Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Larinya jagoan wirogunan

7 napi lp wirogunan, yogyakarta, melarikan diri setelah menembak mati penjaga pintu, sutrisno. mereka sebelumnya membongkar gudang penyimpanan senjata lp wirogunan, dengan merampas 7 pistol & 1 sten gun.

24 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBAGA Pemasyarakatan (LP) Wirogunan, Yogyakarta, hari Minggu lalu, menjelang pukul 15.30, seolah diguncang huru-hara. Ada tembak-menembak pendek antara penjaga dan narapidana yang seharusnya sudah masuk, sel lagi. Sejumlah napi mendesak pintu utama dan dorr....dorr..dorr .. menggelegar keras. Sutrisno, penjaga pintu yang masih mengacungkan plstol sambil memegangi gerendel pintu, langsung rebah. Tembakan senapan panjang dan jarak sangat dekat itu mengoyak perut dan menghamburkan isinya. Adegan tembak-menembak semula berawal dari tembakan peringatan Sutrisno. Ia melihat gelagat penghuni LP tidak menurut digiring ke sel masing-masing. Sutrisno, salah seorang petugas pintu itu, melepaskan tembakan empat kali. Tapi, para napi seperti tak mengindahkan letupan pistol Sutrisno. Beberapa napi terus maju. Ketika tarikan picu kelima macet, secepat kilat pula para napi yang sudah siap dengan pistol dan senapan itu menggasak Sutrisno. Dalam keadaan genting itu, tiga petugas lainnya tidak berani berkutik. Pihak napi kelihatan lebih jago memainkan senjata api dan meraih kemenangan dalam "serbuan" singkat itu. Tujuh napi dengan tenang membuka pintu gerbang, menyambar tiga sepeda motor penjaga dan kemudian kabur. Salah satu sepeda motor ternyata macet di Talan Taman Siswa, di depan LP. Pelarian Wirogunan itu dengan sigap menyetop Vespa yang lagi lewat dan dengan cepat pula melejit ke arah selatan. Yang menjadi pertanyaan kemudian, dari mana senjata yang dipakai untuk menyerbu penjaga. Menurut sumber TEMPO, senjata itu diambil dari gudang penyimpanan di LP Wirogunan, tanpa merusakkan gemboknya. Dari gudang itu, para napi diduga membawa tiga buah pistol dan sebuah senjata laras panjang jenis sten gun. Sumber TEMPO yang lain memperkirakan ada tujuh pistol dan sebuah sten gun yang dibawa kabur. Berapa pun banyaknya senjata yang dibawa mungkin bisa dicegah bahayanya. Tetapi yang lebih berbahaya ialah tiga dari tujuh napi yang lari itu bekas anggota militer. Misalnya saja bekas Kopral Satu Suharto. Bujangan, 31 tahun, yang bertubuh atletis dan berpenampilan rapi adalah terpidana kasus penggranatan mobil Fiat di Secang, Magelang, Jawa Tengah, yang merenggut nyawa tiga penumpangnya pada 22 Agustus 1986 (TEMPO, 6 Juni 1987. Suharto juga tercatat sebagai pelaku perampokan toko emas Cenderawasih di Parakan, Temanggung. Bekas anggota Armed Magelang ini diduga sebagai komandan operasi "eksodus" dari penjara. "Di dalam LP ia cukup disegani teman-temannya," kata petugas LP Wirogunan. Misteri peledakan Fiat itu baru terungkap dua bulan kemudian, setelah Alex alias Ali Abda ditangkap. Ia diciduk ketika menginap di sebuah hotel di Yogya. Di tangannya disita peluru, granat, serta pisau komando. Setelah itu, Mei 1987 Suharto ditangkap. Tanpa berbelit-belit, ia akui semua kejahatannya di persidangan Mahkamah Militer Yogyakarta. Oleh hakim ia dipidana 13 tahun penjara serta dipecat dari ABRI. Bekas Kopral Dua Mohamad Qosim, 31 tahun -- satu kesatuan dengan Suharto adalah pelaku berikutnya. Ia terpidana 3 tahun 10 bulan karena terlibat komplotan Suharto menjarah toko emas Cenderawasih. Buron lainnya yaitu bekas Sersan Satu Sutarno, 31 tahun, bekas anggota polisi pada Polres Klaten. Ia dihukum 10 tahun karena membunuh Bayu Rumekso. Bayu dibunuh karena Sutarno menganggap bahwa lelaki bertato itu gali. Sebagai polisi, suatu ketika ia ditugasi memata-matai buron Hendro (suami Lely) yang kabur dari Rutan Salemba, Jakarta. Pengintaian dilakukan di rumah Lely di Delanggu. Berhari-hari Sutarno yang beranak dua ini menunggu. Akhirnya, ia pun jatuh hati pada Lely. Bagi Lely sendiri -- ibu dua anak yang berdarah indo berkulit kuning itu -- kehadiran Sutarno terasa sebagai pelindung. Sebab, tertangkapnya Hendro tak lain berkat laporannya pula. Jadi, siapa tahu kawanan Hendro bakal membalasdendam padanya. Padahal, sesungguhnya, Hendro sudah didor ketika dalam pengejaran. Sutarno merasa tidak aman dengan munculnya Bayu Rumekso. Teman Hendro ini datang dan menanyakan harta peninggalan hasil rampokan Hendro. Bahkan kehadiran Bayu dianggap sebagai ancaman hubungan Sutarno-Lely. Dengan dibantu adik Lely, Frengky, Sutarno menghabisi Bayu. (TEMPO 20 Februari 1988). Karena kejahatan itu, Sutarno dihukum 10 tahun penjara serta dipecat. Empat pelarian lain adalah orang sipil. Faisal Putra, 29 tahun, dipidana 12 tahun karena kasus narkotik. Ia masuk LP Wirogunan 4 September 1986. Sementara itu, temannya, Edy Aryanto Saragih, 25 tahun bekas mahasiswa sebuah universitas swasta di Yogyakarta, terbukti mengedarkan 5,2 gram ganja dan menyimpan 350 pil BK. Ia dihukum 8 tahun penjara oleh PN Yogya. Di tingkat banding, hukuman Edy-dikurangi menjadi 6 tahun. Ada pelarian lagi, Budi Sutrisno, 30 tahun. Bujangan berpenampilan tenang, dan berperangai halus itu dihukum 3 tahun penjara plus denda Rp 500 ribu subsider 6 bulan. Tuduhan yang dijatuhkan pada pegawai Kanwil Departemen Perdagangan Yogya itu adalah korupsi Rp 14 juta lebih. Ia masuk LP sejak 25 November 1986. "Hukumannya tinggal 6 bulan lagi. Sangat saya sayangkan dan sesalkan tindakan Budi ini," kata Pengacara Ali Arifin tentang bekas kliennya. Dan yang seakan cuma ikut-ikutan adalah Sri Widarso, 22 tahun, terpidana 17 bulan karena kasus pencurian motor. Ia rencananya akan bebas dari LP Wirogunan pada 23 September ini -- jadi tinggal 6 hari lagi. Perihal larinya "jagoan" Wirogunan itu kini masih diusut secara intensif. Yang dikhawatirkan, mereka ini punya kemahiran memainkan senjata api. Sebuah tim gabungan, konon, sudah diturunkan untuk menguber pelarian itu sampai tertangkap. Sementara itu, Senin pekan ini, Almarhum Sutrisno dimakamkan di kampungnya, Desa Triharjo, Sleman, Yogyakarta. Sebuah karangan bunga dari Menteri Kehakiman Ismail Saleh menghiasi halamannya dan pangkat istimewa diberikan pada Almarhum, dari pengatur menjadi pengatur kelas I. Bukan cuma itu. Dirjen Pemasyarakatan Baharuddin Lopa Rabu pekan ini berniat meninjau tempat kejadian. Ia ingin meningkatkan kewaspadaan para petugasnya. Apa yang terjadi di Yogya itu, menurut Lopa adalah hal yang biasa saja. "Tidak ada yang istimewa," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus