SEBUAH pesan "rahasia" dari Australia Dairy Corporation (ADC),
Melbourne, suatu hari masuk ke pesawat teleks PT Indomilk,
Jakarta. Presiden Komisaris ADC Malcolm Vawser memberitahukan
bahwa direksi perusahaan itu pada 29 Juli telah mengadakan
pertemuan khusus membicarakan penjualan saham ADC ke Indomilk.
Direksi, tulis Vawser, akhirnya memutuskan agar Dirut Indomilk
Nahar Zahiruddin memintakan persetujuan tertulis pemerintah
Indonesia mengenai penjualan saham ADC ke Marison.
Pesan teleks yang dikirim Vawser 2 Agustus itu rupanya mendapat
tanggapan Menteri PAN JB Sumarlin. Dalam balasan 3 Agustus,
Sumadin menjanjikan bahwa "pemerintah Indonesia lewat BKPM
(Badan Koordinasi Penanaman Modal) akan mendukung penjualan
saham ADC ke Marison" selaras dengan perjanian yang dicapai
kedua pihak pada 9 Juni.
Korespondensi antara ADC dengan Indomilk itu rupanya diketahui
Dirut PT Kebun Bunga Raj Kumar Singh, calon pembeli pertama
saham ADC. Dia menganggap ADC telah berkhianat. Sebab, calon
pembeli serius itu mengaku telah memberikan panjar US$ 1 juta --
sebagai pembayaran tahap pertama atas 375 lembar saham ADC yang
berharga US$ 10 juta. Tapi Marison, partner ADC di Indomilk
rupanya melakukan antisipasi cukup gesit hingga ADC yang kepepet
sampai mengubah sikap. "Saya punya firasat ADC akan mungkir,"
kata Kumar Singh. "Karena itulah war plan (rencana perang) pun
saya susun."
Tembakan pertama sudah dilancarkan Kumar Singh, 42 tahun,
bujangan asal Medan. Kepada Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dia
memohon agar melakukan sita jaminan (conservatoir besag) atas
saham, tanah, gedung, peralatan pabrik milik ADC di Indomilk.
Permohonan itu sudah dilaksanakan pada 9 Agustus. Hendi Soejono,
wakil Indomilk menolak sita jaminan itu. Alasannya "Tanah lokasi
pabrik, gedung perkantoran, gedung pabrik, gudang serta
mesin-mesin beserta peralatannya adalah milik PT Indomilk. Bukan
ADC".
Tapi, Kumar Singh tampak puas dengan gebrakan pertamanya.
"Gugatan telah saya ajukan," katanya kepada Marah Sakti dari
TEMPO. "Ambisi saya sekarang bukan sekedar ganti rugi saja, tapi
hasrat kuat menyelesaikan segalanya melalui hukum. Taruhannya
kini kredibilitas saya."
Lewat Kantor Pengacara Otto Cornelis Kaligis, Kumar Singh juga
memasang iklan pemberitahuan, 12 Agustus, di koran Merdeka. Dia
memberitahukan "khalayak ramai agar tidak melakukan tindakan
hukum apa pun terhadap seluruh asset (kekayaan) Indomilk" yang
berada dalam status sita jaminan. Indomilk lewat pengacara
Julias Rasjid esok harinya di koran yang sama kontan membalas:
"Sita jaminan itu salah alamat".
Nahar Zahiruddin, Dirut Indomilk, juga berpendapat serupa. "Yang
bersengketa kan Kebun Bunga dengan ADC di Melbourne, mengapa
asset Indomilk yang disita?" tanyanya. "Kalau Kebun Bunga merasa
dinugikan, yang dituntut seharusnya ADC, dan kalaupun kelak
dilakukan penyitaan, ya harus terhadap asset ADC di Australia."
Kendati pengadilan telah meletakkan sita jaminan, Indomilk tetap
diizinkan berproduksi.
Marison, pemegang saham 509 di Indomilk, tetap tidak bersedia
membeli saham ADC, partnernya, yang ditawarkan US$ 10 juta.
Selain menganggap harga itu terlalu tinggi, Nahar berpendapat
waktu dua minggu (mulai 13 Oktober 1981) untuk menawar, terlalu
pendek. Dia juga berpendapat, "harga saham itu berdasarkan
taksiran perusahaan penilai berada di bawah angka US$10 juta."
Dia juga tak suka ketika mengetahui ADC ternyata telah
menawarkan sahamnya terlebih dulu kepada Kumar Singh -- bukan
kepada partnenya, pemegang hak opsi pertama untuk membeli saham
itu. "Cara ADC itu jelas tidak etis," katanya.
Menurut cerita Kumar Singh, kontak dengan Preskom ADC Vawser
justru baru terjadi sesudah Marison dianggap menolak tawaran
itu. Lewat sejumlah pertemuan, kedua pihak, kata Kumar Singh,
akhirnya menyetujui pengalihan 375 saham ADC dengan harga US$
10 juta. Benarkah ADC telah menerima uang panjar US$1 juta?
"Bukan merupakan kewajiban saya membuat komentar atas kejadian
itu pada saat ini," jawab Preskom ADC Vawser lewat teleks kepada
TEMPO.
Merasa hak opsinya terancam, Nahar kemudian melaporkan kelakuan
ADC itu kepada Menteri PAN Sumarlin, Ketua BKPM Suhartoyo,
sampai Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro. Dia rupanya
menginginkan agar pemerintah turun tangan. Nahar rupanya lebih
suka meminta Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) membantu
penyediaan dana. Sesudah ada permintaan itu, Bapindo menghubungi
ADC: menanyakan apakah perusahaan Australia itu tidak keberatan
jika Bapindo membantu Marison. "Pimpinan ADC menyatakan tidak
keberatan, maka kami pun mcngerahkan konsultan dan perusahaan
penilai," kata sebuah sumber di Bapindo.
Singkatnya ADC setuju untuk mengalihkan sahamnya ke Bapindo.
Tapi caranya, supaya Kumar Singh tidak gusar, saham ADC
mula-mula dialihkan ke Marison, baru sesudah itu Bapindo membeli
saham tersebut. Rencana itu jelas tertuang dalam suatu
perjanjian kerjasama 20 Juli antara Bapindo dan Marison yang
ditandatangani Presdir Marison Nahar Zahiruddih dengan Dirut
Bapindo Kuntoadji. Di stu kedua belah pihak juga mupakat:
"sesudah Bapindo menjadi pemegang saham untuk menyempurnakan
Anggaran Dasar Indomilk, mengadakan perubahan dan menetapkan
susunan direksi, serta komisaris baru."
Kenyataan seperti itu, tentu saja, menyebabkan Kumar Sigh naik
pitam. Dia kemudian mengadukan kelakuan ADC itu kepada Senat
Australia yang juga pernah menyelidiki beberapa skandal
menyangkut ADC. "Saya sudah dengar pendapat dengan Senat itu,"
kata Kumar Singh. Rencananya pada 18 Agustus ini, Senat akan
memanggil ADC untuk menjelaskan duduk soal sengketa itu.
Sementara itu, tersiar kabar bahwa Indomilk sesungguhnya punya
utang Rp 9,6 milyar -- di antaranya US$ 8 juta (Rp 5,4 milyar)
pada Asian Dairy Industry, anak perusahaan ADC di Hongkong.
Tahun lalu perusahaan susu itu disebut rugi Rp 1,5 milyar. "Saya
heran kalau ada orang tahu Indomilk rugi, dari mana datanya
diperoleh," jawab Nahar.
Dia kelihatan tenang dan banyak ketawa terkekeh menghadapi
gempuran Kumar Singh. Bersama dengan stafnya dia baru saja
memindahkan kantomya dari Wisma Metropolitan ke lokasi pabrik di
Jl. Raya Bogor km 26,6, Gandaria, Jakarta. "Sewa kantor di
tempat itu terlalu tinggi. Biaya dua tahun menyewa bisa dipakai
untuk membangun kantor karena itu kami putuskan bangun kantor di
pabrik yang menghabiskan Rp 250 juta," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini