Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARAPAN lebih kuat ketimbang ketakutan. Itulah yang terus berlangsung di pasar sepekan terakhir. Ketika tambahan kasus baru Covid-19 di berbagai negara meledak menjadi-jadi, suasana pasar finansial justru meriah dengan lonjakan harga. Berbagai indeks utama menyentuh titik tertingginya sepanjang masa. Harapan bahwa vaksin penangkal segera tiba mengalahkan cengkeraman rasa takut kendati sang penyakit masih merebak di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekspektasi segera pulihnya ekonomi global juga membawa berkah ke pasar negara-negara berkembang. Dana investasi, yang pada puncak pandemi mengalir keluar sederas banjir bandang, mulai balik. Sebagai gambaran, selama Maret saja, diperkirakan ada US$ 90 miliar yang kabur dari pasar negara berkembang. Sebagian dana ini mulai berbondong-bondong kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Optimisme yang lebih besar pada negara-negara berkembang memang cukup berdasar. Umumnya, pertumbuhan ekonomi selalu lebih tinggi di negara yang masih berkembang. Demikian pula halnya dengan pemulihan ekonomi, para analis menghitung, yang bakal lebih cepat. Ekonomi Cina, misalnya, diperkirakan tetap menikmati pertumbuhan tahun ini. Sementara itu, ekonomi negara-negara maju tampaknya masih akan mengerut.
Selain itu, bisa jadi ini faktor yang terpenting, ada perhitungan bahwa nilai dolar Amerika Serikat akan makin luruh jika ekonomi dunia tidak lagi dalam keadaan panik. Ketika tak ada ancaman, investor tak perlu menabrak dolar Amerika untuk mencari aman. Manajer investasi yang mengelola dana raksasa bisa menjual sebagian aset berdenominasi dolar untuk membeli aset-aset finansial dalam mata uang negara berkembang.
Strategi ini tak cuma memberikan imbal hasil lebih besar. Membeli aset di negara berkembang saat ini juga berpotensi menghasilkan keuntungan ekstra karena apresiasi nilai mata uang. Keuntungan ekstra ini tidaklah kecil. Analisis Citigroup menghitung nilai dolar Amerika bisa merosot hingga 20 persen jika vaksin sudah beredar luas tahun depan dan ekonomi global kembali stabil.
Pasar keuangan dunia saat ini memang tengah kebanjiran dolar Amerika. Ini merupakan buah kebijakan The Federal Reserve yang terus menyuntikkan likuiditas dolar tanpa batas selama pandemi untuk menjaga pasar. Saking melimpahnya likuiditas dolar, para manajer investasi sekarang mulai kelabakan mencari aset yang bisa mereka beli.
Di Indonesia, masuknya dana asing juga mendorong kenaikan harga saham serta penguatan kurs rupiah. Namun, ketika pasar finansial sedunia antusias mencetak rekor demi rekor, kenaikan harga di pasar Jakarta tidak sespektakuler lonjakan harga di New York. Dana asing yang mengalir masuk belum membeludak. Di pasar saham, misalnya, hingga akhir pekan, 27 November lalu, investor asing tercatat melakukan pembelian bersih senilai Rp 7,15 triliun dalam sebulan terakhir. Namun ini belum sebanding dengan dana yang keluar selama pandemi. Jika dihitung sejak awal tahun, aliran dana asing di bursa masih minus Rp 46 triliun.
Pasar obligasi melihat gejala serupa. Investor asing yang sempat menjual obligasi berdenominasi rupiah terbitan pemerintah Indonesia belum semuanya kembali. Menurut data terakhir Kementerian Keuangan, per 26 November lalu, dana asing yang parkir dalam obligasi terbitan pemerintah sebesar Rp 968 triliun. Posisi ini masih Rp 100 triliun lebih rendah ketimbang titik tertinggi pada Februari sebelum pandemi.
Belum derasnya dana investasi asing yang kembali ke Indonesia, walhasil, tecermin pada laju penguatan kurs rupiah yang masih tertahan di level sekitar 14.100 per dolar Amerika pada 27 November lalu. Rupiah memang sudah jauh menguat ketimbang posisi terendah pada pertengahan Maret, yang ketika itu mencapai 16.575 per dolar Amerika. Namun, sebagai perbandingan, sebelum pagebluk melanda, kurs rupiah sempat berada di titik 13.575 per dolar.
Bank Indonesia memandang nilai rupiah seharusnya bisa lebih kuat. Jika melihat tren pelemahan dolar Amerika, rupiah juga berpeluang menjadi jauh lebih kuat. Apa boleh buat, pasar punya pandangan lain sehingga penguatan itu terhambat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo