Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bukan Karena Iseng

Group sembilan mengadakan pameran lukisan di landmark centre, jakarta. mereka bukan lagi pelukis di kala senggang. banyak perubahan dan perkembangan. karya-karya mereka benar-benar serius.

24 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA beruntung tinggal di Indonesia," tutur Helen Gauchat. Negeri ini, tambahnya "Kaya obyek, warna, dan cahaya. Seperti langit Bandung sore hari, cahaya dan tumbuhan Bali, dan Taman Laut Flores." Maka, Helen, dengan dasar kursus privat melukis pakai cat air di Australia, Muangthai, dan Swiss, merasa tertantang melukiskannya. "Saya sangat suka melihat drama interaksi antara air, cat, dan kertas," katanya. Wanita Australia yang kemudian menjadi warga Swiss dan kini tinggal di Jakarta ini bergabung dengan Group Sembilan. Mereka adalah sejumlah wanita, yang dengan kredo masing-masing menjadikan kegiatan seni rupa sebagai jalan utama berekspresi. Kali ini, 20 September-4 Oktober, di Lobi Timur Landmark Centre Jalan Sudirman, Jakarta, bagi Helen Gauchat merupakan pamerannya pertama sejak berabun dalam Group Sembilan. Pada 1982 ia berpameran tunggal di Gingins, Swiss. Dan tahun ini, dengan kelompok lain, dia juga pameran bersama di Mercantile Club Jakarta. Pameran GS layak dilihat. Kata Menteri P dan K Fuad Hassan pada sambutan pembukaannya Selasa malam pekan ini, "Setiap kali Group Sembilan pameran, selalu ada kemungkinan kita menyaksikan penampilan karya-karya baru, bahkan mungkin terdapat pula unsur surprise. Hal ini karena keanggotaan Group Sembilan yang silih berganti" Helen, misalnya, memang baru. Walau tak terlalu mengejutkan, dia telah menampilkan karya yang menunjukkan kesungguhan. Sedangkan anggota baru lain, dengan sentuhan gres, adalah Hildawati Siddhartha. Sudah lama berproses kreatif lewat keramik (dan sempat berpameran tunggal, antara lain 1978 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta) Hildawati muncul dari dunia yang tulen seniman. Ia bukan dari kelompok istri yang mencurahkan bakat dan kemampuannya ke ekspresi seni rupa. Para kritikus atau sebagian seniman (dan "seniman") yang gemar memilah dunia kreativitas dengan realitas kehidupan keseharian tentu bertanya: Hilda masuk ke GS? Nada kesima begini juga pernah ditimpakan pada Dolorosa Sinaga. Pada 1986 pematung yang karyanya diakui bagus ini bergabung dalam grup tersebut. Di awal kemunculannya dulu, ada yang menuding GS hanya sunday painter alias barisan pelukis di kala senggang. Mereka bahkan disangka sejajar dengan pelukis semacam Grandma Moses dan John Kane di AS. Bagi beberapa anggotanya, waktu itu, penilaian tersebut barangkali ada betulnya. Sekarang tentu sudah lain. Perkembangan grup ini memang sudah tak layak diabaikan. Lihat saja Betawi Wedding karya Wiranti Tejasukmana. Komposisi dan pengolahan warnanya menunjukkan si pelukis sudah mengenal media kreasinya itu bertahun-tahun. Idem juga pada karya Astari Rasjid. Ia, umpamanya, menggambarkan seorang wanita tengkurap di dipan satu kakinya yang telanjang terlindung selimut dan ada gitar di sebalik dipan menyampaikan kesan lengang dan teduh. Kendati barangkali hanya 70% di antara anggota grup yang mencurahkan 100% kehidupannya ke karya, menurut Dolorosa, mereka itu profesional dalam sikap berkarya, wawasan, dan cara penyajiannya. Mencoba menggapai perfeksi, Itulah yang dltekuni para wanita GS. Bahkan dalam penataan ruang, mereka cerewet. Misalnya dalam memasang panil penggantung. Demi ketertiban, suasana ditata demikian rupa, hingga tiap karya yang dipamerkan blsa dimkmati tanpa gangguan. Dan wajar pula bila lukisan mereka berharga 1 s/d 3,5 juta rupiah (karya Astari) dan patung Dolorosa dari Rp 750 ribu sampai Rp 3 juta. Kecuali Helen Gauchat yang kursus privat, para peserta pameran kali ini memiliki latar pendidikan formal seni rupa, atau khusus desain, di tingkat perguruan tinggi. Grup ini dimulai sembilan orang dengan motornya Ratmini Soedjatmoko dan sebagian kawan artis bule yang pameran di sebuah rumah keluarga asing di Jalan Diponegoro, 1972. Mereka lantas ketat menerima anggota baru. "Diutamakan mereka yang benar-benar serius dalam karyanya," kata Astari. Ia sendiri sehari-hari tidurnya sekitar tiga jam, lalu bergadang dengan melukis. Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus