ORANG tua berdahi lebar itu, yang rambutnya telah menipis dan
giginya hampir habis, tidak terlibat dengan ramai-ramai Dewan
Kesenian Jakarta di kompleks TIM. Affandi, 74 tahun, anggota
Akademi Jakarta (lembaga yang juga berada di pusat huru-hara)
memang bukan termasuk tokoh yang dituding para seniman. Dan ia
dengan santai membuka pameran tunggalnya di Balai Budaya,
Jakarta, 9-15 Februari lalu.
"Sebetulnya saya tak tahu banyak ramai-ramai di Akademi Jakarta
sekarang," katanya, sembari mencoba membakar tembakau
cangklongnya. "Mungkin karena saya lebih banyak tinggal di
Yogya."
Mungkin pula itu merupakan cerminan sikap hidupnya. Sejak ia
memutuskan diri menjadi pelukis, pertengahan tahun 30-an, yang
nomor satu dalam hidupnya adalah membikin lukisan -- baru yang
lain-lain. Agaknya konsentrasi itulah salah satu resep
keberhasilannya.
"Dalam melukis saya tak punya perhitungan," tutur Affandi. Ia
tak sayang membuang cat, kanvas atau biaya, demi senilukisnya.
"Tapi dalam penghidupan, saya ada perhitungan." Dan orang tua
dengan dua istri dan 4 anak plus sejumlah cucu dan anak-anak
tiri itu menjelaskan. "Umpamanya, pakaian itu cukup satu laus
dan satu celana dalam. Kalau itu saja tak bisa dicukupi, 'kan
telanjang. Jadi, kalau itu saja tak bisa dicukupi, ya, saya
tinggalkan seni lukis," katanya. "Syukur, hingga kini saya bisa
mencukupinya. Lebih dari cukup."
Semacam Fokus
Sekitar 40 lukisan cat minyak, sebuah pastel, sejumlah
reproduksi dan beberapa miniatur patung potret diri, itulah yang
dipamerkan Affandi pekan lalu. Gayanya yang sudah begitu kita
kenal memang masih menyergap kita begitu masuk ruang pameran.
Tapi, memperhatikan satu per satu karyanya, sergapan tak lama
kemudian mengendur: terasa ada keenceran pada kanvas bermoreng
cat dan yang dipigura dengan bambu itu. Tak ada lagi semacam
fokus yang didukung seluruh sapuan dan pelototan. Yang terasa
justru banyak fokus. Seperti tiap sapuan atau pelototan tak ada
hubungannya satu sama lain.
"Saya sudah tua. Tenaga kurang. Tapi kemauan dan cara melukis
masih tetap seperti dulu, karena persoalan teknis," ceritanya.
Dan gaya lukisan Affandi memang membutuhkan dikerjakan dengan
cepat dan konsentrasi penuh. "Dulu, kanvas selalu penuh cat.
Kini banyak bidang tak terisi," lanjutnya. "Dan memang ada
perbedaan: kini setelah menyelesaikan satu lukisan, saya merasa
lebih capek, dibanding 10 tahun lalu."
Memang belakangan ini, atas nasihat dokter, pelukis kelahiran
Cirebon ini berolahraga menggenjot argo cycle. "Biasanya
setengah jam pagi, setengah jam sore, ya seenaknya nggenjot."
Dan ia memang kelihatan segar.
Beberapa tahun belakangan ini, kalau kita perhatikan, banyak
karya Affandi menampilkan warna cerah. "Saya mencoba kekuatan
warna yang maksimal," tuturnya. "Dulu, dengan warna gelap,
ekspresi lebih cepat terasa. Kini saya mencoba dengan warna
terang, tapi dengan bobot ekspresi yang sama. Ternyata memang
sulit. Akan saya coba terus. . . "
Lalu apa yang diekspresikannya? "Orang seperti saya ini akrab
dengan penderitaan. Kalau saya melukis penderitaan, itu
seolah-olah cerita saya sendiri.
Di hari ketiga panlerannya, telah 10 lebih lukisannya laku --
dengan harga berkisar antara Rp 1 sampai Rp 4 juta. Affandi
sendiri hanya tertawa -- "tak tahu" mengapa karyanya yang mahal
itu ada yang beli. "Kalau saya jual murah, nanti 'kan ada yang
memborong lalu menjualnya lagi dengan mahal," katanya. Di
rumahnya, di Yogyakarta, rata-rata sebuah lukisan pasti laku
tiap bulannya --seharga Rp 1 - 2 juta.
Tapi rasa syukur Affandi, yang sudah haji itu, bukan karena
hidupnya kini berkecukupan. "Saya ucapkan syukur karena saya
panjang umur." Dan sampai di usia kini, sesuatu yang belum
dirasakannya berhasil, ialah "Saya ini kepengin menyumbang pada
perikemanusiaan setetes saja, lewat karya saya. Dan itu belum
kesampaian." Tak begitu jelas yang dimaksud, tapi Affandi
memberi contoh orang yang berhasil menyumbang itu, misalnya Ibu
Theresia dari India.
Padahal pengeluaran Affandi, yang hidup hemat itu, bukan main
banyaknya. Jarang yang tahu, ia menghidupi banyak orang -- tidak
hanya keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini