Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bertarung Lewat ’Bahasa’ Buku

Para jenderal meluncurkan versi masing-masing tentang peristiwa Mei 1998. Ada buku Jenderal Wiranto, kawan-kawan serta ayahanda Prabowo, dan banyak lagi.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK seperti gerakan baris-berbaris, para pensiunan jenderal kini tak lagi padu di bawah satu komando. Ada tuduh dan tangkis di antara para perwira tinggi di seputar peristiwa Mei 1998.

Semua berawal dengan peluncuran buku Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-detik yang Menentukan, bulan lalu. Mantan Panglima Kostrad Prabowo Subianto meruapkan protes. Ia mempertanyakan isi buku yang menyebutkan ia dicopot dari jabatannya karena menggerakkan ”pasukan liar”.

Letupan serupa juga tepercik pada 2003 ketika mantan Panglima ABRI Wiranto merilis Bersaksi di Tengah Badai. Dalam buku ini, ia mengaku mendapat laporan lengkap tentang aktivitas Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto pada saat-saat kritis itu. Wiranto berkesimpulan kegiatan itu menyalahi aturan. Seharusnya Pangkostrad berorientasi pada wilayah tugas dan tanggung jawabnya, bukan mengurusi masalah politik dan kenegaraan.

Buku itu menyimpan beberapa titik kontroversial lain, termasuk permintaan pembatalan kunjungan sejumlah jenderal ke Malang (14 Mei 1998), juga keberadaan Pam Swakarsa, para pendukung Sidang Istimewa MPR yang tak ia ketahui asal-muasalnya.

Bersaksi di Tengah Badai kontan dilanda badai protes dari Prabowo dan Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zein. Merasa namanya dicemarkan, Kivlan kala itu bahkan sempat mengadukan Wiranto ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Ia merasa sangat dirugikan dengan pernyataan bekas atasannya itu di media. ”Teman-teman bisnis pada nggak percaya saya,” kata bekas Kepala Staf Kostrad itu. Prabowo tak kalah berang. Fadli Zon, kawan dekat bekas menantu Soeharto itu, menyatakan, ”Jangan sampai anak cucu kita membaca sejarah yang salah.”

Ibarat utang buku dibalas buku, Kivlan menerbitkan tandingan: Konflik dan Integrasi TNI Angkatan Darat, pada 2004. Ia menyanggah beberapa hal yang disebutkan dalam buku Wiranto. Salah satunya soal Pam Swakarsa. Kivlan membeberkan peran Wiranto di balik pembentukan pasukan swasta itu. Bekas Menteri Pertahanan dan Keamanan itu memanggil Kivlan menjelang Sidang Istimewa dan mengatakan, ”Kiv, saya dengar kamu bisa mengalahkan massa untuk masuk di MPR. Nah, sekarang kamu kerahkan lagi mendukung SI.”

Terang-terangan Kivlan menuding Jenderal Wiranto membuat dua kesalahan strategi militer pada saat kondisi negara genting. Ia tidak menggunakan pasukan cadangan dan meninggalkan tempat dalam keadaan gawat. Karena itu, seperti ditulis Kivlan, ”Jelas terlihat upaya untuk membiarkan keadaan kacau dengan tidak meminta bantuan Kostrad dan meninggalkan Jakarta.”

Pada tahun yang sama, Prabowo melansir buku Haluan Baru Keluar dari Kemelut Bangsa. Namun, ”balasan” atas buku Wiranto justru dilakukan Fadli Zon melalui Politik Huru-hara Mei 1998. ”Ada yang tidak benar dan tidak akurat,” kata kawan dekat Prabowo ini.

Sama dengan Kivlan, ia mencela kepergian Wiranto ke Malang. Hari itu, tulis Fadli, di tengah kerusuhan yang melanda Jakarta dan sekitarnya, Panglima ABRI Jenderal Wiranto memboyong jenderal-jenderal penting ke Malang untuk menghadiri sebuah upacara. Padahal, sehari sebelumnya Prabowo berkali-kali menghubungi Wiranto untuk membatalkan acara. Keamanan Ibu Kota dalam bahaya. Akhirnya, Fadli menyesalkan Tim Gabungan Pencari Fakta yang lebih banyak berkonsentrasi pada peristiwa-peristiwa ”berbau” Prabowo.

Prabowo memang tidak meninggalkan jabatan strategisnya sendirian. Kivlan dicopot dari jabatan Kepala Staf Kostrad. Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono diberhentikan dari posisi Danjen Kopassus. Kivlan menulis: ”Dengan mutasi dan reposisi itu, Jenderal Wiranto sepenuhnya menguasai ABRI dan Angkatan Darat”.

Sebaliknya, dalam buku yang lebih dulu disebarkan, Wiranto berkisah Panglima Kostrad menghadap Presiden Habibie di kediamannya pada 16 Mei 1998. Prabowo melaporkan bahwa Menhankam/Pangab telah berkhianat kepada Presiden yang berarti telah berkhianat kepada pemerintah yang sah. Karena menganggap hal ini ”benar-benar sudah keterlaluan dan merupakan suatu pemanfaatan dari suatu situasi yang tengah kacau”, Wiranto pun menegur Prabowo dan menyatakan perbuatannya ”sudah di luar kepatutan”.

Bak api dalam sekam, persaingan Wiranto-Prabowo kembali membara tatkala keduanya bertarung dalam konvensi calon presiden dari Partai Golkar. Waktu itu, Wiranto, yang berpasangan dengan Solahuddin Wahid, unggul, dan Prabowo tersingkir.

Ayahanda Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, menyumbangkan sesuatu dalam kontroversi ini. Dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang terbitan 2000, ia mendedikasikan satu bab khusus tentang sang anak dalam kaitannya dengan peristiwa Mei 1998. Sumitro menyatakan: ”Kenaikan pangkat yang cepat dari anak saya itu sudah jelas mengundang ketidaksenangan bagi beberapa orang.” Tanpa ragu, sang ayah menyebut Wiranto sebagai ”salah satu yang tidak lagi menyembunyikan rasa bencinya terhadap Prabowo”.

Wiranto, menurut Sumitro, bahkan sempat mengadu kepada mantan presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 mengenai pergerakan Prabowo. Mendengar keluhan itu, Soeharto langsung ”menginstruksikan” agar Prabowo segera dicopot dari Panglima Kostrad. Menurut Sumitro, Wiranto menggunakan segala ”taktik dan tipu daya” untuk merebut simpati publik dan menjadikan Prabowo sebagai kambing hitam.

Sejumlah jenderal juga melansir buku seputar peristiwa yang sama. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Subagyo Hadi Siswoyo juga meluncurkan bukunya, Kasad dari Piyungan, pada 2003. Biografi ini tak terlampau memantik kontroversi seperti buku Wiranto maupun kelompok Prabowo.

Sejarawan Asvi Warman Adam menganggap fenomena ”buku berbalas buku” ini sesuatu yang positif. Momen-momen historis bangsa ini selalu diwarnai perang buku antarpelaku dan saksi sejarah, sejak peristiwa G30S/PKI hingga Malari. Ia menyayangkan kumpulan tulisan itu belakangan tak lagi sekadar alat membela diri, tapi juga menyerang tokoh yang berseberangan. Kendati begitu, ia menganggap masyarakat cukup kritis untuk menilai mana yang bisa dipercaya, mana yang tidak.

Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus