Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Catatan Riri tentang Seorang Demonstran

Sosok yang tak dikenal oleh generasi masa kini tiba-tiba disodorkan dalam bentuk film sepanjang 2 jam 27 menit. Siapakah Soe Hok Gie?

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

apakah kau masih berbicara selembut dahulu memintaku minum susu dan tidur yang lelap? sambil membenarkan letak leher kemejaku

(Sebuah Tanya, Soe Hok Gie, 1 April 1969)

GIE Sutradara: Riri Riza Skenario: Riri Riza Pemain: Nicholas Saputra, Lukman Sardi, Tuti Kirana, Surya Saputra, Robby Tumewu Produksi: Miles Production

Hidup Gie diakhiri dengan sebuah puisi. Dengan judul Sebuah Tanya, yang diberikan pada gadis yang dicintainya, puisi itu kemudian diletakkan di atas makamnya. "Keinginan" Soe Hok Gie tercapai. Ia mati muda, di tengah alam dalam pendakian Gunung Semeru di hadapan sahabatnya, Herman Lantang.

Selama hidupnya (dan matinya) Soe Hok Gie hidup dalam kontroversi. Dan selama hidup (dan matinya) sosok Gie menimbulkan seribu pertanyaan. Mungkin film ini adalah sebuah romantisasi. Mungkin ini sebuah idealisasi. Mungkin pula ini yang dibutuhkan generasi masa kini. Tetapi jika sutradara Riri Riza dan produser kemudian menampilkan sebuah sosok Soe Hok Gie—yang memiliki sahabat, pengagum dan banyak musuh politik di masanya—sebagai sebuah sosok yang begitu ideal, Anda harus segera memakluminya.

Syahdan, Soe Hok Gie tumbuh dalam keluarga yang bernapas dengan buku. Ayahnya, Soe Li Piet, seorang sastrawan Cina dengan lima anak yang masa produktivitasnya dipatahkan oleh situasi. Film ini dimulai saat Gie (masa kecil, diperankan oleh Jonathan Mulia) yang menanjak remaja dan sudah mulai "mengganggu" lingkungannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam. Dia bertengkar dengan guru-gurunya—yang tampak bodoh di matanya—dan dia rajin menuangkan pemikirannya pada sebuah buku hariannya yang kelak menjadi sahabatnya yang terbaik. Dalam Catatan Harian Seorang Demonstran, pada usia 15 tahun, Soe Hok Gie menulis kalimat-kalimat yang begitu cerdas, penuh keyakinan dan terukir dengan baik—suatu keterampilan yang sudah jarang dimiliki anak seusianya di masa kini:

"4 Maret 1957. Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Ulangan ilmu bumiku 8 tapi dikurangi 3 jadi tinggal 5...." Suatu tradisi Indonesia tatkala seorang guru yang gerah dikritik muridnya (yang kemudian menjadi kebudayaan yang kental bahkan hingga kini) semakin menyuburkan karakter Gie sebagai seorang yang kritis terhadap keadaan. Pandangan Gie terhadap sekolah Katolik (yang guru-gurunya dianggap sebagai "diktator"—hlm. 65) atau terhadap lembaga perkawinan (yang dianggap sebagai "melacur dengan kontrak setiap malam") dan pemikirannya tentang ateisme dan agama pada usia sedini itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang anak yang menjalani hidup ini dengan serius dan penuh komitmen.

Riri Riza memperkenalkan tokoh Soe Hok Gie kepada penonton Indonesia yang sudah jelas sebagian besar tak mengenal nama ini—atau hanya pernah mendengar atau membaca bukunya sekilas—dengan tegas: dia anak keluarga menengah keturunan Cina yang kritis; yang cerdas; yang tidak menerima ketidakadilan yang terjadi pada dirinya atau orang lain. Perlindungannya terhadap Tjin Han, sahabat di masa kecilnya yang selalu digebuk tantenya, memperlihatkan Gie tak akan tinggal diam melihat penindasan.

Di masa dewasa, Gie kemudian digambarkan sebagai seorang aktivis yang "sulit" ditemukan untuk konteks abad milenium ini. Dia begitu tampan (maklum, yang memerankan adalah Nicholas Saputra, yang dalam dandanan apa pun tetap mahaganteng), cerdas, santun terhadap perempuan dan protektif terhadap mereka yang tak berpunya. Teknik voice-over suara Gie sebagai perwakilan dari catatan hariannya adalah sebuah pilihan tepat. Kita mendengar suara Gie, sebuah suara perlawanan, sebuah suara yang konsisten betapapun terkadang terasa naif dan keras kepala.

Di tahun panas bagi mahasiswa Indonesia, 1966, Gie menjadi "arsitek" pawai mahasiswa dari Salemba ke Rawamangun untuk protes soal harga bensin. Film ini menggambarkan protes-protes ini dengan sporadis dan visualisasi yang padat. Artinya, kamera lebih banyak merekam individu-individu dan jarang mengambil adegan panorama yang luas (kecuali pada adegan di puncak gunung yang menyegarkan mata). Ini tentu ada alasannya. Mengambil rekaman panorama yang luas akan mewajibkan para sineasnya untuk mengubah setting ke tahun 1960-an. Artinya: bukan saja mobil yang lalu-lalang atau gedung-gedung Jakarta yang harus "digusur", tetapi juga benda apa saja yang belum ada pada 1960-an—termasuk bilbor iklan produk tertentu atau warnet dan wartel—harus dihilangkan dari Salemba. Pilihan ini sangat dipahami mengingat seluruh film yang mulanya berdurasi empat jam dan kemudian dibabat sendiri oleh sutradaranya menjadi 147 menit, memakan ongkos tujuh miliar rupiah.

Pilihan Riri Riza untuk tidak menampilkan berbagai tokoh penting, yang sebetulnya disebut-sebut berulang-ulang dalam catatan harian Gie, tentu juga memiliki beragam alasan. Nama-nama Rendra, Goenawan Mohamad, P.K. Ojong, Syahrir, A. Dahana, Salim Said, Nono Anwar Makarim, Fikri Jufri, Onghokam, Rosihan Anwar, semuanya tidak muncul sebagai sosok dalam film. Ada beberapa nama itu yang hanya disebut Gie saat dia "berbicara" dengan penonton, dan alasan Riri: "Ada yang enggan ditemui, ada yang memang kami putuskan untuk tidak kami masukkan untuk menyederhanakan cerita" (lihat "Gie adalah Sebuah Inspirasi"). Maka, nama-nama tokoh yang betul-betul muncul adalah Herman Lantang (Lukman Sardi), Aristides Katoppo (diperankan Surya Saputra yang juga tampil terlalu ganteng), keluarga Gie seperti sang ayah (penampilan Robby Tumewu yang sangat berbeda dan mengharukan), sang ibu, Nio (Tuti Kirana, yang tampil sebagai ibu yang menjadi pencari nafkah), dan sang abang, Soe Hok Djin alias Arief Budiman (Gino Korompis). Sosok Arief Budiman yang kelak dikenal sebagai peneliti yang juga vokal menjadi menarik, karena dalam film tampak memiliki hubungan yang dingin dengan adiknya yang keras itu. Hubungan dingin itu tak pernah dijelaskan di dalam film, karena sebenarnya penyebabnya sungguh sepele. Gie ngambek karena dia menganggap abangnya merusak rumah semut yang dibangunnya di masa kecil. Namun, pada akhir film terlihat bagaimana sesungguhnya sang abang sangat khawatir dan sayang pada adiknya ketika politik mulai memanas dan Gie tak henti-hentinya diserang dari segenap penjuru.

Hubungan Gie dengan para wanita di sekelilingnya sesungguhnya bagian yang sangat menarik di dalam catatan hariannya. Maria, Rina, Sunarti adalah nama-nama yang terus-menerus disebutnya sebagai wanita-wanita yang dekat dengan hatinya; yang membingungkan dan yang melengkapi Gie sebagai "lelaki". Bagi Gie, Maria adalah perempuan yang membuat dirinya sebagai seorang lelaki, sementara Rina adalah seorang perempuan yang membuatnya memahami arti kasih sayang. Di dalam film, karena alasan privasi dan permintaan empunya nama, maka Riri Riza dan Mira Lesmana yang sudah terbang jauh ke Eropa untuk "minta izin" menampilkan sosok para perempuan ini, nama-nama perempuan ini tampil dengan nama lain dan dilebur hanya menjadi dua nama: Ira (Sita Nursanti) dan Sinta (Wulan Guritno yang jelita).

Jika begitu banyak orang yang mempersoalkan casting Nicholas Saputra yang dianggap terlalu ganteng dan hip untuk sosok Soe Hok Gie yang sederhana, maka saya termasuk yang mendukung, bukan karena persoalan ketampanannya. Dalam sejarah perfilman Barat maupun Indonesia, sineas—dan kelak penonton—pada akhirnya berpihak pada akting yang wajar, bukan pada persoalan kemiripan wajah. Yenny Rachman juga terlalu ayu untuk memerankan R.A. Kartini dan Christine Hakim juga sungguh cantik untuk menjadi Tjut Nyak Dhien. Nicole Kidman berhasil meraih Oscar sebagai Aktris Terbaik untuk film The Hours sebagai Virginia Woolf tentu karena aktingnya, bukan karena wajahnya yang jelita. Tetapi, sekali lagi, pada akhirnya sineas harus berpihak pada kemampuan seni peran. Penampilan Nicholas, dengan upayanya bertahun-tahun mempelajari sosok ini, tentu saja bersinar.

Film yang sudah berhasil dibabat Riri Riza menjadi 2 jam 27 menit ini—dan kemudian Lembaga Sensor Film seperti biasa mengeluarkan "gunting cium"-nya pada adegan ciuman antara Gie dan Sinta—masih terasa amat panjang. Di dalam buku, Gie terasa seorang pribadi yang meledak, meski hanya dalam pemikiran dan ucapan hati. Tetapi pada layar, Gie kemudian menjadi jauh lebih santun (tetapi toh tetap kritis dan keras) dan soliter. Ini kemudian menyulitkan mereka yang berharap melihat suatu visualisasi yang heroik dan penuh kobar.

Persoalan lain adalah emosi dan ritme film. Gie jelas seorang sosok yang passionate, yang bergairah untuk mengisi hidup, meski hidupnya (akan menjadi) singkat. Karena sikap Riri tampak berhati-hati dan penuh perhitungan, maka film ini terasa dingin. Adegan-adegan yang sesungguhnya menyentuh diperlakukan dengan rasional. Pertemuan antara Gie dan Tjin Han di saat dewasa adalah sebuah pertemuan yang perih. Mereka kawan akrab di masa kecil, dan di saat dewasa, Tjin Han ke kiri menjadi anggota PKI, Gie berusaha berada di tengah spektrum politik. Gie gelisah dengan nasib kawannya, tetapi Tjin Han berkukuh menyebarkan bendera Palu-Arit. Ini pilihan yang emosional, tapi terlewatkan oleh Riri.

Yang mengagumkan adalah metamorfosis Robby Tumewu yang terlalu sering mendapatkan peran lucu dan konyol pada film lain, kini menjadi seorang ayah yang terluka dan hidup bak tanaman tak bernyawa. Di dalam diam, sosok Soe Lie Piet itu mewakili derita generasinya.

Akhir film ini adalah pilihan yang puitis. Riri sengaja tak ingin memvisualkan adegan terkemuka yang sudah dikenal banyak orang: Gie meninggal di hadapan Herman Lantang di Gunung Semeru. Dia menggambarkan impian Gie dan Tjin Han di masa kecil untuk ke pantai. Di sinilah Riri kemudian melepas emosinya yang tertahan. Di sinilah kita kemudian merasakan interpretasi Riri atas Soe Hok Gie sebagai manusia yang penuh dengan keinginan dan kegairahan hidup.

Membuat film dengan latar belakang sejarah, dengan latar belakang sosok-sosok nyata, memang memiliki tantangan berlipat ganda dibanding film-film cerita fiksi. Ini adalah interpretasi seorang sineas tentang seorang aktivis yang pernah hidup di suatu masa yang bergolak di negeri ini. Soe Hok Gie tetap melahirkan kontroversi, bahkan setelah dia mati. Mungkin saja ini sebuah romantisasi seorang sineas terhadap sosok Gie. Mungkin ini sebuah idealisasi. Tetapi itu bukan sebuah dosa. Sosok Gie—jika memang ideal, jujur, keras dan gigih seperti yang terpancar dalam buku maupun film—memang harus dihidupkan kembali di tengah generasi masa kini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus