TARI Topeng Cirebon dimulai dengan kontras. Ketika gamelan
dengan riuh membuka pertunjukan, seorang penari wanita tampil.
Di tengah gemuruh, si penari hanya diam berdiri. Lama kemudian
baru ada gerakan-gerakan kecil: tangan, kaki, jari-jari tangan,
kepala. Malam itu di Teater Arena TIM 9 & 10 April, Bu Suji,
penari yang hampir 70 tahun, sedang memerankan Raden Panji Inu
Kertapati. Sangat intens.
Topeng Cirebon memang membawakan cerita Panji. Tidak secara
lengkap, tapi hanya berupa potongan-potongan adegan. Biasanya
menampilkan tarian tokoh-tokohnya dan diseling dengan adegan
bodor (pelawak). Dulu, ketika rombongan Topeng Cirebon masih
banyak dan mengadakan pertunjukan dari desa ke desa, sering juga
menyuguhkan Cerita Panji secara lengkap. Itulah sebabnya
pertunjukan topeng ini juga disebut Topeng Babakan (hanya
menyuguhkan beberapa babak) atau Topeng Dinaan (maksudnya sehari
penuh, dengan cerita lengkap).
Bahan Lelucon
Beberapa menit di awal pertunjukan, penonton menanti. Apa yang
didengar -- riuhnya gamelan dan apa yang dilihat -- penari yang
seolah-olah mencoba bersaing dengan riuhnya gamelan dengan diam
-- tidak serasi. Tapi tiba-tiba beberapa menit kemudian, ketika
penari itu melentikkan jarinya, atau sedikit menggeser letak
telapak kaki, ada sesuatu yang terkesan: Kaden Panji tiba-tiba
memberikan potret seorang yang sedang melawan godaan dunia. Dan
kalau kemudian kontras gamelan dengan tarinya malahan serasi ada
kesan: Raden Panji tampil sebagai pemenang. Dan memang Raden
Panji adalah tokoh ksatria yang teguh imannya.
Konsep tari tersebut tentu saja tak akan tampil sebaik malam itu
di TIM, kalau si penari -- dan juga rombongan penabuh -- tidak
menguasai seninya. Bu Suji, penari itu, memang penari Topeng
yang boleh dibilang sudah empu. Tubuhnya, begitu hadir di arena
lantas saja menjadi tari itu sendiri. Baik dalam diam, ataupun
dalam melakukan gerak lincah - seperti ketika memerankan Klana,
raja raksasa yang angkara. Adakah karena usia Bu Suji sudah
mendekati 70, ia jadi mafhum inti tari topeng ini?
Tari kedua disebut Pamindo. Menggambarkan kesibukan seorang
ksatria, Raden Kuda Panolih, mempersiapkan hari pernikahan
kakaknya. Disuguhkan dengan gaya 'kupu tarung' (kupu-kupu
berkelahi). Ada lebih seorang penari (malam itu empat) yang
saling berlomba merebut perhatian penonton dengan mengeluarkan
segala kemampuan. Berbeda dengan suasana tari Raden Panji, tari
ini benar-benar ramai sesuai dengan gamelan. Sudjana (dan dia
ini guru topeng), Wijaya, Keni Arja dan Sutija ternyata kompak.
Dari keempatnya susah dicari mana yang paling menonjol. Mungkin
karena ada penataan dari Endo Suanda, pimpinan artistik
rombongan ini. Pada tari kedua inilah munculnya bodor dibawakan
oleh Bulus, yang semula bertugas sebagai dalangnya. Gerak tari
Raden Kuda Panolih yang lincah, agaknya merupakan bahan lelucon
yang sulit mengundang tawa apabila kita tidak benar-benar
mengenal tari itu. Jadi, ketika Bulus menari dengan gaya Kuda
Panolih tetapi dia mengenakan topeng lucu (bukan topeng
ksatria), penonton hanya diam. Kontradiksi topeng dan gerak
rupanya tak dirasakan mereka.
Tari ketiga, Rumyang, boleh disebut perkembangan tari kedua.
Melukiskan Ki Gede Selemangle yang tidak menyukai sepak terjang
Klana, kakaknya. Tak ada yang perlu dicatat. Biasa saja, meski
cukup enak ditonton.
Tari keempat adalah tari Tumenggung Magangdiraja yang hendak
menikah. Tapi mertuanya mengajukan syarat: agar dia mengalahkan
Jinggananom yang hendak berontak. Bi Tarmi, juga 70-an tahun,
menarikan tari ini dengan pas. Terasa gagah dengan topeng merah
kecoklatan. Gerakannya memang kuat, keras dan tegas.
Menyusul tari kelima, Jinggananom. Ia seorang raksasa yang lucu.
Diperankan oleh Bulus, rupanya memang klop. Konon ini memang
termasuk nomor 'bodoran' alias badutan. Meskipun dalam nomor ini
pula muncul Tumenggung Magangdiraja menantangnya perang tanding.
Sudah bisa ditebak, Jinggananom akan kalah. Nomor ini
menyuguhkan sesuatu yang tak terduga. Ketika Jinggananom tewas,
Bulus perlahan-lahan melepas selendang dan topengnya,
meletakkannya di lantai arena lalu bilang: "Jinggananom wis
mati, Bulus-e urip maneh," (Jinggananom sudah tewas, Bulus hidup
kembali).
Lawakan yang itu memang mengundang gerrr. Ada protes di situ.
Seorang yang memerankan tokoh yang harus kalah memang harus
menerima kekalahan dengan apa boleh buat. Tapi manusianya itu
sendiri, jadi bukan wayangnya, tetaplah manusia merdeka. Adegan
ini membawa "hikmah" juga.
Introspeksi
Pertunjukan Topeng Cirebon oleh rombongan yang akan mengadakan
pertunjukan di Hongkong, pertengahan April ini, diakhiri dengan
tari Klana. Malam itu disuguhkan juga dengan gaya 'kupu tarung'.
Ada satu hal tentang pemakaian topeng oleh para penari.
Mula-mula mereka menari tanpa topeng. Beberapa saat kemudian
barulah topeng dikenakan. Ketika tanpa topeng, para penari lebih
banyak menghadap ke arah gamelan. Setelah mengenakan topeng
lebih banyak berbalik menghadap ke penonton. Kata Endo Suanda,
itu kira-kira menyiratkan satu introspeksi, satu persiapan untuk
menjadi tokoh topeng.
Yang terlebih penting ialah, meski Topeng Cirebon membawakan
cerita, tapi bukan ceritanya sendiri yang ditampilkan. Melainkan
tarinya. Lain dari wayang orang atau ketoprak atau kebanyakan
tari-tari tradisi lain. Topeng Cirebon justru menekankan pada
penampilan watak tokohnya: yang lucu, yang konyol, yang ksatria
atau yang angkara. Lebih abstrak, begitulah.
Mungkin itu yang mengakibatkan Topeng Cirebon menjadi langka.
Menurut Endo juga, baru beberapa tahun terakhir ini saja
generasi muda tertarik kembali. Dan itu pun kabarnya bukan lewat
penularan langsung dalam pergaulan masyarakat sehari-hari --
sebagaimana lazimnya teater rakyat dulu -- tapi lewat pendidikan
formil: Akademi Seni Tari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini