KETIKA bibir matahari menyentuh kaki langit yang berpaut pada batas laut, dalam saat yang sama, roh leluhur juga menuju ke sana. Dan itulah safan, sebuah dunia lain yang bukan lagi bergetar, tetapi bertugas menenteramkan arwah-arwah. Tapi para arwah perlu pengawalan serta upacara. Maka, untuk itu dibuatlah perangkat. Di antaranya mbis, sebuah tonggak kayu sekitar tiga meter yang menggambarkan keluarga yang meninggal. Upacara pembuatan mbis ini disebut mbispokmbuy. Selebihnya, dibutuhkan wuramon atau perahu arwah, ukiran perisai, tombak, dan sejenis yang lain. Upacara membuat mbis diadakan di jew, sebutan lain untuk rumah serba guna di Asmat. Sewaktu Dr. Umar Kayam menyiapkan buku Semangat Indonesia, Suafu Perjalanan Budaya, di Desa Buepis budayawan itu melihat upacara tersebut memang sangat sarat emosi. Kemudian disusul dengan pidato para kesatria tua, yang menjanjikan balas dendam atas kematian keluarga. Tapi setelah masuknya misi Nasrani dan usaha dari pemerintah RI, perubahan pun terjadi. Perang balas dendam itu beralih ke dalam kata-kata saja. Dulu, mbispokmbuy harus berbarengan dengan menyerbu desa musuh yang disangka mengirim celaka. Asmat hanya sebuah komunitas budaya dalam wajah karya-karya "primitive art" yang tak tertandingi di dunia? Atau mereka yang sekadar mendiami sebuah pusat kerajinan, lalu dalam waktu tertentu diboyong ke ibu kota untuk ditontoni para menak? Bukan cuma sebatas itu, agaknya. Asmat, seperti komunitas lain yang masih terpendam di republik ini, adalah kehidupan yang diancam "peradaban" atau "kemajuan". Jenis ancaman itu kemudian diungkapkan wartawan TEMPO Seiichi Okawa di seminar Yayasan Kemajuan dan Pengembangan Asmat di Jakarta pekan lalu. "Antara lain dari pengusaha yang hendak menebang kayukayu di hutan mereka," kata Okawa, yang juga pernah meneliti Asmat. Bahkan tidak melulu pohon meranti yang bakal lenyap dari rimba mereka. Karena pengaruh tawaran kepuasan fisik dari pengusaha, para lelaki Asmat satu per satu enyah dari desanya. Kemudian berbulan-bulan mereka tidur di barak, hanya gara-gara tergoda tawaran upah yang terkadang lebih berupa kapak dan parang, atau pakaian. Sementara itu, waktu makin menggerogoti Asmat untuk cepat berpisah dengan anggota puak -- tanpa lagi menyanyi dan bersama membuat mbis. Mereka menanti kehabisan wow-ipits, sang pemahat. Si pengekspresi identitas ke dalam ukiran dan paung, lalu siapa? Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini