RENDRA masih memikat, tentu saja. Tepuk tangan untuk penyair ini, Senin pekan lalu di Taman Ismail Marzuki, ketika ia membacakan enam sajaknya, masih meriah. Yakni bila dibandingkan tujuh tahun lalu, ketika ia membacakan sajak-sajaknya, juga di TIM. Bedanya, acara Mei 1978 itu berakhir dengan ditahannya Rendra, dan kemudian TIM dilarang menampilkan seniman ini. Kenyataannya, bukan cuma di TIM Rendra tak bisa tampil, tapi di seluruh wilayah tanah air - baik untuk sajak maupun drama. Adapun penampilan Senin malam pekan lalu itu, dengan sajak-sajak yang kurang membakar emosi penonton dibanding yang di bawakan dulu, diharapkan oleh banyak pihak menjadi tanda kebebasan penyair ini dan Bengkel Teater-nya. Rendra, kini 50, masih tampak segar dan penuh vitalitas, seperti menjalani babakan hidupnya yang baru. Ia tinggal di Perumnas Depok, di luar Jakarta, bersama istrinya terakhir, Ken Zuraida, dan anak laki-lakinya yang bungsu, Isayas Sadewa, 9 tahun, yang disekolahkannya di madrasah ibtidaiyah Muhammadiyah. Sejak dilarang muncul di panggung kesenian, ia "hijrah" - mengutip istilah Rendra sendiri - ke dunia bisnis. Lalu, apa rencananya kini, setelah ada isyarat kelonggaran dari pemerintah? Berikut wawancara wartawan TEMPO A. Luqman dan Bambang Bujono dengan penyair yang kini, menurut pengakuannya sendiri, "mengurus kolam ikan" itu. Dengan baju kotak-kotak merah dan celana jean, di ruang kerjanya yang bukan termasuk kantor mahal, sambil mengembuskan Gudang Garam atau Bentoel, Rendra menjawab pertanyaan dengan gayanya yang khas: suara yang penuh ekspresi, disertai gerak tangan dan mimik berubah-ubah. Ia memang seniman teater tidak hanya di panggung. Apa yang dapat Anda ceritakan dengan dilarangnya Anda naik panggung? Kontak saya dengan kesenian sebenarnya jalan terus. Yang hilang dari saya adalah kesempatan mengadakan pertunjukan, dan ini membuat saya frustrasi. Sebagai penyair saya masih bisa mengarang, dan apakah karangan saya itu akan terbit setelah saya mati, tak jadi soal. Sebaliknya, "Main di panggung" 'kan tak bisa saya kerjakan setelah saya mati. Bahkan bila saya muncul di panggung sekarang, tentu berbeda dengan 10 atau 20 tahun mendatang. Dari segi fisik, tentu saya sudah berubah. Mungkin, yang memperbesar frustrasi saya, saya terlambat mencintai teater. Saya dulu benci kepada drama yang saya anggap seni pura-pura. Yang membuat saya mencintai panggung adalah Teguh Karya. Ternyata, di panggung saya pun bisa berekspresi. Ini terjadi pada awal 1960-an. Lalu datang Arifin C. Noer, Bakdi Sumanto, teman-teman Sanggarbambu, lalu kami latihan ramai-ramai, dan berdirilah Bengkel Teater. Selama lebih dari tujuh tahun Anda tak muncul di pentas, mungkin ada sesuatu yang baru tentang kearifan hidup, misalnya? Introspeksi saya bukan soal lama atau baru, maju atau mundur. Ukuran saya: apakah saya masih utuh, masih ada integritas antara pikiran, perasaan, dan kelakuan. Apakah masih ada keseimbangan antara kewajiban dedikasi, dan spontanitas. Keutuhan itu harus diperjuangkan detik per detik. Bagaimana keutuhan itu saya rasakan? Wah! Yaitu (lalu ia melontarkan ungkapannya yang khas itu) ketika "langit di dalam dan langit di luar bersatu dalam diri". Apakah kesenian tetap utuh dengan Anda, ketika Anda sibuk menangani bisnis? Begini. Saya dilarang. Saya tak mau menyerah tapi kalau memang kalah, ya, mau apa. Pada suatu saat, di masjid, saya merenung: Nabi Muhammad pun melakukan hijrah. Maka, saya pun hijrah, dari dunia kesenian ke dunia bisnis. Tapi kalau mau jujur, dalam bisnis ini andil saya paling kecil. Memang, saya di kursuskan manajemen ke LPPM. Pengetahuan bertambah, tapi instink saya tidak ke sana. Saya tak punya naluri seperti rekan-rekan saya. Bahkan, sebenarnya, saya pun tak punya naluri politik. Kalau saya makin dldesak, yang keluar itu naluri seni, 'gitu. Bila kini Anda kembali ke seni, Anda tentunya berharap bertemu dengan seorang impresario, seperti pernah Anda katakan. Anda tak khawatir kebebasan kesenian Anda berkurang? Kalau kita benar-benar intens dengan kesenian, sebenarnya karya pesanan itu sukar. Kalau ada, itu karena kebetulan ada kecocokan antara seniman dan pemesannya. Sesungguhnya, firdaus itu sudah hilang. Ketika Adam makan buah terlarang, manusia punya potensi berdosa. Kita harus selalu berhati-hati terhadap godaan. Bersekutu dengan birokrat seni, pemerintah, partai, atau pedagang, sama saja. Mungkinkah impresario bisa menjamin seniman hidup hanya dari keseniannya? Itu keyakinan saya dari dulu. Tapi berdasarkan pengalaman, kalau saya dipukul oleh politik, saya dilarang, ya, collapse. Ini bukan salah siapa-siapa: kultur negara kita memang baru begitu. Dan dengan impresario tak berarti saya akan menjauhi politik, misalnya. Justru karena saya bukan insan politik. Saya hanya mempertanyakan kenyataan-kenyataan politik yang saya anggap perlu dipersoalkan. Saya tak akan menjilat penguasa, juga tak akan menjilat penonton. Yang wajar saja. Dan memang saya sudah menemukan impresario saya untuk, antara lain, pembacaan sajak saya 9 dan 10 Desember nanti. APA yang Anda bayangkan dalam usia 60 nanti? Wah, saya tidak membayangkan. Sekarang saya menjadi begini karena hari kemarin. Dan esok saya tak bisa mengharapkan yang bukan-bukan kalau hari ini saya tak berbuat apa-apa. Kata dalang: uripe kaya ngono, matine ya kaya ngono. Hidup dan matinya seperti apa adanya dia. Tapi benarkah tak ada sesuatu yang Anda peroleh selama sekitar tujuh tahun tidak berpentas? Begini. Ketika di tahun 1978 saya ditangkap, kemudian ,dilarang main, ya sudah. Tapi ketika pada 1981 saya ditawari mementaskan drama, karena katanya sudah ada izin, saya benar-benar berharap. Saya mengirim telegram kepada teman-teman, dan persiapan sudah jauh. Waktu itu saya mau mementaskan lagi Lysisrata. Saya sudah merencanakan akan memakai kostum begini, akan main begini, akan keluar ke panggung lewat sudut ini. Eh, tiba-tiba pintu diketuk, pementasan digagalkan, karena memang saya belum boleh muncul. Breg, saya frustrasi, sakit enam bulan. Dari pengalaman itu, untuk pembacaan sajak Desember nanti, setengahnya saya sudah siap gagal. Seperti orang yang pernah terperosok di suatu jalan, bila ia berjalan di jalan itu lagi tentu berusaha tidak terperosok kedua kalinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini