KACA mata Arifin C. Noer sudah lama retak sebelah. Tapi, karena tak kunjung punya uang untuk menggantinya, ia kenakan juga penyambung mata yang sudah selayaknya diapkir itu. Pemuda yang masa remajanya sempat jadi tukang bakar sate ini baru mampu membeli kaca mata pengganti, setelah ia bermain drama, dalam lakon (dari Jerman) "Hochwalder" bersama W.S. Rendra. Mereka, 1961 itu, tergabung dalam Lingkaran Drama Mahasiswa, di Yogya. Honor bermain drama itu, "Membuat saya gembira sekali. Saya sadar bahwa saya memang berhak menerimanya," kata Arifin, yang kini sudah kondang sebagai sutradara teater dan film. Dan lelaki Yan kemudian memiliki kaca mata bagus ini tidak menampik kalau teater menjadi kegiatan sumber hidup. "Bisnis teater bukan sesuatu yang tabu. Wajar saja. Jika seorang dokter, jurnalis, atau ekonom bisa memperoleh penghidupan dari bidang keahliannya, mengapa aktor tidak?" katanya. Rendra pimpinan Bengkel Teater sudah mengucapkan kredo dagang pada 1985, dengan menyerukan, agar seniman bersekutu dengan dunia bisnis. "Tapi tidak berarti menghamba," katanya. Setahun kemudian, ia membuktikannya. Pada Agustus 1986, tersebutlah seorang pengusaha bernama Kurnia Kartamuhari. Direktur Utama Artha Saphala ini dengan menakjubkan mengeluarkan tak kurang dari Rp 150 juta dari koceknya, untuk membelanjai pertunjukan sandiwara "Panembahan Reso" oleh Bengkel Teater, di Istora Senayan, Jakarta, sela'ma dua hari. Separuh dari jumlah itu -- hak Bengkel Teater -- menurut Kartamuhari diberikan secara bertahap sejak sebelum pementasan. Dengan hujan duit itu, gaya hidup Bengkel Teater langsung berkembang. Menyangkut makan siang, misalnya, ada kontrol sesuai dengan kebutuhan gizi. Selama latihan, disediakan biaya transpor dan uang saku per hari Rp 4.000. Dari sekitar 60 pemain dan awak, mereka yang sudah berkeluarga mendapatkan tunjangan Rp 50 ribu per bulan, sejak permulaan latihan. "Semua mendapatkan jatah sama, tidak ada perbedaan berdasarkan senioritas," tutur Adi Kurdi, seorang pemain senior. Teguh Karya, pemimpin Teater Populer, pun tak keberatan pada pemasaran teater kendati menolak istilah bisnis teater. "Menurut saya, sudah saatnya teater dijadikan semacam: galeri seni lukis," kata Teguh. "Maksudnya, para pelaku teater menghasilkan karya sebaik-baiknya, maka kemudian akan mengundang penghargaan dari penonton dan sponsor. Jangan sampai teater diarahkan untuk kepentingan bisnis. Bagi saya, teater adalah bagian dari upacara bersama secara spiritual. Saya merasa butuh menyampaikan sesuatu kepada masyarakat, sebaliknya masyarakat perlu menerimanya," katanya. Untuk mewujudkan cita-cita itu, Teguh mensyaratkan: perlu strategi memikat khalayak. N. Riantiarno, pimpinan Teater Koma, sampai saat ini memenuhi persyaratan itu. Keterampilannya menyedot dan memelihara penonton luar biasa. Pada tahun 1987, Komalah kelompok teater pertama di Indonesia yang mampu main 23 hari berturut-turut di Gedung Graha Bhakti Budaya, TIM. Dengan karcis berharga Rp 7.500 dan Rp 5.000, mereka sudah mengisap 9.000 penonton. Pementasannya yang terakhir: "Banci Gugat", dengan harga karcis Rp 15.000 dan Rp 10.000, di Gedung Kesenian, Pasar Baru, dikejar-kejar penonton sampai hari pertunjukan diperpanjang. Pada malam minggu kedua karcisnya melonjak di tukang catut sampai Rp 35 ribu. Fantastis memang. Wajarlah kalau kelompok ini merencanakan untuk melakukan pertunjukan tanpa batas waktu. Tapi dasar masih "pedagang" baru, Riantiarno masih malu-malu menyebutkan berapa modal dan laba per produksi. Toh ia tak segan mengatakan bahwa pertunjukan teater harus didukung dengan pertimbangan bisnis. Bagaimana mengelola teater dengan manajemen bagus dan menyediakan pertunjukan yang berkualitas adalah pegangan kelompoknya. Obsesinya, dari dahulu, tak lain, agar profesi seniman teater bisa sejajar dengan profesi lain -- seperti karyawan bank, wartawan, dan dosen. Yang tentunya, kata Riantiarno lagi, "Tidak haram untuk mencari duit." "Seniman kan juga punya hak dalam bidang ekonomi," kata Rendra. Menurut dia, tidak adil kalau yang memiliki hak ekonomi hanya dokter, insinyur, pejabat, dan pengusaha. Ia tidak menyukai para seniman yang menolak bekerja dengan kalangan bisnis tapi bersekutu dengan birokrasi. "Bersekutu dengan birokrasi tidak menguntungkan, hubungannya tidak sejajar. Seniman akan kehilangan kebebasan seninya." Ia memilih bersekutu dengan bisnis karena, katanya, "Hubungannya sejajar. Karya berkualitas layak dihargai mahal. Sebaliknya, kalau karyanya nomor dua, harganya juga jatuh." "Kami dulu benci dagang, tapi sekarang kami juga mau ikut dagang, cuma belum berhasil," kata kelompok produksi di Teater Mandiri. Mereka mengatakan sangat iri dan jauh tertinggal di belakang Teater Koma dan Bengkel Teater dalam membingkiskan produk dan mengatur strategi. Kelompok ini baru saja mementaskan sandiwara, dengan penonton yang menyedihkan. "Kami cerminan kelompok yang tak mampu menembus pasar, karena asyik sendiri, sama sekali bukan karena teater tidak dapat dipasarkan," kata barisan produksinya lebih lanjut. "Kelemahan grup-grup kita selama ini adalah belum berhasil menciptakan orang-orang yang sanggup menangani bidang pemasaran," kata Arifin C. Noer. "Apa salahnya bekerja sama dengan impresario, yang dari segi bisnis memiliki keahlian di bidang itu. Di samping demi profesionalisme, bekerja sama dengan impresario juga penting untuk efisiensi." Benar, Bengkel Teater sudah merintisnya. Impresario yang sekarang bekerja sama dengan Rendra adalah Djodi Setiawan -- juragan yang memiliki sumur dana dari bisnis di, antara lain, lingkungan minyak dan perkapalan. Rangkulan pertama dimulai ketika Rendra memberangkatkan rombongannya mengikuti Festival Kesenian Internasional di New York, tahun silam, dengan menampilkan repertoar "Selamatan Anak-Anak Sulaiman". Djodi, dengan dukungan keuangan kuat dan memang niatnya tak hendak mengejar untung lewat kesenian, juga membiayai repertoar yang sama untuk pertunjukannya di Jakarta. Kelihatannya kerja sama Djodi -- Rendra kompak. Kalau di Jakarta ada pengusaha seperti Kurnia Kartamuhari dan Djodi, yang memelopori pembukaan ladang bisnis teater, Medan juga tak ketinggalan. Sejak awal tahun ini muncul Ali Jauhari, 25 tahun. Pengusaha muda yang aktif dalam "Lembaga Bisnis Manajemen dan Komputer" ini melihat Medan gersang, kurang kegiatan kesenian. "Saya ingin ikut menyiraminya," katanya. Siraman pertama adalah Rendra, didatangkan akhir tahun silam, membacakan sajak di Tiara Convention Hall. Kabarnya, untuk itu, Rendra mendapat Rp 3 juta. Akhir Januari lalu, Ali, melalui Genta Enterprise, menyokong Teater Kartupat Medan, mementaskan "Wanita Perkasa" karya Raswin Hasibuan. Kendati yang tiba bukan laba melainkan kritik, nyali Ali tidak tidak ciut. Malah pada 19 Februari lalu, ia meresmikan berdirinya Ali Jauhari Productions (AJP). Dibarengi dengan penampilan solo Arifin C. Noer, membawakan cuplikan naskah sandiwaranya. Dengan bendera AJP, Ali melangkah lebih jauh. Dengan sebuah brosur yang tercetak rapi, programnya untuk 1989 ini sudah penuh, serta bertekad. Mei nanti ia mendatangkan Teater Koma untuk mementaskan "Sampek Engtay". Disusul pada Juli pementasan "Buku Harian Seorang Penipu" Bengkel Teater Rendra. Sedangkan September adalah jatah Teater Kecil Arifin C. Noer, dengan lakon "Sumur Tanpa Dasar" dan "Dalam Bayangan atawa Interogasi Nomor Dua". Dan Desember giliran "Pernikahan Darah" Teater Kecil Teguh Karya. Biaya per grup dari Jakarta itu untuk sekali pentas, menurut perhitungan pihak luar AJP yang ahli kalkulasi, berkisar dari Rp 70 sampai Rp 100 juta. Ali sendiri mengelak untuk menyebutkan angka itu. Ia cuma mengatakan, "Untuk ongkos pesawat 60 orang pendukung saja sudah Rp 18 juta." Namun, dengan modal yang akan diambil dari koceknya sendiri plus (setidaknya 60% biaya produksi) dari sponsor, ia masih mengharapkan korting pajak tontonan 30%. Jika pemda setuju atas permintaan korting itu, di atas kertas AJP akan untung 10% atau 20%. Berapa sebenarnya biaya produksi sebuah pertunjukan drama? Di Jakarta, paling tidak untuk Teater Populer, Teguh Karya menyebut angka sekitar Rp 5 juta. Mutiara Sani, yang memproduksi "Mahkamah" (dipentaskan di Gedung Kesenian, 1987) melalui Sanggar Pelakon, mengaku mengeluarkan ongkos produksi lebih dari Rp 5 juta. "Sedangkan pemasukan dari penjualan karcis Rp 4.300.000," tutur Mutiara. "Itu pun harus fifty-fifty dengan pihak Gedung Kesenian. Maka, kami sangat berterima kasih pada para sponsor" Sponsor? "Nampaknya pertunjukan teater yang serius belum mampu mengundang banyak penonton." kata Farida Feisol, pengelola Gedung Kesenian Jakarta. Mungkin karena masyarakat kita masih menyukai yang berbau hiburan. Tetapi bukan berarti GK tidak mencoba. Kami telah mengundang Putu Wijaya untuk pentas di sini. Kita lihat bagaimana hasilnya. Tetapi, menurut saya, penampilan serius (bukan hiburan) tetap membutuhkan sponsor jika ingin tetap langgeng pentas". Kelompok seperti Teater Kartupat di Medan, yang mulai dengan modal dengkul para anggotanya, sudah menggalang kerja sama dengan sponsor. Pada periode 1982-1984, sekali pentas mereka bisa beroleh bantuan 400 ribu (dari Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia atau Sinar Asia Taylor Medan). Belakangan, perusahaan rokok Ardath membantu menopang biaya produksi perpentas yang sudah mencapai Rp.1,5 juta. Selama 13 tahun ini Kartupat bisa pentas sebanyak 76 kali. Di Jakarta, banyak perusahaan sudah mulai membiarkan dananya mengalir ke dalam produksi teater. Baik berupa uang kontan maupun tukar iklan dalam buku acara. Mulai dari perusahaan rokok, media massa, restoran, radio, serta produk kosmetik, perusahaan farmasi, pusat pertokoan, bahkan juga perorangan. Apakah ini bukti, teater sudah melangkah ke pasar atau justru sebaliknya: teater tetap saja harus diberi "dope", karena tak pernah mampu membuka pasar? "Di mana-mana teater memang masih diberi subsidi, jarang yang bisa mandiri secara penuh," kata Budayawan Umar Kayam di Yogya. Ia menyebutkan di Amerika pun, meski kehidupan teater sudah mendapatkan tempat layak, subsidi itu masih terjadi. Maka, ia mendukung Dewan Kesenian Yogya -- DKY -- untuk mensponsori galatama teater. Rapat untuk pelaksanaan galatama ini pun sempat diadakan di "padepokan" Umar Kayam, di Kompleks Bulaksumur. Ide galatama sendiri sudah dicetuskan Kayam 10 tahun lalu. "Penekanannya pada kualitas, belum ke arah impresariat." Untuk itu, DKY, seperti dituturkan ketuanya, Bakdi Soemanto, sudah menganggarkan biaya Rp 2 juta setahun, untuk satu produksi. Pelaksanaannya dalam wujud kerja sama para tokoh dari grup-grup atau sanggar berlainan. Misalnya, untuk proyek perdana Juni depan, yang akan dipercayakan pada Teater Stemka dan Teater Gandrik. Naskah yang dicalonkan "Musuh-Musuh Masyarakat", "Matinya Pedagang Keliling", dan "Bantal". Bakdi berangan bila galatama menghasilkan tontonan yang layak jual seorang impresario akan lahir. Kalau sudah begitu, kata Bakdi, "Perlahan-lahan kami akan mundur, memberikan kesempatan para produser.Mohamad Cholid, Bersihar Lubis, Aries Margono, Budiono Darsono, Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini