KEBIASAAN menonton film asing lalu membuat skenarionya dengan
bingkai Indonesia, bukan rahasia. Bukan tabu di kalangan orang
film. Mungkin karena itu Fritz Schadt berpendapat, isu
penjiplakan tidak perlu lagi dipersoalkan. "Bagaimana kita
membuktikan sebuah film plagiat atau tidak? Karena biasanya film
asing hanya mengilhami satu ide cerita. Kalau idenya bagus ya
ambil saja," ujarnya ringan.
Fritz memang tidak membedakan antara mengambil ide dan
menuangkan ide. Untuk membuat Si Mamat umpamanya, Sjumandjaya
mengambil ide dari karya Anton Chekov. Filmnya yang lain, Laila
Majenun, diilhami karya klasik Shakespeare Romeo and Juliet.
Sjuman tidak dituduh menjiplak bukan karena ia jujur mengakui
telah mengambil ide. Tapi karena dalam menuangkan ide ke dalam
gambar, ia orisinal. Si Mamat yang kita lihat, luar dan dalam
tidak sedikitpun mencerminkan pinjaman dari Rusia -- melainkan
sosok tragis pegawai negeri rendahan, lugu, dan akhirnya jadi
korban lingkungan.
Contoh yang lebih ekstrim ialah film A Bout de Souffle karya
Jean Luc-Godard. Lewat film ini Godard diakui telah menemukan
sesuatu yang baru. Tapi ia mengakui, bahkan menjelaskan, ketika
membuat A Bout de Souffle dalam benaknya jelas tergambar shot
dan scene dari karya dua sutradara Amerika terkemuka, Otto
Preminger dan George Cukor.
Apakah karena diilhami gaya visualisasi Preminger dan Cukor,
Godard bisa dituduh menjiplak? Ternyata tidak. A Bout de Souffle
sebaliknya diakui sebagai karya puncak yang mengejutkan dalam
perfilman. Dan Godard dianggap pelopor 'New Wave'. Kok bisa?
Karena orisinal.
Godard memang berangkat dari gagasan orang. Hanya saja, orang
seperti dia tidak akan terpacak pada gagasan para pendahulu itu,
dan sebaliknya berangkat ke satu wilayah lain. Apakah proses
panjang yang mengerahkan segenap jerihpayah kreativitas itu bisa
ditemukan dalam karya-karya Indonesia yang dianggap menjiplak,
itulah soalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini