Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Cerpen Gusti Aditya yang berkisah para perempuan tangguh di Rue Saint-Denis.
Ceritanya berlatar belakang lika-liku kehidupan malam di Paris.
Bermula dari pertemuan sang tokoh yang mabuk dengan Madame Mei.
KAU adalah jurnalis yang payah. Setidaknya itu yang kau ingat dari apa yang dikatakan jurnalis senior di sebuah acara kepenulisan di sekitar Panthéon. Barangkali amarah itulah yang membawa langkahmu menuju sebuah bar dan mabuk sepuasnya. Banyak lelaki hidung belang yang datang, ia menggodamu dan ingin menidurimu. Kau yang setengah sadar, hanya tertawa dan meringis. Penglihatan dan pendengaranmu menjadi buruk, kau merasa ada tangan asing yang mulai menyentuh leher dan pipimu. Setelah itu, hanya suara BUK yang lumayan keras kau dengar. Tiba-tiba lelaki hidung belang itu tersungkur, hidungnya keluar darah. “Rasakan tinju Madame Mei,” kata seorang perempuan di sampingmu. Hanya sampai situ yang kau tahu. Sisanya adalah kelabu.
***
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAU terbangun dalam keadaan pusing yang luar biasa. Matamu pelan-pelan beradaptasi. Segala indra coba kau rasakan segenap sensasi. Kau berada dalam sebuah ruangan flat yang cukup kecil. Harum dupa mulai tercium, bercampur dengan irisan bawang bombai yang digoreng. Perutmu keroncongan. Suara-suara orang tengah memasak masuk ke telingamu. Setelah kau coba duduk dan berhasil, kau baru sadar bahwa seorang anak kecil dari tadi tengah melihatmu. Ia tersenyum, kemudian melonjak, “Mayat itu sudah bangun, Mama. Mayat itu sudah bangun!” teriaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kau mencoba bangkit. Kau berjalan pelan ke arah jendela. Di luar adalah tempat yang kau hafal. Porte—semacam gerbang khas Paris—besar langsung kau lihat. “Itu adalah Rue Saint-Denis,” katamu.
“Ya, kau benar,” kata seorang perempuan. Kau berbalik badan, melihat perempuan setengah baya sedang meletakkan piring-piring di meja. Ia beretnis Tionghoa dengan bahasa Prancis yang lumayan bagus. “Selamat datang di kediaman Madame Mei,” katanya. Kau masih terperanjat.
Madame Mei menceritakan bahwa semalam kau tengah digoda oleh seorang bajingan di bar dekat Rue Saint-Denis. Susah payah mengingat, kau justru teringat sebab apa kau memutuskan untuk mabuk-mabukan. Kau ingat lagi wajah jurnalis senior yang menyebalkan itu.
“Terima kasih, Madame,” kau mengucapkan itu dengan berupaya menahan tangis. Entah tangis karena haru sebab kebaikan Madame Mei atau karena malu oleh tindakan jurnalis senior yang sok-sokan itu.
Tiba-tiba pintu flat diketuk. Ketukan itu cukup keras, cepat, dan seolah sang tamu amat membutuhkan si pemilik flat dengan segera. Madame Mei berdiri, membersihkan tangannya di celemek. Kau menahan suapan, dadamu ikut berdebar. Ketika Madame Mei membuka, seorang Tionghoa lain masuk. Ia lekas buru-buru duduk. Ia kemudian menangis.
Setelah berbicara menggunakan bahasa Mandarin selama beberapa waktu kepada Madame Mei, matanya menyisir ruangan. Lantas mata itu melihatmu. Ia setengah terkejut. Sebuah bisikan menjalar dari mulut perempuan berpakaian meriah dengan warna serba menabrak itu kepada Madame Mei. “Tak apa. Dia saudaraku dari Paris,” katanya menggunakan bahasa Inggris, seakan agar kau tenang, tak usah sungkan, dan melanjutkan makan. Obrolan itu cukup lama.
Setelah perempuan itu berdiri dan menuju pintu, memeluk Madame Mei, mencium pipi kanan dan kiri, ia pulang. Madame Mei mendekatimu. Wajahnya berubah pucat. “Kau jangan pulang dulu, ya? Keluargamu tak mencarimu, kan?”
Kau berkata dengan ragu, “Aku tinggal sendirian di sebuah flat di kawasan Latin.”
“Baguslah,” jawabnya.
“Tapi aku harus tahu ada apa.”
“Apa profesimu?”
“Jurnalis.”
“Bagus. Kau tentu tak ada sangkut pautnya dengan para bajingan itu. Aku akan menceritakan semuanya padamu. Sekaligus permohonan maaf karena kau datang ke flat-ku saat kondisinya kacau seperti ini.”
***
HARI berubah malam dengan cepat. Paris yang harusnya berganti warna menjadi keemasan, justru di kawasan ini menjadi gemerlap penuh warna. Porte Saint-Denis yang berdiri bagai monumen sejarah seakan tak dianggap kehadirannya. Musik-musik terdengar sayup, kegembiraan terjadi di luar jendela. Kau menyaksikan segala opera kehidupan dari jendela flat yang menghadap ke Rue Saint-Denis. Seumur hidup tinggal di Prancis, lima belas tahun tinggal di Paris, kau terkejut karena ada bagian kota yang seperti ini. Bukankah ini masih masuk bagian tengah kota? Kau bertanya-tanya. Dan jawabannya mudah saja; Saint-Denis adalah jantung kota Paris!
Keterkejutan itu berasal dari pemandangan yang langka di kota Paris. Ada banyak orang Tionghoa sedang berdiri di pinggiran jalan. Seakan jarak mereka sudah merupakan kesepakatan, sekitar 50 meter menjadi aturan. Kau amati, mereka memakai baju yang mentereng, riasan yang mencolok, dengan wajah-wajah melepuh seperti menggunakan botoks—atau mereka memang menggunakan botoks yang murahan. Kau lebih jeli lagi mengamati, akhirnya kau menemukan perempuan yang tadi siang datang ke flat ini. Ia berdandan lebih heboh dari siang tadi. Roknya pendek, menggunakan mantel, rambutnya ia tata amat indah. Walau wajahnya melepuh karena botoks murahan, menurutmu ia begitu cantik malam ini.
Warna merah, kuning, hijau, biru, dan kelip warna lainnya bergantian masuk ke matamu dan membuatmu pusing. Kau memaksa untuk mengamati lebih dalam, toko-toko yang masih buka itu merupakan salon-salon pijat, penginapan, dan toko alat-alat seks yang sudah terlihat tua—tak semenarik di kawasan Pigalle. “Astaga, apakah ini area pelacuran? Seperti Pigalle di pinggiran Paris?” kau tak sengaja mengatakan itu dengan lumayan keras.
Kau selama ini sering mengunjungi bar baik bersama kawan, pacar, atau bahkan sendirian seperti kemarin. Namun kau baru menyadari bahwa kawasan ini lebih liar daripada Pigalle. Para pelacur Tiongkok itu berjejeran di pinggir jalan. Memang tak memaksa orang yang lewat, namun kehadiran mereka di pinggir jalan seakan tak malu menutupi diri bahwa Saint-Denis merupakan area pelacuran.
Madame Mei mendeham. Kau terkejut dan kemudian membalikkan badan. “Lia akhirnya sudah tidur.” Kau tahu siapa Lia, betapa aktif dan lincahnya anak itu. Kau seharian bermain dengannya dan yang tersisa adalah rasa lelah yang menyenangkan. Madame Mei meletakkan sebuah minuman hangat di meja. Kau tahu itu dari asap yang menguar. “Mau aku ceritakan masalah yang sedang mereka—pelacur-pelacur Tiongkok di Rue Saint-Denis—alami?” suaranya menurutmu teduh dan menenangkan. Kau menganggukkan kepala. Di otakmu berkelindan banyak pertanyaan.
***
PADA 1960-an, di kawasan Saint-Denis, datang seorang perempuan muda asal Tiongkok bersama ibunya. Dengan cepat ia menyukai Saint-Denis. Toko-toko kumuh berjejeran di bagian utara Porte Saint-Denis yang berdiri gagah. Gadis itu melihat toko-toko itu akan menyala terang ketika malam. Ada siluet badan perempuan cantik yang menyala-nyala. Sedang di beberapa blok belakang porte, toko-toko buka pada pagi dan siang hari. Mulai dari toko roti, buku, dan buah-buahan segar ada di sana. Gadis yang menyukai segala hiruk pikuk Saint-Denis itu bernama Mei.
Mei senang berjalan-jalan di sekitar sana. Ia akrab dengan perempuan-perempuan cantik berpenampilan modis, maupun dengan bibi dan paman pedagang buah. Mereka semua menyukai Mei dengan segala kelincahannya. Mei juga berkawan dengan banyak anak sebaya. Ia supel dan mudah bergaul. Namun entah mengapa, Ibunya tak kunjung menyekolahkan dirinya.
Mei baru pindah beberapa tahun dari sebuah kota kecil di Tiongkok. Di sana Mei menemui banyak ketakutan. Ibunya sering disiksa oleh keluarganya. Tetangga-tetangganya selalu melihat Ibu Mei dengan tatapan yang mengerikan. Kondisi ini membuatnya tak bisa bermain dengan leluasa karena para tetangga akan melarang anak-anaknya main dengan Mei. “Anak haram!” begitu mereka menyebut Mei. Mei menganggap bahwa Paris memang cocok untuk mereka.
Suatu sore yang hangat, keributan terjadi. Porte Saint-Denis yang harusnya terkenal, didatangi oleh turis, dan menjadi destinasi wisata wajib jika mengunjungi kota ini, entah mengapa belakangan berubah menjadi sepi. Beberapa kafe dan toko di sekitar sana meradang. Mei kadang melihat bibi dan paman pemilik toko-toko itu perlahan-lahan tak pernah mengajaknya bercanda atau sekadar mengobrol lagi. Tatapan itu mengingatkan dirinya dengan tatapan para tetangga di Tiongkok sana.
Tatapan bibi dan paman pemilik toko-toko menjadi sangat benci ketika melihat beberapa perempuan berpenampilan—yang menurut Mei saat itu—keren yang berbaris rapi di depan Porte Saint-Denis. Dan di antara perempuan-perempuan yang berjejer itu, ada Ibunya Mei di sana. Ia menjadi satu-satunya perempuan Tiongkok di antara perempuan-perempuan asal Paris pada tahun-tahun itu.
Ibu Mei selalu bilang padanya bahwa ia bekerja sebagai seorang guru lukis. Ibunya selalu menyuruhnya untuk main di sekitaran Porte Saint-Denis ketika beberapa lelaki—yang katanya muridnya melukis—menggandeng tangan Ibunya dengan mesra dan balik ke flat mereka. Mei selalu gembira ketika ada ‘murid’ ibunya yang membawa Ibunya pulang. Artinya, malam nanti ia akan makan enak dan sorenya ia bisa bermain sepuasnya di sekitaran porte.
Besar sedikit, Mei paham bahwa profesi Ibunya adalah seorang pelacur. Ia juga tak mungkin bisa sekolah karena ia masuk dalam kategori imigran ilegal. Visanya mati sudah lama. Atau bahkan ia tak memiliki visa? Mei selalu tak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari ibunya. Ibunya selalu bilang, ia tak bisa memperbaharuinya karena keterbatasan dana. Hidupnya yang penuh cahaya dan harapan, seketika redup dalam satu malam. Ibunya seakan mematikan saklar semangat untuk hidup dalam diri seorang bocah yang masih meraba-raba dunianya.
Pemerintah Paris pada 1970-an sedang menggencarkan pemerataan ekonomi di tiap distriknya. Saint-Denis masuk dalam radar pemerintah karena mereka masuk kawasan elite Paris, namun perekonomian kalah jauh dibanding kawasan terdekatnya. Tantangannya bertambah ketika warga sekitar—pemilik toko-toko, kafe, dan penghuni flat di dekat sana—mengusulkan bahwa prostitusi juga harus ditertibkan. Mei sudah asing sepenuhnya dengan beberapa orang di kawasan belakang Porte Saint-Denis. Tatapan orang-orang di sana seperti memasukkan Mei dalam bagian dari prostitusi tersebut. Ia beberapa kali membujuk Ibunya untuk pulang ke Tiongkok.
Akhirnya Mei tahu, masalahnya begitu rumit. Ibunya tak mungkin kembali ke Tiongkok. Setidaknya ia tahu gambaran besarnya dari surat-surat yang dikirim oleh Bibinya untuk Ibunya. Salah satu surat itu bertuliskan begini: Maaf, kak. Kendalanya bukan dirimu. Bukan pula statusmu. Melainkan anakmu. Ibu dan Bapak tak mungkin menerimanya. Kehadirannya itu, bagi keluarga dan warga desa, sebagai iblis yang dikirim sebagai tanda akan terjadinya kesialan. Dan kesialan itu mewujud menjadi dirimu.
Mei terus menyalahkan Ibunya dan kehadirannya di dunia. “Kenapa kau tak gugurkan aku saja? Kenapa kau libatkan aku masuk dalam lingkaran setan bernama kota Paris ini?” katanya dengan meledak-ledak. Ledakan itu ia keluarkan seutuhnya ketika umur lima belas tahun.
Pada 1990-an akhir, pemerintah Paris kembali melakukan idenya seperti tahun 1970-an. Proyek-proyek dari pemerintah Paris yang ingin mengubah citra Saint-Denis dari yang awalnya kawasan pelacuran menjadi kawasan borjuis seperti lainnya. Tidak hanya toko-toko, juga jalanan mulai diperbaiki dan dipercantik.
Pemerintah mulai memperluas akses pedestrian, maka mobil-mobil tak bisa berlama-lama berdiam di jalanan tersebut. Proses negosiasi antara pelacur dan pelanggannya yang naik kendaraan menjadi berkurang. Tujuan utama peremajaan jalan ini adalah menyingkirkan secara halus pelacur-pelacur di Saint-Denis.
Dalam tahap ini terjadi pula proses gentrifikasi lanjutan di mana pusat-pusat Paris mengalami peledakan penduduk dan mereka mencari hunian murah dan tidak jauh dari pusat kota. Saint-Denis adalah tempat yang pas untuk itu. Perlahan kawasan ini kehilangan satu per satu toko-toko alat seks dan live peep show yang berubah menjadi baju dan jam tangan.
Pelebaran kawasan pedestrian itu juga berupaya memberikan rasa malu kepada para pelacur. Pemerintah berharap, dengan terbukanya kawasan pejalan kaki, para pelacur melakukan prakteknya secara sembunyi-sembunyi. Ibunya Mei menjadi tokoh terkenal saat itu. Mereka menolak untuk dipermalukan karena hidupnya sudah berkubang begitu lama dari perasaan malu yang disebabkan oleh penyingkiran secara terang-terangan dari pemerintah.
Mei hidup dalam perubahan yang cukup ekstrem dalam tahap ini. Ia melihat Ibunya merupakan sosok yang luar biasa. Namun, ia ingin menghadirkan suatu hal yang baru: pendampingan. Mei ingin menjadi tempat yang aman untuk bercerita bagi para pelacur itu. Mendengar cerita-cerita mereka, yang dihasilkan adalah rasa geram.
Banyak polisi dikerahkan. Beberapa polisi berupaya membuat pelacur-pelacur ini takut dengan beragam cara. Ada yang meneriaki mereka, bahkan ada juga yang melakukan tindakan pelecehan seksual pada mereka. Tak jarang kekerasan fisik mereka lakukan. Banyak pelacur tradisional yang menyerah di Saint-Denis. Sebagian dari mereka pergi melacur di kawasan lain.
Lusinan pelacur asal Tiongkok kemudian masuk ke Saint-Denis. Munculnya pelacur-pelacur Tiongkok ini membentuk sebuah pola yang benar-benar baru: sesama pelacur tak ada persaingan. Mereka justru bahu-membahu mempertahankan lokasi itu. Mereka tak mau berdiri di pinggiran jalan. Mereka melawan gentrifikasi yang terjadi pada awal 2000an.
Polisi tentu saja makin ganas. Namun pelacur-pelacur Tiongkok di Saint-Denis tak kalah ganasnya. Mereka melawan dengan cara sebisa mungkin merebut ruang kota. Dan akan terus melawan dengan berbagai cara.
Ibunya Mei meninggal akibat sakit yang mendera otaknya pada pertengahan 1990-an. Gelombang pelacur Tiongkok yang masuk ini satu sisi membuat Mei senang karena banyak kawan, sisi lainnya ia sedih karena latar belakang nasib yang sama-sama didera sial. Ia memikirkan berbagai cara agar mereka bisa lepas dari ketergantungan menjajakan seks. Sebab, hal ini bisa mendatangkan kekerasan bagi mereka. Di mata sebagian pelanggan, penjaja seks tak lebih dari sekadar anjing yang bertugas menjilati kelaminnya. Ia mengupayakan banyak cara untuk memberikan perlindungan bagi kawan-kawannya.
Saat itu adalah tahun 2004 ketika Paris mengalami musim dingin yang hebat. Di sebuah jendela ia melihat ke Rue Saint-Denis. Asap rokoknya ngebul ke udara. Tiap tarikan rokok, rasanya seperti perih karena ia melihat rekan-rekannya masih berjejeran di tengah dingin hanya untuk memperlihatkan eksistensinya bahwa mereka sedang menunggu pelanggan.
Di pojok jalan, tiba-tiba ada seorang pelacur muda yang jatuh kemudian meringkuk. Ia memegangi perutnya, kesakitan. “Liao!” teriak Mei. Ia buru-buru mengambil mantelnya. Ia pakai menutupi tubuhnya. Ia lekas turun dari tangga, membuka pintunya, kemudian menerobos ke jalanan. Perempuan muda bernama Liao itu mengalami sakit perut yang akut. Beberapa luka juga terlihat dominan di bagian perutnya. “Bekas tonjokan,” pikir Mei dalam hatinya. Ia bawa Liao dibantu kawan-kawan lainnya ke flat milik Mei.
Beberapa saat setelahnya ia siuman. Liao ingin balik ke flat-nya. Mei menyuruhnya untuk tidur dan beristirahat terlebih dahulu. Lagi pula, ia sedang memasakkan mi untuknya. Perempuan muda itu menaati apa-apa yang dikatakan Mei karena ia tahu, Mei adalah sosok terkenal di antara mereka. Lagi pula, lemasnya belum hilang. Wajahnya masih menampilkan pucat yang menyedihkan.
Liao bercerita bahwa ia lahir dari hubungan gelap Ibunya dengan seorang lelaki Italia. “Kata Ibu, di sini lebih menjanjikan. Apakah aku tak bisa kerja selain menjadi pelacur, Kak?” tanyanya. Mei mengambil piring-piring bekas mereka makan. Ia membawa piring-piring itu ke wastafel, mencucinya, dan tangisnya pecah di sana.
Mei teringat dirinya ketika masih seusia Liao. Anak-anak yang hidupnya baru saja dirampas dan mereka tak pernah siap untuk bertemu dunia yang benar-benar lain. Dunia yang diperuntukkan bagi orang dewasa, namun mereka sudah masuk terlalu cepat. Mei memegang pundak Liao, ia merapikan rambutnya kemudian membelai lengannya. Mei ingin Liao tinggal bersamanya dan menyuruh Liao mencari pekerjaan yang lain.
Mei tahu bahwa ketika sudah melacur, seseorang tak bisa lepas dari perangkap setan tersebut. Ia juga paham bahwa Liao akan terbentur beberapa kali. Ia sempat hampir diterima menjadi seorang kasir di sebuah minimarket di kawasan Voltaire. Namun Liao langsung ditolak ketika seseorang menyelidiki latar belakang Liao yang tinggal di kawasan Saint-Denis dan ia merupakan bekas pelacur. Pada akhirnya ia melacur lagi untuk mendapatkan uang. Namun kami terus hidup bersama, berbagi keluh dan kesah, menantang badai menyeramkan yang diciptakan oleh Paris yang kata orang-orang sangat indah.
Ketika 2010 datang dengan buru-buru, kehidupan masih begitu-begitu saja bagi pelacur-pelacur di Saint-Denis. Hidup mereka penuh perlawanan dan mereka cukup ahli dalam melakukan perlawanan. Mei dan Liao sedang menikmati kudapan di pinggiran Saint-Denis ketika mobil polisi berwarna gelap itu datang. Ketika seorang polisi keluar, tubuh Liao menegang. Matanya terbelalak dan ia ketakutan. Dengan cepat polisi yang turun itu mendekati Liao, berbisik sesuatu, lantas meremas buah dadanya. Tubuh Liao makin menegang dan napasnya tak beraturan.
“Bajingan, kau!” Mei secara tiba-tiba memukul wajah polisi itu. Ia lantas menyadarkan Liao agar mau diajak berlari. Polisi itu hanya diam dan kedua pelacur itu lari lintang pukang menuju flat mereka.
Cerita Liao saat pertama kali bertemu Mei kurang lengkap. Ia tak hanya sakit perut biasa, melainkan perutnya dipukul dan terdapat beberapa luka di tubuhnya. Ternyata, selama satu dekade ini, banyak pelecehan seksual dan kekerasan fisik yang masih dilakukan oleh polisi-polisi tersebut kepada pelacur-pelacur di Saint-Denis. Korbannya tak hanya Liao, juga rekan-rekannya yang lain.
Selama ini, Mei bekerja secara sukarela di Serikat Pekerja Seks di Paris atau Le Syndicat du Travail Sexuel atau STRASS. Sindikat kerja tersebut melindungi hak-hak para pekerja seks. Tidak hanya pelacur, namun juga pornstar. Ia makin serius berbakti pada serikat ketika kawan-kawannya di Saint-Denis semakin berpacu dengan dirampasnya nyawa mereka dalam tiap detiknya.
Gejolak amarah bertambah lantaran pemerintah Paris membentuk semacam RUU yang melindungi pihak kepolisian dalam memberantas pelacuran. Mei dan kawan-kawannya mencoba menyusun siasat, dan aksi massa merupakan perlawanan satu-satunya yang tersisa.
“Dunia memang diperuntukkan bagi para lelaki untuk saling kelahi, namun ruang kota yang kita tempati ini menjadi saksi bahwa kami tengah berproses untuk menemukan kehidupan,” begitu yang dikatakan Liao. Mei lantas memeluk Liao setelah ia meyakinkan para pelacur Tiongkok Saint-Denis untuk melawan bersama-sama. Mereka bulat untuk turun ke jalanan.
Pada 17 Desember 2014, demo besar yang dilakukan para pelacur Tiongkok pecah di Boulevard de la Villette—hanya beberapa kilometer dari Saint-Denis. Mei menggunakan topeng putih yang menutupi hidung dan matanya. Begitu pula dengan yang lainnya. Mereka menentang musim dingin yang dinginnya begitu menusuk. Jaket tebal yang mereka kenakan kadang dinginnya masih menembus sampai tengkuk.
Mereka justru dicemooh oleh orang-orang yang melewati sekitar. Beberapa sisanya mendukung. Namun, lebih banyak dari mereka yang menganggap para pelacur itu merusak persiapan Natal di daerah tersebut. “Tak apa, tak apa. Semoga mereka tak diperlakukan pemerintah bernasib seperti kita,” kata Mei. Sayangnya, usaha mereka gagal. Polisi tetap mendapatkan perlindungan khusus dalam menangani pelacur-pelacur di Saint-Denis.
Pada 2017, Liao diperkosa oleh polisi. Ia hamil dan berniat untuk menggugurkan calon bayinya. “Aku mau menggugurkan anak ini,” kata Liao kapada Mei. Liao sudah menyiapkan tas dan perlengkapan lainnya. Mei hanya diam. Ia mengingat surat-surat yang ditulis oleh bibinya yang menyarankan Ibunya untuk menggugurkan Mei ketika masih dalam kandungan. “Kau jangan larang aku, Kak,” kata Liao.
Mei hanya diam. Ia merokok dan menghadap jendela, menyaksikan semua manusia yang terus bergerak dan sebuah kota yang hanya terdiam. “Hati-hati,” jawab Mei. Liao terdiam sesaat. Tangannya sudah memegang gagang pintu. Ia kaget bahwa tak ada penolakan dari Mei. Setelah terdiam cukup lama, Liao membuka pintu itu dan pergi.
Walau hanya diam membelakangi Liao dan menatap jalanan, Mei menangis dan menahan suara isaknya. Dadanya begitu perih dan ingusnya sudah keluar ke mana-mana. Mei memang tahu bahwa dunia tak adil, namun ia tetap tak menemukan jawaban mengapa ketidakadilan ini berjalan begitu jauh dan merenggut banyak hal dari perempuan-perempuan yang ia kenal. Bahkan sudah merenggut kehidupan dari seorang bayi yang bahkan melihat dunia saja belum sempat.
Ketika Mei sedang membaca sebuah buku dan masih menghadap jalanan, Liao masuk flat itu. Liao memeluk Mei dan memohon maaf. “Tidak, Liao. Kau harusnya meminta maaf pada calon anakmu, bukan padaku,” kata Mei begitu bijak. Kelegaan menjalar pelan-pelan dalam diri Mei. Satu anak manusia setidaknya tidak dibunuh oleh rasa kecewa dan kejahatan seorang lelaki bejat.
Sejak saat itu Liao menjuluki Mei sebagai Madame Mei. Begitu juga pelacur-pelacur di kawasan Saint-Denis yang lain. Bagi para pelacur di sana, Madame Mei merupakan sosok orang tua, kakak, sekaligus saudara yang bisa diajak berdiskusi tentang apa pun.
Liao melahirkan pada 2018. Anaknya begitu merah dan menakjubkan. Ia bagai malaikat yang lahir di tengah keburukan. Beberapa pelacur menyebutnya sebagai dewi karena jenis kelaminnya perempuan. “Namanya Xiao Lia, ya?” tanya Liao kepada Madame Mei. Jawabannya hanya berupa anggukan dan ciuman hangat ke kening Liao.
Kemalangan tak berhenti, justru melanda saban hari. Seorang pejabat setempat mengatakan bahwa prostitusi membahayakan keragaman indah Distrik Belleville—sebuah distrik di utara Saint-Denis, tempat di mana pelacur-pelacur Afrika tinggal.
Sebab omongan pejabat itu, angka kejahatan kepada pekerja seks naik lagi. Tiga pelacur asal Tiongkok ditemukan tewas pada tahun 2019. Pemberitaannya seakan senyap. Apalagi koran-koran berbahasa Tiongkok di Paris, mereka menutup mata melihat kejadian ini. Madame Mei menyuruh Liao untuk sementara jangan melacur terlebih dahulu. Lebih-lebih anaknya masih berumur satu dan membutuhkan kasih sayang seorang Ibu.
Pada suatu sore, Madame Mei baru pulang dari salah satu perkumpulan serikat di Halles. Ia terkejut ketika jalan menuju rumahnya sudah dipenuhi oleh banyak orang. Madame Mei menerobos satu per satu manusia yang berkerumun di depannya. Ia tak peduli apa pun lagi. Ia belum tahu apa yang terjadi, namun tangis sudah merembes keluar tanpa terkendali. Ia tahu, kemalangan hanya milik pelacur-pelacur atau orang-orang yang terpinggirkan.
Ketika ia berhasil menerobos orang terakhir, seorang perempuan terkulai dengan leher yang hampir putus. Madame Mei terjatuh, badannya lemas. Liao dibunuh oleh seseorang.
Menurut keterangan saksi, terjadi cekcok sebelum kejadian. Ribut besar terjadi antara Liao dan seorang lelaki. Mereka berjalan menjauhi jalanan utama dan menuju gang sempit lokasi kejadian. Liao menolak untuk memberikan jasanya karena ia mematuhi apa yang dikatakan oleh Madame Mei. Emosi dan kalap, lelaki itu lantas mengeluarkan pisau dan menggorok leher Liao. Tubuh wanita itu kejang-kejang sedang darah mengucur hebat. Selang beberapa detik dan mengalami kejang hebat, Liao sudah meninggalkan tiga hal yang tersisa dalam hidupnya; tubuhnya, Madame Mei, dan Lia yang masih kecil.
***
“AKU sungguh menyayangi anak itu. Aku rela mengorbankan apa pun asal anak itu bisa tumbuh dengan baik. Aku tak ingin anak itu kelak menjadi seperti ibunya yang sudah mati—menjadi seorang pelacur di Saint-Denis,” Madame Mei menceritakan itu dengan tenang. Rokoknya sudah habis satu bungkus. Matanya berkaca-kaca dan menatap nanar pojok-pojok ruangan flat-nya.
Jam menunjukkan pukul lima dan kau tak mengantuk sama sekali. Padahal, matamu begitu perih karena beberapa jam terakhir kau terus menangis. Beberapa kejadian yang diceritakan Madame Mei berhasil membuat air matamu meleleh dan hidungmu seperti terkena flu berat.
Terdengar sebuah ketukan. Madame Mei bangkit dan membuka. Perempuan Tiongkok yang tadi. Ia tersenyum padamu, melambaikan sedikit tangannya. Madame Mei membalikkan badan, ia berkata bahwa kondisi sudah aman. Kau terperangah, ketika semua orang di Paris harusnya bahagia, justru ada sebagian dari mereka yang dilanda ketakutan.
“Apakah yang membahayakan itu polisi?” kau bertanya kepada mereka—siapa saja—berharap mereka berdua sudi menjawab.
“Lebih dari polisi,” kata perempuan Tiongkok itu dengan bahasa Prancis yang kaku. Wajahmu makin menampakkan kesedihan.
***
KAU memakai gaun berwarna merah yang amat indah di sebuah pertemuan para jurnalis di dekat Panthéon. Kecantikanmu luar biasa, membuat semua mata tertuju padamu. Kau tersenyum, mengasihani mereka lantaran yang lebih dari dirimu bukan hanya kecantikan, namun juga apa yang kau pikirkan.
Daya tarikmu itu membuat jurnalis senior yang mengatakan bahwa kau adalah jurnalis yang payah itu mendekatimu. Warna gaun kalian senada, begitu juga dengan apa yang sedang kalian minum—cognac. Jurnalis senior itu menjejerkan tubuhnya dekat padamu, kalian memandang Paris dari lantai delapan. Cahaya Eiffel berputar-putar.
“Bonsoir, Madame Rosalie,” sapamu.
“Bonsoir, Mademoiselle Stella,” jawabnya. Suaranya terdengar angkuh di telingamu.
Bagaimanapun, ketika kau kuliah, Madame Rosalie merupakan seorang jurnalis yang kau sukai. Gaya penulisan, public speaking, bahkan keanggunannya, sering kau jadikan patokan. Namun, seiring berjalannya waktu dan namamu terus meroket, hingga akhirnya kalian sejajar, kau tahu betapa mid kekuatan tulisannya. Bahkan tak ada apa-apanya dibanding jurnalis muda yang baru merekah. Kedekatannya dengan para donatur media saja yang membuatnya aman di atas tanpa gangguan—atau menyingkirkan orang-orang yang berpotensi mengganggunya.
“Besok,” kau berkata dengan pelan-pelan, “kau akan terus berjaya di media ini.”
Madame Rosalie melihatmu. Tanpa kau balas melihat, kau sudah tahu hidungnya sedang kembang-kempis. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan gamblang.
“Kau boleh melakukan hal ini padaku. Mencerca tulisanku di belakangku, bilang ke orang lain kinerjaku tak kompeten, dan lainnya. Namun kau harus berjanji padaku, jangan kau lakukan hal ini kepada jurnalis muda yang lain. Jurnalis muda yang bersiap untuk merekah.”
Madame Rosalie menampilkan wajah yang ketakutan. Dan kau mulai menikmati kondisi ini.
“Aku keluar dari media ini. Media yang seluruh bosnya adalah kenalanmu. Media yang seluruh donaturnya juga kenal denganmu. Media yang bagiku tak mungkin bergerak ke mana-mana jika tajuk utama tiap minggu hanya memuat tulisanmu yang sudah usang dan tak mungkin bisa berkembang lagi.”
Kau berjalan keluar dari pertemuan rutin itu. Kau melihat ke belakang, Madame Rosalie mulai berbisik kepada perempuan bergaun mahal dan lelaki gendut yang memakai tuksedo mewah. Kau memberikan jari tengah pada mereka.
***
KAU berjalan menyusuri jalanan yang lengang pada pukul tiga sore di bulan Desember yang dinginnya biadab betul. Tubuhmu dingin, namun jiwaku hangat. Jalanmu pun terasa ringan. Kau terus menghadap bawah, melihat kaki-kakimu bekerja sampai pada akhirnya kau menyadari, sebuah porte berdiri dengan gagah di depanmu. Porte Saint-Denis, katamu. Beberapa orang memasuki stasiun Metro dengan tergesa-gesa seakan tubuhnya emoh terkena salju. Kau pun turut bergegas. Bedanya, kau berbelok menuju jalan kecil.
Kau lantas menyusuri jalan yang sepi dan sempit. Hatimu terasa sakit. Jalan itu adalah sebuah jalan di mana nyawa seorang mantan pelacur Tiongkok digorok lehernya hanya karena tak mau memuaskan seorang lelaki. Kau lantas berjalan cepat, menyusuri beberapa apartemen. Setelah menemui apartemen paling ujung, kau memencet kombinasi angka di smart lock key. Pintu terbuka. Dan kau menaiki tangga kayu, menyusuri beberapa flat, sampai pada bagian ujung.
Kau ketuk sebuah pintu yang tersemat bunga peoni dengan kelopak-kelopak besar dengan warna merah muda yang begitu cerah. Harumnya terasa enak. Pintu itu terbuka dengan cepat. Seorang bocah lompat-lompat menyapamu. Ia langsung memelukmu tanpa tedeng aling-aling. “Stella datang lagi, Stella datang lagi. Akhirnya Stella datang lagi,” katanya dengan berisik namun kesan hangat membuatmu tersenyum tak habis-habisnya.
Kau masuk dengan segera. Kehangatan langsung menyapamu. Seseorang sedang berdiri di depan jendela dan memunggungi kedatanganmu. Orang itu sedang asik merokok dan menghiraukan kehadiranmu. “Madame Mei,” katamu. Ia diam saja. “Aku tahu kau ingin menangis. Jika boleh saran, kau lebih baik menangis dalam pelukanku sekalian.”
Madame Mei membalikkan badan, tangannya ia rentangkan. Ia memelukmu. Lia yang tadi melompat-lompat dengan semangat, kini menarik-narik rokmu dan kemudian memelukmu. Ia juga ikut menangis. Kelak, kejadian ini akan kau masukkan dalam akhir sebuah kisah yang kau tulis. Sebuah kisah panjang yang bercerita tentang perempuan-perempuan tangguh di Rue Saint-Denis.
Paris, Januari 2025
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo