Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Ada Tebu, Tak Ada Gula

Petani Aceh dianjurkan bertanam tebu. pada saat panen, tebu itu mubazir karena tak ada pabrik yang mau menggiling. di sumatera barat petani putar akal: membuat gula mangkuk.

21 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASBALLAH, kini kembali jadi buruh pengangkut pasir di tepi (sungai) Aceh. Tahun lalu, demam menanam tebu seluas dua hektar di Desa Pagarair, Kecamatan Masjid Raya (Aceh Besar), nasibnya bisa lebih mendingan. Tapi sekarang, "lihat saja, banyak anak sekolah mengambil tebu di sana. Dan saya biarkan begitu saja," ujarnya. Bersama petani lain Hasballah getol bertanam tebu atas anjuran kepala deanya, Teuku Manyak. Bibitnya, jenis Ps-41 alias Pasuruan-41 yang didatangkan dari pabrik gula Cot Girek di Kabupaten Aceh Utara, dibagikan cuma-cuma kepada para petani. Ketika itu dijanjikan tebu akan digiling oleh KUD di pabrik-pabrik gula mini yang ada di sekitar sana. "Ketika itu banyak petani yang tertarik, apalagi anjuran itu disampaikan pada peringatan Maulid Nabi di masjid," ujar Nurdin, petani dari Desa Meunasah Baro. Alhasil dari dua kecamatan yang dianggap cocok untuk bertanam tebu-Masjid Raya dan Suka Makmur -- terkumpul areal 200 hektar. Panen pun tiba. Kedua kecamatan itu paling sedikit bisa menghasilkan sekitar 400 ton tebu. Tapi semuanya mubazir. Sebab tak ada pembeli. KUD yang semula ngotot, kini menampik. Penggilingan tebu di Desa Lamgarut sudah lama pensiun karena rusak. Begitu pula mesin giling milik bekas Gubernur Aceh Muzakkir Walad di Desa Lubuk. Padahal usaha penanaman tebu secara besar-besaran itu atas anjuran Dinas Perkebunan Provinsi Aceh dengan biaya APBD Rp 15 juta. Kini banyak petani yang membiarkan kebun tebunya yang siap panen itu membelukar tak ditebang. Ada pula petani yang telanjur menebang tapi lalu membiarkan batang-batang tebunya membusuk di kebun. Di pasaran bebas tak laku, dibikin manisan tebu atau digiling ke Cot Girek, ongkosnya terlalu tinggi. Siapa yang salah? Saling lempar kesalahan pun terjadi. Bupati Aceh Besar, Teuku Bachtiar Panglima Polem, SH misalnya "tak tahu-menahu dengan anjuran bertanam tebu itu." Ia lantas menuding Dinas Perkebunan, yang tentu saja tak mau memikul beban kesalahan. Seorang staf di kantor itu, yang menyebut penanaman tebu besar-besaran itu gagasan bekas Gubernur Muzakkir Walad, mengungkapkan "kami semua bekerja sesuai dengan paket yang disepakati bersama." Bupati lantas menimpali "Ketika proyek mubazir itu dilaksanakan, saya tidak diikut-sertakan. Petani disuruh tanam, tanpa mempelajari pengolahan dan pemasarannya." Di Sum-Bar tebu rakyat nyaris bernasib sama. Menganggap tebu itu berkadar gula sangat rendah, Pabrik Gula Mini Saribulan enggan membelinya. Manajernya, Muhajir, memperlihatkan gula dengan bahan tebu rakyat itu. Warnanya merah, dan cepat cair. Jadi tidak tahan lama. Akhirnya Saribulan menyetop produksinya. Para petani di Lawang III Balai dan sekitar Kecamatan Matur, Kabupaten Agam --100 km sebelah utara Kota Padang, tempat Saribulan berdiri -- tentu saja kecewa. Akibatnya ketika petani dianjurkan ikut serta dalam program TRI (tebu rakyat intensifikasi), mereka jadi apatis. Celakanya, batang tebu yang ditanam petani TRI ternyata kerdil meskipun diakui kadar gulanya tinggi, meskipun bibitnya didatangkan dari Cirebon (Ja-Bar). Sebab, seperti diakui seorang petugas dari Saribulan, tanah di sana memang tidak sesubur di Jawa. Walhasil, sementara tebu rakyat berkadar gula rendah, tebu TRI tidak bisa tumbuh subur. Karena itu tak ada jalan lain bagi petani kecuali membuat gula merah alias gula mangkuk. Sebelum Saribulan berdiri, di Kabupaten Agam sudah ada areal kebun tebu rakyat seluas 2.500 hektar. Di sana juga ada 480 unit kilangan pencetak gula mangkuk yang tradisional itu, dengan produksi sekitar 26.000 ton setiap tahun. Apalagi kini seorang sarjana pertanian kelahiran desa itu, Ir. Hasrul, pulang kampung. Hasrul mendirikan 9 unit kilang giling tanpa menggunakan tenaga sapi. Pemasarannya pun baik. Di pasaran harga gula mangkuk itu sekitar Rp 180/kg. Seorang petani bisa menerima Rp 9.000 per minggu. Di Sum-Bar, gula merah memang digemari. Di Sul-Sel, "bertanam tebu belum membudaya" seperti kata Ir. Poedjiastowo Soedjono, kepala bagian tanaman Pabrik Gula Bone. Karena itu bisa dimaklum kalau PG Bone yang dibangun pada 1962 baru berproduksi 13 tahun kemudian. Bahkan produksi secara komersial baru dimulai pada 1976. Itu pun, baru tahun ini menguntungkan. Semula pabrik menyerahkan pengelolaan tanaman kepada petani. Tapi petani tidak mampu, di samping juga tak berminat. Akhirnya pabriklah yang menggarap kebun tebu itu, sedang petani menerima imbalan atas tanah yang disewakannya. Pada musim tebang tahun lalu, imbalan itu Rp 105.000/hektar Tahun ini naik jadi Rp 153.000/hektar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus