MENYENANGKAN. Itulah kesan pertama yang menyelinap di hati pendengar Collegium Musicum, orkes mahasiswa dan lulusan berbagai fakultas Universitas Bonn, Jerman Barat, pentas di Golden Ballroom Hotel Hilton Selasa malam, 22 September lalu. Berprofil tanpa pretensi, sebuah susunan acara yang cukup ambisius mengusik hati saya: mampukah mereka? Beruluk salam dengan karya Mendelssohn (1809 - 1847), Overtur Hebriden yang amat terkenal, Collegium Musicum (sekitar 40 orang) melimpahkan kesegaran, baik bunyi maupun gairah mentas. Agaknya, dari 4 karya yang disuguhkan, Hebriden, sebuah syair simfonik yang paling cocok bagi jiwa Collegium Musicum. Mungkin karena judul programatik (Hebriden) memberi peluang imajinasi. Sesuai dengan catatan harian Mendelssohn sendiri ia mengunjungi Pulau Staffa di Skotlandia -- dan terpaku pada kedahsyatan alam, yang memadu Gua Fingal berparas pucat dengan kuatnya gelombang laut menghantam gunung batu karang. Waktu itu Mendelssohn berumur 20 tahun. Collegium Musicum mampu merekam gejolak jiwa pemuda Mendelssohn yang menyala kagum pada kuasa alam. Kedua karya berikutnya dipilih dengan maksud tertentu, menyuguhkan Serenade dalam c-moll K 388, karya W.A. Mozart dimainkan 8 pemain tiup (kayu dan logam) pada instrumen korno, obo, klarinet, fagot. Disusul ensembel gesek karya Ottorini Kespighi (1879-1936), aransemen indah tari-tari keraton dan beberapa aria komponis abad ke-16. Kedua nomor yang dimainkan kelompok tiup dan kelompok gesek sangat menarik dari sudut materi bagi pemainnya. Serenade Mozart yang mengandalkan 8 pemain (tanpa dirigen), tampak mulus dan indah -- suatu prestasi yang memerlukan keterampilan kerja sama yang cermat. Rupanya, secara spiritual, mereka belum siap memeluk jiwa Mozart. Di antara ratusan karya ciptaannya, Mozart hanya menulis beberapa jumlah saja dalam tangga nada minor. Tapi justru suasana minor dalam tangan seorang Mozart bak intan terselubung, menymar ke dalam. Karya Respighi untuk ensembel gesek kembali diarahkan dirigennya, Dr. Emil Platen, Direktur Akademi Musik Universitas Bonn, profesor musikologi, serta pendiri Collegium Musicum. Aria Antiche Itali memang terkenal sebagai karya-karya indah abad ke-16, yang tak ada bandingannya. Begitu pula tari-tari keraton yang wujudnya terkenal memesonakan dalam alur jiwa keraton. Ensembel gesek arahan Platen jernih berbunyi, karakternya halus. Tapi minus dalam penjiwaan. Sayang, ia tak hadir utuh. Simfoni no. 2 karya L.v. Beethoven (1770-1827) mendapat giliran terakhir dalam acara malam tersebut. Dicipta pada tahun 1802, ternyata lebih komunikatif dengan jiwa Collegium Musicum. Dalam ucapan lugu dan bersahaja mereka dapat menangkap kepolosan jiwa Beethoven yang belum dirundu kebesaran dramatik. Dua hari setelah Collegium Musicum, saya menghadiri konser Orkes Simfoni Jakarta yang dipimpin dirigen tamu Adidharma. Saya tak datang untuk membandingkan satu sama lain -- karena kondisi yang berbeda dan tidak seharusnya. Mereka juga, antara lain, menyuguhkan satu karya Mozart dalam tangga nada minor, yaitu Simfoni Mozart No. 40 dalam g-minor. Sungguh menderita batin saya. Seandainya dihadapkan pada suatu pilihan antara kedua malam, maka dengan segala kejujuran, saya memilih paras anak mahasiswa. Paling tidak, motivasi dan tujuan mereka ada. Tanpa pretensi, mereka menunjukkan kecintaan terhadap apa yang mereka lakukan. Karena itu, anjungan jempol patut diberikan pada Emil Platen. Ia tahu kewajibannya, bagaimana memupuk asuhannya: mahasiswa dan lulusan fakultas-fakultas filsafat, teologia, kedokteran, sastra Jerman, pertanian, ilmu alam, hukum, dan sosiologi. Bravo Emil. Bravo Collegium Musicum. Irawati M. Sudiarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini