HASBALLAH, kini kembali jadi buruh pengangkut pasir di tepi
(sungai) Aceh. Tahun lalu, demam menanam tebu seluas dua
hektar di Desa Pagarair, Kecamatan Masjid Raya (Aceh Besar),
nasibnya bisa lebih mendingan. Tapi sekarang, "lihat saja,
banyak anak sekolah mengambil tebu di sana. Dan saya biarkan
begitu saja," ujarnya.
Bersama petani lain Hasballah getol bertanam tebu atas anjuran
kepala deanya, Teuku Manyak. Bibitnya, jenis Ps-41 alias
Pasuruan-41 yang didatangkan dari pabrik gula Cot Girek di
Kabupaten Aceh Utara, dibagikan cuma-cuma kepada para petani.
Ketika itu dijanjikan tebu akan digiling oleh KUD di
pabrik-pabrik gula mini yang ada di sekitar sana.
"Ketika itu banyak petani yang tertarik, apalagi anjuran itu
disampaikan pada peringatan Maulid Nabi di masjid," ujar Nurdin,
petani dari Desa Meunasah Baro. Alhasil dari dua kecamatan yang
dianggap cocok untuk bertanam tebu-Masjid Raya dan Suka Makmur
-- terkumpul areal 200 hektar.
Panen pun tiba. Kedua kecamatan itu paling sedikit bisa
menghasilkan sekitar 400 ton tebu. Tapi semuanya mubazir. Sebab
tak ada pembeli. KUD yang semula ngotot, kini menampik.
Penggilingan tebu di Desa Lamgarut sudah lama pensiun karena
rusak. Begitu pula mesin giling milik bekas Gubernur Aceh
Muzakkir Walad di Desa Lubuk.
Padahal usaha penanaman tebu secara besar-besaran itu atas
anjuran Dinas Perkebunan Provinsi Aceh dengan biaya APBD Rp 15
juta. Kini banyak petani yang membiarkan kebun tebunya yang siap
panen itu membelukar tak ditebang. Ada pula petani yang telanjur
menebang tapi lalu membiarkan batang-batang tebunya membusuk di
kebun. Di pasaran bebas tak laku, dibikin manisan tebu atau
digiling ke Cot Girek, ongkosnya terlalu tinggi.
Siapa yang salah? Saling lempar kesalahan pun terjadi. Bupati
Aceh Besar, Teuku Bachtiar Panglima Polem, SH misalnya "tak
tahu-menahu dengan anjuran bertanam tebu itu." Ia lantas
menuding Dinas Perkebunan, yang tentu saja tak mau memikul beban
kesalahan.
Seorang staf di kantor itu, yang menyebut penanaman tebu
besar-besaran itu gagasan bekas Gubernur Muzakkir Walad,
mengungkapkan "kami semua bekerja sesuai dengan paket yang
disepakati bersama." Bupati lantas menimpali "Ketika proyek
mubazir itu dilaksanakan, saya tidak diikut-sertakan. Petani
disuruh tanam, tanpa mempelajari pengolahan dan pemasarannya."
Di Sum-Bar tebu rakyat nyaris bernasib sama. Menganggap tebu itu
berkadar gula sangat rendah, Pabrik Gula Mini Saribulan enggan
membelinya. Manajernya, Muhajir, memperlihatkan gula dengan
bahan tebu rakyat itu. Warnanya merah, dan cepat cair. Jadi
tidak tahan lama. Akhirnya Saribulan menyetop produksinya.
Para petani di Lawang III Balai dan sekitar Kecamatan Matur,
Kabupaten Agam --100 km sebelah utara Kota Padang, tempat
Saribulan berdiri -- tentu saja kecewa. Akibatnya ketika petani
dianjurkan ikut serta dalam program TRI (tebu rakyat
intensifikasi), mereka jadi apatis.
Celakanya, batang tebu yang ditanam petani TRI ternyata kerdil
meskipun diakui kadar gulanya tinggi, meskipun bibitnya
didatangkan dari Cirebon (Ja-Bar). Sebab, seperti diakui seorang
petugas dari Saribulan, tanah di sana memang tidak sesubur di
Jawa.
Walhasil, sementara tebu rakyat berkadar gula rendah, tebu TRI
tidak bisa tumbuh subur. Karena itu tak ada jalan lain bagi
petani kecuali membuat gula merah alias gula mangkuk.
Sebelum Saribulan berdiri, di Kabupaten Agam sudah ada areal
kebun tebu rakyat seluas 2.500 hektar. Di sana juga ada 480 unit
kilangan pencetak gula mangkuk yang tradisional itu, dengan
produksi sekitar 26.000 ton setiap tahun. Apalagi kini seorang
sarjana pertanian kelahiran desa itu, Ir. Hasrul, pulang
kampung. Hasrul mendirikan 9 unit kilang giling tanpa
menggunakan tenaga sapi.
Pemasarannya pun baik. Di pasaran harga gula mangkuk itu
sekitar Rp 180/kg. Seorang petani bisa menerima Rp 9.000 per
minggu. Di Sum-Bar, gula merah memang digemari.
Di Sul-Sel, "bertanam tebu belum membudaya" seperti kata Ir.
Poedjiastowo Soedjono, kepala bagian tanaman Pabrik Gula Bone.
Karena itu bisa dimaklum kalau PG Bone yang dibangun pada 1962
baru berproduksi 13 tahun kemudian. Bahkan produksi secara
komersial baru dimulai pada 1976. Itu pun, baru tahun ini
menguntungkan.
Semula pabrik menyerahkan pengelolaan tanaman kepada petani.
Tapi petani tidak mampu, di samping juga tak berminat. Akhirnya
pabriklah yang menggarap kebun tebu itu, sedang petani menerima
imbalan atas tanah yang disewakannya. Pada musim tebang tahun
lalu, imbalan itu Rp 105.000/hektar Tahun ini naik jadi Rp
153.000/hektar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini