Aji, yang tampil mendampingi pertunjukan Agus Nuramal. Adapun musisi Tomi Simatupang, selain tampil beberapa kali, baik dengan grupnya, Incarnation, maupun solo, bertindak sebagai pembawa acara di malam pembukaan. Musisi muda yang tinggal dan berkarier di Berlin itu adalah putra aktor Landung Simatupang.
Festival juga dimeriahkan dengan Monolog Makassar, sebuah kisah otobiografis pengarang dan penampilnya, Inge Dumpel. Perempuan yang kini hidup di Belanda itu berbapak Jerman dan beribu Indonesia. Ia menampilkan monolognya yang menyentuh selama tiga kali dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jerman. Di Belanda ia pernah pula menampilkan monolog itu dalam bahasa Belanda.
Tak pelak, Jakarta-Berlin Art Festival merupakan sebuah festival gado-gado, yang memadukan bukan hanya beragam ungkapan budaya, tapi juga mutunya. Dia mendatangkan sekitar 140 seniman dari Indonesia dengan dana 300 ribu euro atau sekitar Rp 3,6 miliar, yang setengahnya dalam bentuk tunai dan didapat dari dana lotre nasional Jerman. Jumlah ini masih terlalu kecil untuk acara yang mendatangkan seniman sebanyak itu. Karena itu, "Sejak awal kami menekankan bahwa para seniman tidak akan dibayar, tapi hanya mendapat uang saku sekadarnya," kata Jankowski.
Para seniman sebetulnya tak keberatan jika tak mendapat honor. Yang mereka keluhkan adalah begitu terbatasnya penonton. Peter Sternagel, bekas Direktur Goethe Institut Bandung yang juga penerjemah novel Saman karya Ayu Utami, mengatakan kesenian Indonesia memang belum dikenal luas dan perlu perjuangan khusus untuk mendapat perhatian publik, karena saban hari ada banyak acara di Berlin.
Seorang anggota panitia menyebutkan setiap hari di kota itu berlangsung 7.000 acara besar dan kecil. Kalau saja angka itu kredibel, jika setiap acara dihadiri rata-rata 500 orang, Kota Berlin akan kosong melompong, karena seluruh 3,5 juta penduduknya meninggalkan rumah.
Sialnya pula, festival ini harus bersaing pula dengan acara gratis yang sangat meriah, seperti Christopher Street Day di Berlin, parade kaum homoseksual terbesar di Eropa yang diselenggarakan setiap Sabtu terakhir bulan Juni, dan konser Saatsoper Fuer Alle di lapangan terbuka, yang menampilkan salah satu orkestra tertua dunia, Statskapelle Berlin, yang kini dipimpin konduktor dunia, Daniel Barenboim.
Terlepas dari itu, tetap cukup banyak hal yang bisa dilakukan untuk membuat festival ini berlangsung lebih baik. Misalnya dengan mengerahkan upaya-upaya khusus yang tidak konvensional untuk mendatangkan penonton. Kalau acara pembukaan pameran di ArtRoom didatangi kurang dari 10 orang, acara lain di tempat yang sama harus melibatkan upaya ekstra untuk mendapatkan penonton dalam jumlah yang lebih manusiawi, karena jumlah penonton yang terlalu minim tidak terlalu bagus untuk mental dan psikologi seniman, lebih-lebih yang datang dari tempat yang sangat jauh.
Bisa dipikirkan juga untuk menyelenggarakan festival di suatu kompleks yang lebih terpusat, tidak tersebar di belasan lokasi yang terpisah, sehingga dimungkinkan pula membangun suasana festival sepanjang hari, sebagaimana terasa saat Jakarta Open Air di Monbijoupark. Bahkan, sepanjang pekan bisa pula dibangun suasana khusus, misalnya dengan membuat bazar khas yang memampangkan foto-foto sebagaimana dilakukan Watch Indonesia pimpinan Alex Flor dan Marianne Klutte dalam acara A Walk Through Jakarta menjelang konser Krakatau.
Pantas pula dipikirkan berbagai diskusi mengenai keadaan Jakarta dan pertunjukan yang tampil, yang akan memberi perspektif mengenai, misalnya, perkembangan musik atau teater Indonesia saat ini. Penggagas dan direktur festival, Martin Jankowsky, telah berjuang dan bekerja keras sejak mendapat ide pada 2003 hingga mewujudkannya kini. Ini luar biasa. Tapi akan lebih luar biasa lagi dan akan jauh memperkaya festival jika jaringannya diperluas. Misalnya mitra seniman Indonesia dan peserta yang diundang diperluas cakupannya melampaui jaringan kedekatan pribadi dengan juga mengundang orang dari latar belakang dan preferensi lain dalam penyelenggaraan, sehingga ide-ide jadi lebih kaya dan berjangkauan lebih luas.
Betapapun, festival ini memang sebuah rintisan, sebuah upaya membuka jalan, atau "festival buka pintu" dalam istilah Jankowski. Ini harus diperjuangkan untuk dilanjutkan penyelenggaraannya di masa datang, baik di Berlin maupun Jakarta.
Hal penting lain yang niscaya untuk keberhasilan suatu festival, baik dari segi mutu maupun keragaman jenis, adalah kuratorial yang jelas dan tim kurator yang kompeten. Ini sesuatu yang tampak tidak dijalankan secara memadai pada penyelenggaraan festival pertama dan mudah-mudahan bukan terakhir ini.
Ging Ginanjar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo