Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kredit macet di perbankan Indonesia sudah seperti penyakit menahun. Suatu ketika, penyakit itu sementara sembuh, tapi tak lama kemudian bakal kambuh lagi. Itulah yang terjadi di Bank BNI. Bank terbesar kedua di Indonesia itu kini sedang menghadapi kredit macet yang lumayan besar, yakni sekitar Rp 1,7 triliun. Jumlah itu lebih besar ketimbang laba bersih yang diraih bank berlogo kapal layar ini pada semester pertama 2003 senilai Rp 1,5 triliun. Potensi kredit macet sebesar itu setara dengan 4,4 persen total kredit BNI yang dikucurkan sepanjang semester pertama 2003.
Kasus pembobolan ini sudah diserahkan kepada aparat hukum tiga minggu lalu. Dua petinggi BNI yang dinilai bertanggung jawab atas pembobolan tersebut, yakni Kepala Cabang Utama Kebayoran Baru, Kasadiyuwono, dan Kepala Customer Service Luar Negeri, Edi Santoso, sudah ditahan polisi sejak Oktober silam. Pengacara Edi, Taufik Rahman, mengatakan bahwa kliennya memang sudah menjadi tersangka. Mereka bakal dijerat dengan Undang-Undang Perbankan. "Belum mengarah ke tindak korupsi, karena besarnya kerugian negara belum diketahui," katanya. General Manager & Corporate Secretary BNI, Lilies Handayani, mengatakan bahwa pengucuran itu keputusan cabang. "Apalagi pembiayaan ekspor itu ada 84 kali dan kecil-kecil," ujar Lilies.
Kredit macet ini terjadi kala Adrian Herling Waworuntu dan Maria Pauline Lumowa (PT Gramarindo Group) dan John Hamenda (PT Petindo) mendatangi BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kedua perusahaan ini bergerak di bidang ekspor hasil perkebunan, pupuk cair, industri marmer. Produk mereka kebanyakan diekspor ke Kongo, Kenya, dan Singapura. Intinya, mereka ingin mendapatkan kredit untuk memperlancar ekspor dengan jaminan letter of credit (L/C) terbitan empat bank di luar negeri. Empat bank itu adalah Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp.
Pada September 2002, Bank BNI menyetujui jaminan itu meskipun keempat bank itu bukan bank korespondensi BNI. Setelah ada bank mediator, yakni American Bank dan Standard Chartered Bank, BNI akhirnya mengucurkan pinjaman Rp 1,7 triliun, mulai Oktober 2002 hingga Juli 2003. Sebanyak Rp 1,6 triliun masuk ke PT Gramindo, sedangkan Rp 105 miliar untuk PT Petindo. Anak perusahaan Gramindo yang mendapatkan bagian antara lain PT Gramarindo Mega Indonesia, Trianu Caraka Pacific, sementara uang yang ke Petindo masuk Petindo Perkasa dan Jaka Saktibuana International.
Celakanya, duit tersebut bukanlah dipakai untuk ekspor. Pinjaman tersebut ternyata dibagi-bagi lagi ke sejumlah perusahaan dan proyek, di antaranya untuk membayar utang Gramarindo ke BPPN sebesar Rp 11 miliar, Adhitia Putra Finance (Rp 527 miliar), Sagered Team/Grup Industri Marmer (Rp 305 miliar), Oenam Marble/Grup Industri Marmer (Rp 272 miliar), PT Brucolin (Rp 170 miliar), dan yang lain untuk membayar Bukaka (Rp 4,5 miliar) dalam proyek jalan tol Sukabumi-Ciawi. Sialnya lagi, sebagian dari proyek tersebut macet.
Ketika jatuh tempo, Gramarindo tidak bisa membayarnya. Bahkan bank penerbit L/C yang dijaminkan juga menolak membayar kepada BNI karena L/C itu bodong. Bank penerbit melihat bahwa Gramarindo tak pernah mengirim barang ke luar negeri. Selain itu, surat-surat pengapalan barang atau bill of lading (B/L) yang diterbitkan oleh PT Perusahaan Pelayaran Bahtera Bintang Selatan beralamat fiktif. Bahkan pelabuhan tujuan hanya disebut China Port, tanpa alamat jelas. Gramarindo sendiri juga perlu dipertanyakan keberadaannya. Ketika TEMPO mendatangi kantornya di Jakarta Selatan, ternyata gedung berlantai tiga itu adalah kantor PT Sagered Group, perusahaan milik Maria. Beberapa karyawan Sagered tidak tahu soal Gramarindo.
Akibat permainan L/C itu, Bank BNI harus menanggung potensi kerugian sampai Rp 1,7 triliun. Tapi, sebagian sudah kembali. Gramarindo diketahui telah mengembalikan Rp 542 miliar. Selain itu, Adrian juga sudah meneken jaminan pribadi (personal guarantee) jika utangnya tak kembali. Sementara itu, John Hamenda dan Maria tak mau meneken jaminan pribadi. "Saya cuma mau membantu Maria," kata Adrian. Dia menceritakan bahwa Maria Lumowa tak mungkin meneken surat jaminan karena dia warga negara Belanda. Karena itu, ketika BNI meminta ketiganya menyerahkan surat jaminan pada Agustus lalu, Adrian-lah yang menekennya.
Keterlibatan Adrian dalam kasus ini tentu saja membuat banyak pihak tercengang. Bahkan Lilies sempat menunjukkan rasa herannya karena Adrian sebenarnya masuk dalam daftar hitam BNI. Namun, ia tidak tahu apa pertimbangan saat itu sehingga Gramarindo memperoleh pinjaman. Sebab, tidak kali ini saja Adrian berulah. Tahun 1995, tiga perusahaan Adrian menerbitkan commercial paper (CP) senilai Rp 36 miliar dan dijamin Bank Pacifik yang dipimpin Endang Utari Mokodompit. Surat utang jangka pendek itu lantas ditawarkan kepada Jamsostek dengan harga Rp 33 miliar. Namun, Adrian tak mampu membayar surat utang tersebut.
Kasus ini sempat masuk ke polisi, tapi kini berhenti di tengah jalan karena Kejaksaan Tinggi Jakarta menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan pada Oktober 2002. Alasannya, Adrian dan Endang telah membayar dengan tanah yang ditaksir melebihi utangnya. Sedangkan masalah pelanggaran aturan perbankan masih ngendon di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan tak kunjung diserahkan ke pengadilan.
Benarkah Adrian belum bertobat? Tentu saja ia menolaknya. "Saya tidak terlibat dalam kasus ini," ucapnya. Dia menegaskan bahwa Gramarindo perusahaan milik Maria. Lelaki kelahiran Tomohon 52 tahun silam ini mengaku mengenal Maria sejak dulu. Suatu ketika, Maria Lumowa meminta dicarikan proyek dan Adrian menyodorkan sejumlah proyek di sektor perkebunan dan minyak. Sebagai ungkapan terima kasih, Adrian mendapat komisi plus saham kosong 15 persen di PT Brucolin. Di perusahaan yang berdiri April 2003 ini, Maria dan bekas suaminya memegang 85 persen. "Kalau saya dibilang terlibat, ya, karena Brucolin menerima kucuran Rp 170 miliar. Saya benar-benar tak tahu bagaimana L/C itu dibuat," ujarnya.
Justru Adrian menuduh bahwa permainan L/C ini didalangi oleh orang BNI. Alasannya, bank terbesar kedua di Indonesia ini membutuhkan mitra untuk menutup kredit macet sejumlah perusahaan. Pilihan BNI jatuh ke tangan Gramarindo karena perusahaan ini dipandang punya bisnis yang bagus di sektor pertambangan marmer. Ketika BNI mengeluarkan dana yang seharusnya digunakan untuk pembiayaan ekspor, sebagian dibelokkan untuk menutupi kredit itu.
Siapa yang benar, polisilah yang akan menentukan. Namun, Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal Polri, Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, belum bisa memberi keterangan banyak tentang pengusutan kasus ini. Meskipun begitu, Herman Kadir, pengacara Edi Santoso yang lain, mengaku kecewa karena Adrian, Maria, dan John belum diundang ke kepolisian. Padahal merekalah yang menjadi penyebab terjadinya kredit macet ini. Adrian sendiri mengaku belum menerima surat panggilan polisi. Sementara itu, kata Adrian, Maria Lumowa sedang berada di Singapura.
Kadir menegaskan bahwa dalam kasus ini Gramarindo menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Dari dana L/C senilai Rp 1,7 triliun, enam di antaranya macet. Gramarindo sendiri baru mengembalikan sekitar Rp 542 miliar. Pinjaman pembiayaan ekspor itu dalam dua mata uang. Gramarindo menerima US$ 72 juta dan 56,1 juta euro, sedangkan Petindo Grup memperoleh US$ 12,5 juta. Sebagian utang tersebut sudah jatuh tempo, sebagian lagi ada yang jatuh tempo pada Desember 2003. "Tapi, saya sudah mendengar bahwa Gramarindo telah membuat pengakuan utang," tuturnya. Namun, Petindo belum meneken surat pengakuan utang. John Hamenda tak bisa dikontak karena sedang berada di luar negeri.
Saat ini, Bank BNI memang belum merugi. Ibaratnya baru merobek layar bank yang berlogo perahu ini. Kalaupun rugi, potensi kerugiannya berkisar Rp 1,2 triliun. Tapi, lampu peringatan sudah menyala terang-benderang. Apalagi Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, sudah memberikan peringatan dini bahwa ada indikasi kredit seret (non-performing loan) perbankan naik. Dan soal yang sama juga sedang melanda bank-bank yang lain. Agaknya, payung harus segera dikembangkan sebelum persoalan kredit macet ini kembali menggulung Indonesia.
Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo