Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Puluhan orang membawa suluh berlari cepat. Siluetnya memenuhi jalanan Kampung Kauman, kawasan muslim dekat Keraton Yogyakarta. Penduduk menyingkir. Sebagian lagi hanya berani mengintip keramaian itu. Satu tempat mereka tuju: langgar kidul milik Ahmad Dahlan.
Para murid Dahlan yang sedang mengaji menghalangi massa yang mencari keberadaan sang guru. Tapi mereka kalah jumlah dan hanya bisa menyaksikan massa merangsek. Suasana begitu menegangkan. Al-Quran dibawa keluar, semua barang dirusak. Dan akhirnya, tiang-tiang penopang langgar ditarik beramai-ramai. Langgar runtuh. Teriakan kemenangan mengalahkan tangisan para murid dan istri Dahlan, Siti Walidah.
Tak lama, Ahmad Dahlan, diperankan Lukman Sardi, pulang. Dalam hujan deras, ia menyaksikan reruntuhan genting yang menaungi tempatnya mengajar. Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) yang melihat pemberangusan itu memayungi Dahlan. Sang guru lalu mengambil potongan Quran yang tercecer di tanah becek: surat Al-Ikhlas.
Inilah Sang Pencerah, sepenggal kisah Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah. Selama 109 menit, film yang memakan biaya Rp 12 miliar ini membawa kita kembali pada masa muda Dahlan hingga ia mendirikan Muhammadiyah. Suatu periode yang penuh diwarnai konflik. Sepanjang pemutaran film ditampilkan baku hantam pikiran dan fisik Dahlan.
Latar film dibuat Hanung berkisar di Yogyakarta yang masih terpengaruh ajaran Syekh Siti Jenar—sayang, penjelasan soal ini tak ada dalam film. Sejak lahir, Dahlan yang hidup di lingkungan Masjid Agung Keraton Yogyakarta sudah berhadapan dengan berbagai tradisi, seperti upacara tradisional Jawa nyadran, atau tedak siten yang memasukkan bayi dalam kandang pithik. Dahlan muda yang masih bernama Muhammad Darwis (Ihsan Tarore) bergolak menolak segala macam penyembahan yang menggunakan sesaji.
Sikap ini dipertahankan Dahlan setelah kembali dari belajar di Mekah. Sejak diangkat menjadi khatib, ia menggebrak dengan khotbah yang menyindir para kiai pendahulunya. Lalu Dahlan berencana mengubah arah kiblat di Masjid Agung karena perhitungannya menunjukkan bukan Arab yang dituju, melainkan Afrika. Di sinilah ia mulai konflik yang semakin tajam, terutama dengan Kiai Cholil Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo). Dahlan dianggap mengancam suatu tatanan yang sudah berjalan berabad-abad. Ia dianggap kafir.
Di sinilah terlihat kemampuan sutradara sekaligus penulis naskah Hanung Bramantyo menjaga konsistensi penonton. Meski jalan cerita kadang terasa lambat, konflik yang cukup banyak tak terasa membosankan. Kadang diselingi lelucon tak terduga. Seperti ekspresi murid Dahlan, Sudja (Giring Nidji), mengancam temannya dengan hanya mengepalkan tangan.
Yang pasti, semua pemain menunjukkan seni peran yang cukup maksimal. Lihatlah Lukman Sardi yang wajahnya terasa teduh, atau Slamet Rahardjo yang seperti jahe tua—makin pedas. Tokoh-tokoh yang tampil sepintas, seperti Sujiwo Tejo atau Yati Surachman, juga tetap menunjukkan kelas mereka. Memang kadang pembabakan terasa sedikit meloncat. Tapi kepiawaian Hanung meramu seluruh adegan tetap membuat plot dan loncatan itu menjadi tak bermasalah lagi.
Hanung menegakkan sejumlah bangunan seperti Ka’bah dan set yang nyaris sama dengan Yogyakarta seabad silam. Salah satunya ia menyulap Kebun Raya Bogor menjadi Jalan Malioboro. Risetnya cukup kuat, bahkan untuk urusan kostum. Selama setahun waktu digunakan untuk menyiapkan wardrobe, pakaian-pakaian yang dipakai di zaman Dahlan, semua dijahit sendiri, bahkan detail motif batiknya diperhatikan.
Tata musik Sang Pencerah begitu hangat, kadang energetik. Sesuai dengan adegan, dan tidak asal tempel. Hanung berhasil melaksanakan resep Hollywood, musik membantu dramaturgi. Walhasil, sesuai dengan judulnya, daya pencerahan yang dimiliki film ini cukup kuat, terutama mengenalkan pemikiran Ahmad Dahlan. Bahkan bagi yang nonmuslim sekalipun.
Satu kekurangan yang agak terasa dalam film ini: sebagian besar cengkok pemain kurang njawani. Hanung dan Zaskia, misalnya, meski bermain apik dan kulit mereka sudah diperhitam, tetap terdengar aneh saat ngomong. Beberapa dialog juga mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sesuatu yang wagu pada zamannya.
Selama ini, bila melihat foto-foto Ahmad Dahlan, kita selalu mendapati sosok tua berjenggot putih mengenakan sorban dan kacamata. Terlihat kolot dan angkuh. Terlihat pikiran-pikiran dan tindakannya sama sekali tidak progresif.
Salah satu kekuatan film ini adalah Hanung mampu mengubah citra kolot Ahmad Dahlan di foto-foto itu. Ia mampu menampilkan Ahmad Dahlan sebagai sosok anak muda yang progresif. Ia mampu mengirimkan imajinasi kepada kita bahwa tindakan-tindakan Dahlan—100 tahun lalu—itu begitu revolusioner, sesungguhnya.
Hampir semua adegan berupa fakta, kecuali kehidupan Darwis sebelum berangkat ke Mekah. ”Tidak ada catatan sejarah soal masa muda Darwis,” kata Hanung. Sekitar sepuluh buku atau catatan dijadikannya referensi dalam penyusunan adegan. Hanung mewawancarai ahli Muhammadiyah dan berkutat dengan sejumlah referensi, seperti karya-karya penulis buku dan aktivis Muhammadiyah, Abdul Munir Mulkan, serta catatan murid Dahlan, Sudja. Naskah film sampai diperbaiki 12 kali.
Hasilnya luar biasa. Hanung menghadirkan keutuhan sosok dan pemikiran Dahlan yang begitu dinamis pada masanya—yang kemudian melahirkan keterasingan bagi Dahlan dan murid-muridnya. Meski menolak sesajen, ternyata Dahlan tak menolak tahlilan atau syukuran pernikahan. Ia juga terbuka terhadap pandangan lain, termasuk menerima orang nonmuslim, meski baru sebatas kata lisan dalam film ini. Hanung juga menghadirkan sisi lain Dahlan yang mampu bermain biola dan nembang yang sekaligus menunjukkan perhatiannya pada seni dan tradisi. Dahlan ternyata kaya warna hidupnya, itu yang banyak tidak kita ketahui.
Yang menarik, Hanung tak terjebak menampilkan Dahlan sebagai sosok manusia super yang tak pernah salah. Sikap Dahlan yang terasa abege saat bertemu dengan Siti Walidah muda, pesimistis setelah langgar dibakar, atau kemarahannya saat menghadapi para penudingnya sebagai kafir menunjukkan sisi manusiawi keturunan ke-12 Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik tersebut.
Intelektual Muhammadiyah, Muslim Abdurrahman, menyebut Dahlan sesungguhnya sosok yang pluralis dan humanis. Ide sosial Dahlan, kata Muslim, justru tak ditimba dari kehidupan di Arab. Muslim mencontohkan, Dahlan kerap berdiskusi dengan sejumlah pastor di Magelang. Konsep pendidikan ala Muhammadiyah yang dikembangkan Dahlan juga meniru sekolah Katolik. ”Ada pelajaran umum sekaligus agama. Ahmad Dahlan kuat dalam pemurnian, tapi juga terbuka pada gagasan dari luar,” kata Muslim.
Memang, menurut Muslim, sebagian pihak menilai Muhammadiyah terlalu skriptural dalam memaknai Al-Quran. Tapi ini juga menunjukkan kekuatan rasionalitas kaum Muhammadiyah. Melalui film ini, orang bisa melihat bahwa pikiran-pikiran Ahmad Dahlan cukup terbuka. ”Sekarang entah kenapa seolah-olah Muhammadiyah menjadi tertutup dan eksklusif,” kata Muslim, yang dekat dengan almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Jadi tak salah Ahmad Dahlan difilmkan. Paling tidak, seperti kata Hanung, sosok Dahlan bisa dikenal tak hanya sebagai nama jalan. ”Bahkan sekarang lebih terkenal Ahmad Dhani,” dia berseloroh.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo