Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bulusnya hidup kembali

Pertunjukan di teater arena tim mempersembahkan tarian topeng cirebon dengan cerita panji. tidak secara lengkap hanya berupa potongan adegan.

21 April 1979 | 00.00 WIB

Bulusnya hidup kembali
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TARI Topeng Cirebon dimulai dengan kontras. Ketika gamelan dengan riuh membuka pertunjukan, seorang penari wanita tampil. Di tengah gemuruh, si penari hanya diam berdiri. Lama kemudian baru ada gerakan-gerakan kecil: tangan, kaki, jari-jari tangan, kepala. Malam itu di Teater Arena TIM 9 & 10 April, Bu Suji, penari yang hampir 70 tahun, sedang memerankan Raden Panji Inu Kertapati. Sangat intens. Topeng Cirebon memang membawakan cerita Panji. Tidak secara lengkap, tapi hanya berupa potongan-potongan adegan. Biasanya menampilkan tarian tokoh-tokohnya dan diseling dengan adegan bodor (pelawak). Dulu, ketika rombongan Topeng Cirebon masih banyak dan mengadakan pertunjukan dari desa ke desa, sering juga menyuguhkan Cerita Panji secara lengkap. Itulah sebabnya pertunjukan topeng ini juga disebut Topeng Babakan (hanya menyuguhkan beberapa babak) atau Topeng Dinaan (maksudnya sehari penuh, dengan cerita lengkap). Bahan Lelucon Beberapa menit di awal pertunjukan, penonton menanti. Apa yang didengar -- riuhnya gamelan dan apa yang dilihat -- penari yang seolah-olah mencoba bersaing dengan riuhnya gamelan dengan diam -- tidak serasi. Tapi tiba-tiba beberapa menit kemudian, ketika penari itu melentikkan jarinya, atau sedikit menggeser letak telapak kaki, ada sesuatu yang terkesan: Kaden Panji tiba-tiba memberikan potret seorang yang sedang melawan godaan dunia. Dan kalau kemudian kontras gamelan dengan tarinya malahan serasi ada kesan: Raden Panji tampil sebagai pemenang. Dan memang Raden Panji adalah tokoh ksatria yang teguh imannya. Konsep tari tersebut tentu saja tak akan tampil sebaik malam itu di TIM, kalau si penari -- dan juga rombongan penabuh -- tidak menguasai seninya. Bu Suji, penari itu, memang penari Topeng yang boleh dibilang sudah empu. Tubuhnya, begitu hadir di arena lantas saja menjadi tari itu sendiri. Baik dalam diam, ataupun dalam melakukan gerak lincah - seperti ketika memerankan Klana, raja raksasa yang angkara. Adakah karena usia Bu Suji sudah mendekati 70, ia jadi mafhum inti tari topeng ini? Tari kedua disebut Pamindo. Menggambarkan kesibukan seorang ksatria, Raden Kuda Panolih, mempersiapkan hari pernikahan kakaknya. Disuguhkan dengan gaya 'kupu tarung' (kupu-kupu berkelahi). Ada lebih seorang penari (malam itu empat) yang saling berlomba merebut perhatian penonton dengan mengeluarkan segala kemampuan. Berbeda dengan suasana tari Raden Panji, tari ini benar-benar ramai sesuai dengan gamelan. Sudjana (dan dia ini guru topeng), Wijaya, Keni Arja dan Sutija ternyata kompak. Dari keempatnya susah dicari mana yang paling menonjol. Mungkin karena ada penataan dari Endo Suanda, pimpinan artistik rombongan ini. Pada tari kedua inilah munculnya bodor dibawakan oleh Bulus, yang semula bertugas sebagai dalangnya. Gerak tari Raden Kuda Panolih yang lincah, agaknya merupakan bahan lelucon yang sulit mengundang tawa apabila kita tidak benar-benar mengenal tari itu. Jadi, ketika Bulus menari dengan gaya Kuda Panolih tetapi dia mengenakan topeng lucu (bukan topeng ksatria), penonton hanya diam. Kontradiksi topeng dan gerak rupanya tak dirasakan mereka. Tari ketiga, Rumyang, boleh disebut perkembangan tari kedua. Melukiskan Ki Gede Selemangle yang tidak menyukai sepak terjang Klana, kakaknya. Tak ada yang perlu dicatat. Biasa saja, meski cukup enak ditonton. Tari keempat adalah tari Tumenggung Magangdiraja yang hendak menikah. Tapi mertuanya mengajukan syarat: agar dia mengalahkan Jinggananom yang hendak berontak. Bi Tarmi, juga 70-an tahun, menarikan tari ini dengan pas. Terasa gagah dengan topeng merah kecoklatan. Gerakannya memang kuat, keras dan tegas. Menyusul tari kelima, Jinggananom. Ia seorang raksasa yang lucu. Diperankan oleh Bulus, rupanya memang klop. Konon ini memang termasuk nomor 'bodoran' alias badutan. Meskipun dalam nomor ini pula muncul Tumenggung Magangdiraja menantangnya perang tanding. Sudah bisa ditebak, Jinggananom akan kalah. Nomor ini menyuguhkan sesuatu yang tak terduga. Ketika Jinggananom tewas, Bulus perlahan-lahan melepas selendang dan topengnya, meletakkannya di lantai arena lalu bilang: "Jinggananom wis mati, Bulus-e urip maneh," (Jinggananom sudah tewas, Bulus hidup kembali). Lawakan yang itu memang mengundang gerrr. Ada protes di situ. Seorang yang memerankan tokoh yang harus kalah memang harus menerima kekalahan dengan apa boleh buat. Tapi manusianya itu sendiri, jadi bukan wayangnya, tetaplah manusia merdeka. Adegan ini membawa "hikmah" juga. Introspeksi Pertunjukan Topeng Cirebon oleh rombongan yang akan mengadakan pertunjukan di Hongkong, pertengahan April ini, diakhiri dengan tari Klana. Malam itu disuguhkan juga dengan gaya 'kupu tarung'. Ada satu hal tentang pemakaian topeng oleh para penari. Mula-mula mereka menari tanpa topeng. Beberapa saat kemudian barulah topeng dikenakan. Ketika tanpa topeng, para penari lebih banyak menghadap ke arah gamelan. Setelah mengenakan topeng lebih banyak berbalik menghadap ke penonton. Kata Endo Suanda, itu kira-kira menyiratkan satu introspeksi, satu persiapan untuk menjadi tokoh topeng. Yang terlebih penting ialah, meski Topeng Cirebon membawakan cerita, tapi bukan ceritanya sendiri yang ditampilkan. Melainkan tarinya. Lain dari wayang orang atau ketoprak atau kebanyakan tari-tari tradisi lain. Topeng Cirebon justru menekankan pada penampilan watak tokohnya: yang lucu, yang konyol, yang ksatria atau yang angkara. Lebih abstrak, begitulah. Mungkin itu yang mengakibatkan Topeng Cirebon menjadi langka. Menurut Endo juga, baru beberapa tahun terakhir ini saja generasi muda tertarik kembali. Dan itu pun kabarnya bukan lewat penularan langsung dalam pergaulan masyarakat sehari-hari -- sebagaimana lazimnya teater rakyat dulu -- tapi lewat pendidikan formil: Akademi Seni Tari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus