Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cita-Cita Affandi

Pelukis Affandi mengadakan pameran tunggal di balai budaya. ada sekitar 40 lukisan cat minyak, sejumlah reproduksi & patung potret diri. tak ada lagi semacam fokus dalam karyanya, yang ada keenceran.

21 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG tua berdahi lebar itu, yang rambutnya telah menipis dan giginya hampir habis, tidak terlibat dengan ramai-ramai Dewan Kesenian Jakarta di kompleks TIM. Affandi, 74 tahun, anggota Akademi Jakarta (lembaga yang juga berada di pusat huru-hara) memang bukan termasuk tokoh yang dituding para seniman. Dan ia dengan santai membuka pameran tunggalnya di Balai Budaya, Jakarta, 9-15 Februari lalu. "Sebetulnya saya tak tahu banyak ramai-ramai di Akademi Jakarta sekarang," katanya, sembari mencoba membakar tembakau cangklongnya. "Mungkin karena saya lebih banyak tinggal di Yogya." Mungkin pula itu merupakan cerminan sikap hidupnya. Sejak ia memutuskan diri menjadi pelukis, pertengahan tahun 30-an, yang nomor satu dalam hidupnya adalah membikin lukisan -- baru yang lain-lain. Agaknya konsentrasi itulah salah satu resep keberhasilannya. "Dalam melukis saya tak punya perhitungan," tutur Affandi. Ia tak sayang membuang cat, kanvas atau biaya, demi senilukisnya. "Tapi dalam penghidupan, saya ada perhitungan." Dan orang tua dengan dua istri dan 4 anak plus sejumlah cucu dan anak-anak tiri itu menjelaskan. "Umpamanya, pakaian itu cukup satu laus dan satu celana dalam. Kalau itu saja tak bisa dicukupi, 'kan telanjang. Jadi, kalau itu saja tak bisa dicukupi, ya, saya tinggalkan seni lukis," katanya. "Syukur, hingga kini saya bisa mencukupinya. Lebih dari cukup." Semacam Fokus Sekitar 40 lukisan cat minyak, sebuah pastel, sejumlah reproduksi dan beberapa miniatur patung potret diri, itulah yang dipamerkan Affandi pekan lalu. Gayanya yang sudah begitu kita kenal memang masih menyergap kita begitu masuk ruang pameran. Tapi, memperhatikan satu per satu karyanya, sergapan tak lama kemudian mengendur: terasa ada keenceran pada kanvas bermoreng cat dan yang dipigura dengan bambu itu. Tak ada lagi semacam fokus yang didukung seluruh sapuan dan pelototan. Yang terasa justru banyak fokus. Seperti tiap sapuan atau pelototan tak ada hubungannya satu sama lain. "Saya sudah tua. Tenaga kurang. Tapi kemauan dan cara melukis masih tetap seperti dulu, karena persoalan teknis," ceritanya. Dan gaya lukisan Affandi memang membutuhkan dikerjakan dengan cepat dan konsentrasi penuh. "Dulu, kanvas selalu penuh cat. Kini banyak bidang tak terisi," lanjutnya. "Dan memang ada perbedaan: kini setelah menyelesaikan satu lukisan, saya merasa lebih capek, dibanding 10 tahun lalu." Memang belakangan ini, atas nasihat dokter, pelukis kelahiran Cirebon ini berolahraga menggenjot argo cycle. "Biasanya setengah jam pagi, setengah jam sore, ya seenaknya nggenjot." Dan ia memang kelihatan segar. Beberapa tahun belakangan ini, kalau kita perhatikan, banyak karya Affandi menampilkan warna cerah. "Saya mencoba kekuatan warna yang maksimal," tuturnya. "Dulu, dengan warna gelap, ekspresi lebih cepat terasa. Kini saya mencoba dengan warna terang, tapi dengan bobot ekspresi yang sama. Ternyata memang sulit. Akan saya coba terus. . . " Lalu apa yang diekspresikannya? "Orang seperti saya ini akrab dengan penderitaan. Kalau saya melukis penderitaan, itu seolah-olah cerita saya sendiri. Di hari ketiga panlerannya, telah 10 lebih lukisannya laku -- dengan harga berkisar antara Rp 1 sampai Rp 4 juta. Affandi sendiri hanya tertawa -- "tak tahu" mengapa karyanya yang mahal itu ada yang beli. "Kalau saya jual murah, nanti 'kan ada yang memborong lalu menjualnya lagi dengan mahal," katanya. Di rumahnya, di Yogyakarta, rata-rata sebuah lukisan pasti laku tiap bulannya --seharga Rp 1 - 2 juta. Tapi rasa syukur Affandi, yang sudah haji itu, bukan karena hidupnya kini berkecukupan. "Saya ucapkan syukur karena saya panjang umur." Dan sampai di usia kini, sesuatu yang belum dirasakannya berhasil, ialah "Saya ini kepengin menyumbang pada perikemanusiaan setetes saja, lewat karya saya. Dan itu belum kesampaian." Tak begitu jelas yang dimaksud, tapi Affandi memberi contoh orang yang berhasil menyumbang itu, misalnya Ibu Theresia dari India. Padahal pengeluaran Affandi, yang hidup hemat itu, bukan main banyaknya. Jarang yang tahu, ia menghidupi banyak orang -- tidak hanya keluarganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus