Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mekah dari Sisi ’Agak’ Lain

Mekah tak hanya Ka’bah. Selama dua bulan seorang pewarta foto Antara memotret sisi-sisi paradoks kota itu.

13 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari puncak Bukit Tsur, pe­mandangan Mekah tampak­ menakjubkan. Sebuah kota dengan sekumpulan bangun­an beton di antara perbukit­an, yang diselimuti pendar lampu jalan keemasan. Selintas mirip sebuah ­da­nau raksasa dengan lava pijar yang menyala-nyala.

Fotografer Maha Eka Swasta, 45 tahun, ingat. Hampir dua jam ia mendaki lereng terjal penuh kerikil tajam dan tumpukan batu nyaris tegak lurus sebelum kakinya menginjak puncak Bukit Tsur, bukit tertinggi di kawasan Mekah. Dari ketinggian 600 meter di atas permukaan laut itu, ia kemudian mengabadikan pemandangan Kota Mekah menjelang dinihari dengan kameranya.

Di tengah udara gurun yang dingin membeku, tangannya tak henti menekan tombol kamera ketika melewati Gua Hira di Bukit Nur. Gua sempit yang posisinya persis menghadap Masjidil Haram itu merupakan tempat Nabi Muhammad pertama kali menerima ­wahyu dari Tuhan.

Bagi Maha, perjalanan menyusuri kota suci Mekah pada musim haji se­tahun lalu amatlah istimewa. Fotografer senior Antara ini beribadah haji sekaligus menjadi petugas haji yang tergabung dalam Media Center Haji ­Panitia Penyelenggara Ibadah Haji 2009. Selama di Mekah, naluri fotografernya bergerak. Ia memotret dan memotret dan berhasil merangkum foto-foto perjalanannya itu dalam sebuah buku berjudul The Other Side of Makkah, yang resmi dipasarkan sejak 27 Agustus lalu.

Buku setebal 135 halaman itu ber­isi 138 foto yang memperlihatkan sisi lain Kota Mekah. Tiga puluh foto di anta­ranya dipamerkan di lantai satu Pejaten Village Mall, Pejaten, Jakarta Selatan. ”Saya ingin menampilkan hal yang ­berbeda dari Mekah yang belum diketahui oleh masyarakat Indonesia,” katanya.

Buku ini adalah buku kedua yang diterbitkan Antara. Buku foto tentang Mekah juga dibuat oleh juru foto Antara Zarqoni Maksum dua tahun lalu. Judulnya Makkah: Final Destination, yang lebih berfokus pada ritual keagamaan di kota tua tersebut.

The Other Side of Makkah bukanlah karya pertama Maha. Lulusan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta ini sempat menerbitkan buku serupa, yaitu Pesona dan Tantang­an Bulungan (1995); Samudra Air Mata (Ocean of Tears), buku fotografi mengenai tsunami Aceh (2005); Asia Africa: Towards the First Century, mengenai pertemuan puncak Asia-Afrika (2007); buku fotografi tentang gempa di Jawa bagian tengah, Fifty Seven Seconds (2007), Kilas Balik Pembangunan Kesehatan 2004-2008 (2008); serta buku fotografi mengenai kemanusiaan, Duta untuk Masa Depan (2009).

Buku fotografi The Other Side of Makkah merupakan catatan perjalan­an yang tak hanya memperlihatkan hi­ruk-pikuk jutaan muslim menjalankan ibadah haji. Lebih dari itu, Mekah­ digambarkan sebagai sebuah kota yang tengah menghadapi gelombang mo­dernisasi di segala bidang. Termasuk bagaimana warganya menghadapi serbuan berbagai produk kapitalis gaya Amerika.

Lihatlah beberapa foto yang memperlihatkan sekumpulan laki-laki yang setia dengan pakaian tradisional­nya menghabiskan malam di pojok-pojok kafe atau restoran siap saji di pusat belanja modern. Tengok juga foto-foto yang memperlihatkan deretan butik mewah yang memajang gaun-gaun malam—sebagian tanpa lengan, dengan belahan dada rendah—karya perancang kelas dunia. Ini sebuah fakta yang menarik, mengingat hampir semua pe­rempuan dewasa yang lalu-lalang terselubung jubah panjang hitam yang hanya menyisakan sepasang mata.

Lihatlah juga foto bus pengangkut jemaah haji yang di badannya terpampang iklan sebuah jam mewah keluaran Swiss. Bahkan, tak jauh dari Masjidil Haram, tersembul iklan minuman Coca-Cola, yang selama ini dianggap sebagai salah satu ikon kapitalis Amerika.

Dengan pencahayaan, teknik, serta angle (sudut pengambilan gambar) yang menarik dan insting yang jeli, Maha Eka Swasta juga merekam kesibukan di rumah pemotongan, pasar tradisio­nal, jamuan makan malam yang me­nyajikan kambing muda dengan nasi mandhi dan bawang putih, serta kece­riaan anak-anak bermain bola di tanah-tanah kosong.

Ia juga berhasil menampilkan sifat paradoks sebuah kota. Ketika musim haji tiba, Mekah yang dibanjiri jutaan muslim adalah kota yang amat sibuk. Namun, ketika musim haji sudah berlalu, kota ini menjadi lengang dan sepi. Sebuah kota dengan kehidupan beragama yang cenderung konservatif, ketat dan tertutup, khususnya bagi pe­rempuan.

Menurut lelaki yang akrab dipanggil Mekos ini, tak gampang membujuk warga Kota Mekah agar mau diambil gambarnya. ”Sulit sekali mendekati mereka, karena bagi mereka itu hal yang tak lazim, apalagi memotret kaum perempuannya,” katanya. Sangat sedikit akhirnya perempuan yang menjadi obyek fotonya. Walhasil memang foto-fotonya tidak sampai menampilkan realitas tersembunyi yang mengejutkan dari Mekah.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus