Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SORE itu, tiga hari menjelang pementasan Opera Ikan Asin, Teater Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan, terasa gerah tanpa penyejuk udara. Di panggung, sebagian set telah berdiri meski masih berantakan. Bunyi dentang dan ketukan tumpang-tindih dengan suara keras dari mikrofon yang sedang dicek. Deretan kursi merah di depan panggung kosong, kecuali satu di baris paling belakang.
Sutradara N. Riantiarno tampak sedang tertidur di tengah keributan itu. Nyenyak sekali tidurnya. Umurnya kini 67 tahun. Opera Ikan Asin pertama kali dipentaskan pada 1983 oleh Teater Koma. Saat itu Nano (panggilan akrab Riantiarno) sendiri yang menjadi pemeran utama Opera Ikan Asin. Ia memainkan Mekhit alias Mat Piso si Raja Bandit di Batavia. Dan sekarang yang menjadi Mekhit adalah putranya: Rangga Riantiarno. Mungkin tak terbayang dalam benak Nano pada 1983 itu bahwa suatu hari kelak anaknya sendiri akan memerankan Mekhit. Rangga Riantiarno saat pementasan pertama itu baru berusia tiga tahun.
Jarang ada teater di Indonesia yang bisa bertahan selama 40 tahun dan terus melakukan pertunjukan tiap tahun. Riantiarno, yang rambutnya mulai memutih, seperti tak henti berproses. Staminanya tampak masih tinggi. Disiplin untuk selalu berpentas baginya mungkin adalah sebuah ibadah.
Untuk ulang tahun Teater Koma yang ke-40 ini, Nano ingin menjajal Teater Ciputra Artpreneur, yang berkapasitas 1.200 penonton. Gedung ini beberapa kali dipakai untuk pentas teater Broadway, seperti Beauty and The Beast, The Sound of Music, dan Shrek The Musical. "Teater ini memang sangat bagus kualitas gedung hingga toiletnya," katanya.
Dalam tiga hari, segala persiapan pentas harus dikebut dengan kecepatan lebih dari biasa. Normalnya Riantiarno butuh lima hari untuk membangun set panggung dan segala persiapan lain di lokasi. Kali ini mesti dipercepat karena, "Sehari saja bayar berapa di sini," ujar Riantiarno. Persiapan dan latihan tanpa penyejuk udara juga harus dilakukan agar semakin hemat biaya sewa.
Naskah Opera Ikan Asin dipilih Nano untuk dipentaskan dalam peringatan hari jadi itu. Naskah ini ia sadur dari karya Bertolt Brecht, The Threepenny Opera, yang berkisah tentang persekongkolan gembong bandit dengan kepala polisi. Musik asli yang dirancang oleh Kurt Weill pada 1983 digubah kembali oleh Harry Roesli (almarhum).
Nano menyebut opera inilah peletak dasar konsep berteater Koma. Sebelumnya, lakon-lakon Teater Koma belum menemukan bentuk yang khas. "Pada 1983 itulah kami mulai mendapatkan bentuk dan menjadi dasar tindakan kami sampai sekarang, yaitu ada nyanyian," ucap Nano.
Butuh lima tahun lebih bagi Nano untuk menyadur dan mementaskan karya Brecht itu. Dia pertama kali membaca naskah Brecht setelah mendengar komposisi Kurt Weill dari piringan hitam koleksi Teguh Karya, pendiri Teater Populer.
Nano saat itu masih anggota Teater Populer sekaligus penjaga perpustakaan. Saat bertugas di perpustakaan, ia menemukan dan terus mendengarkan musik Kurt Weill hingga akhirnya hafal di luar kepala. Dalam produksi pertama Opera Ikan Asin, Harry Roesli menggubah semua musik lakon itu hanya berdasarkan ingatan Nano tanpa panduan partitur aslinya.
Pementasan kedua Opera Ikan Asin berlangsung pada 1999. Nano kembali naik panggung sebagai Mekhit. Lagu Bandit, yang dalam pementasan pertama tak dinyanyikan karena terlalu sulit, kali ini dapat dimasukkan. Tapi lagu penutup, yang seharusnya dinyanyikan semua pemain, tetap tak ada. Baru pada pementasan ketiga di Teater Ciputra Artpreneur inilah Nano menggenapi semua yang ada dalam naskah asli Brecht. Semua lagu dinyanyikan lengkap dari awal sampai akhir dengan aransemen Fero A. Stefanus.
Permainan Rangga Riantiarno tak begitu mengecewakan sebagai Mekhit. Di sebuah kandang kuda, Mekhit menikahi Poli Picum (Sekar Dewantari), putri Natasasmita Picum (Budi Ros). Riantiarno terasa mampu menyajikan kehangatan pesta di adegan ini. Para bandit datang berbarengan membawa macam-macam hadiah untuk pengantin, dari lukisan Mona Lisa, kulit macan, jam bandul Junghans, hingga pakaian dalam. Tentu semua itu hasil curian. Tiga meja panjang tertutup sutra putih dihadirkan di panggung. Di atasnya tertata lengkap berbagai peralatan makan antik, botol wine, hingga sendok dan garpu dari suasa.
Pernikahan itu membuat Natasasmita dan istrinya, Amalia (Netta Kusumah Dewi), marah karena tak rela putrinya dikawini bandit. Natasasmita menganggap Mekhit brengsek padahal ia sendiri adalah kepala pengemis se-Batavia Raya yang mengajari para gelandangan cara-cara culas untuk menerbitkan rasa kasihan. Sementara itu, Mekhit ternyata berkomplot dengan Komisaris Polisi Kartasasmita (Joind Bayuwinanda), yang tutup mata dari segala kejahatan Mekhit dan kelompoknya. Yang baik dan buruk pun terjungkal. Hukum entah di mana dan entah berlaku untuk siapa.
Boleh dibilang pentas ini cukup pas sebagai perayaan ulang tahun. Musiknya gempita dan meriah. Set panggung karya Onny K. yang teramat megah (ada tiga kapal layar setinggi 15 meter di atas panggung yang bisa bergoyang!). Akting para pemain cukup baik dan membuat tertawa. Cornelia Agatha sebagai pelacur Yeyen dan Netta Kusumah Dewi cukup berhasil melantunkan nyanyian-nyanyian. Pemain muda Sekar Dewantari dan Naomi Lumban Gaol sebagai Lusi Kartamarma pun tampil menyegarkan. Di akhir adegan, Mekhit sudah dihadapkan ke tiang gantungan. Tali gantungan mengikat lehernya. Tapi akhirnya tak terjadi.
Semua berbalik merayakan Mekhit. Mekhit bebas. Ia tertawa senang. Semua berdansa. Termasuk para bandit, pelacur, dan polisi. Di tangan Teater Koma, satire tentang ketidakadilan, penyelewengan, korupsi diwujudkan dengan ceria. Kritik sosial begitu ringan dan menyenangkan.
MESKI Nano adalah otak kreatif di balik lakon Teater Koma, bisa dibilang Ratna Riantiarno adalah orang yang bisa membuat Teater Koma selalu tak pernah kehabisan "bensin". Ratna mengambil peran sebagai pemimpin produksi yang membangun sistem paguyuban teater ini hingga menjadi setertib dan sebesar sekarang. "Karena nama kami Koma, ada beban kalau berhenti berkarya," kata Ratna.
Hingga kini Teater Koma menjadi satu-satunya kelompok yang mampu menggelar dua pertunjukan rutin saban tahun, yakni awal tahun di Gedung Kesenian Jakarta dan akhir tahun di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Prestasi yang belum bisa disamai kelompok mana pun, termasuk yang lebih tua seperti Teater Populer dan Teater Mandiri. "Teater Koma mampu membina grup yang solid, menyayangi penonton, membuat pementasan terencana, dan paling beres organisasinya," ujar Putu Wijaya, pendiri Teater Mandiri.
Prinsip utama yang diterapkan Ratna untuk mewujudkan itu adalah membuat penonton merasa dekat dan memiliki Teater Koma. Sejak awal, ia selalu menyimpan rapi data semua penonton yang datang. Sebulan sebelum Teater Koma menggelar pentas, para penonton akan diberi tahu. Awalnya lewat kartu pos. Setelah lebih modern, metode menghubungi langsung penonton ini diganti dengan sms lalu e-mail. "Karena kami mendata, penonton merasa diperhatikan," ujar Ratna. "Malah ada yang bisa marah kalau tidak dapat kartu pos atau sms."
Penjualan tiket pun diladeni sendiri oleh para pemain Teater Koma di sanggar latihan yang dulu masih bertempat di rumah ayah Ratna di kawasan Setiabudi-kini di Bintaro. Saat penonton membeli tiket, mereka dapat langsung melihat latihan dan berkenalan dengan para pemain. "Kami akhirnya menjadi mitra dengan penonton," kata Ratna.
Kelompok penonton setia itulah yang terus dijaga. Ratna memastikan harga tiket tiap kali pertunjukan tak pernah berada di luar jangkauan penonton loyalnya. Bahkan, saat pentas di Ciputra Artpreneur, masih ada tiket yang dibanderol Rp 150 ribu. Biasanya pertunjukan di sana minimal dijual dengan harga tiket setengah juta rupiah.
Berbagai pelarangan yang mewarnai banyak pertunjukan Teater Koma pada zaman Orde Baru justru membuat ikatan dengan penonton semakin kuat. Saat Opera Kecoa dilarang pentas pada 1990 dengan kondisi tiket telah terjual habis, lebih dari setengah penonton justru menolak uang mereka dikembalikan.
Dengan para kru dan pemain, Nano dan Ratna menyepakati paguyuban sebagai bentuk organisasi Teater Koma. "Masuk Teater Koma tidak akan dikenai biaya tapi juga jangan mengharapkan mendapat uang yang besar," ujar Ratna.
Mulai 1990, Teater Koma mengadakan perekrutan anggota untuk dilatih rutin selama enam bulan. Setelah pelatihan, anggota baru dilibatkan dalam pentas. Siapa saja boleh mendaftar asalkan sudah tak lagi bersekolah. Sampai sekarang, sudah ada 12 angkatan walau tak banyak juga yang terus bertahan. "Dari 15 orang per angkatan, kadang sisanya hanya 5-6, bahkan ada yang cuma 1," kata Nano.
Dalam setiap produksi, rata-rata hampir seratus orang terlibat. Tak ada kontrak resmi yang mengikat. Pemain tetap boleh bekerja di tempat lain sembari berproses di Teater Koma. Namun mereka diharapkan berkomitmen untuk latihan sejak tiga bulan sebelum pentas. Ada 50-60 kali latihan untuk persiapan suatu lakon. Imbalannya tergantung total pendapatan dan besarnya dibedakan menurut senioritas dan lamanya mengabdi seorang pemain.
Dengan upah sekadarnya pun selalu ada pemain yang loyal dan bermain kembali di setiap produksi. Tak terkecuali aktor dan aktris yang sudah mapan di televisi, seperti Cornelia Agatha. Cornelia mengatakan dialah yang mengejar-ngejar agar dapat bergabung dengan Teater Koma. Dia sampai menolak tawaran akting di sinetron dan layar lebar, yang honornya jelas lebih besar, demi peran dalam lakon Teater Koma. "Saya merasa lebih kaya di panggung, yang tak bisa disandingkan dengan jumlah uang," ujarnya.
Budi Ros, yang bermain di Opera Ikan Asin pada 1999, kini juga kembali tampil. Dia tetap bertahan selama sekian tahun karena Teater Koma memungkinkannya untuk belajar dan menjadi apa pun. "Dari pemain, penata artistik, pemusik, semua bisa. Di sini saya menemukan diri saya," kata Budi.
Melihat kecintaan Budi pada teater, putrinya pun akhirnya ikut mengikuti jejak bapaknya. Sekar Dewantari, 21 tahun, berlatih di Teater Koma sejak kelas III sekolah menengah atas. Mahasiswa Universitas Indonesia itu telah ikut bermain dalam Ibu, Cangik, Semar Gugat, dan terakhir mendapat peran utama sebagai Poli Picum dalam Opera Ikan Asin. "Saya belajar disiplin dan kerja sama dengan orang-orang yang terasa akrab sekali walau tak berhubungan darah," ucap Sekar.
Rumah Nano dan Ratna di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, yang besar tapi sederhana itu adalah sanggar Teater Koma dan kini menjadi satu-satunya tempat penyimpanan segala arsip dan properti pertunjukan. Di salah satu ruangan terdapat deretan rak tinggi yang menyimpan berbagai dokumen pertunjukan, naskah, dan kliping berita tentang Teater Koma di media massa. Juga tersimpan foto-foto sejak pertunjukan pertama hingga terbaru.
Adapun lantai dua penuh sesak dengan kontainer plastik berisi rambut palsu, kostum, dan properti panggung hingga ke langit-langit. Ada label judul lakon di luar setiap kontainer. Ratna menyebut ada 250 kontainer berisi peralatan pentas yang tersimpan di sana. Sebagian bisa dipakai kembali saat ada pertunjukan baru.
Peralatan pentas begitu banyaknya karena Nano tipe orang yang sulit ditawar untuk urusan detail pertunjukan. Untuk pentas Opera Ikan Asin, misalnya, ia berkukuh agar sendok dan garpu di atas panggung harus terbuat dari suasa, sesuai dengan ciri peralatan makan pada zaman Belanda. "Susah sekali mencarinya. Akhirnya ketemu di toko barang antik di Jalan Surabaya," kata Nano.
Itu membuat Ratna kadang geleng-geleng kepala. Memang secara artistik properti tersebut dibutuhkan. "Tapi saya biasa mikir, habis itu mau dipakai apa, sih?" ucapnya, lalu tertawa.
Permintaan Nano paling tak masuk akal bagi Ratna saat pentas pada 1987. Nano ingin ada Gatotkaca terbang di atas panggung. Untuk adegan yang hanya berlangsung tiga menit itu, biaya yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 25 juta. "Kalau mahal banget, saya lempar ke forum. Suara mayoritas yang akan memutuskan," ujar Ratna. Usul Gatotkaca itu ditolak forum. Namun permintaan selanjutnya-angsa terbang yang bisa ditunggangi salah satu pemain-dapat diwujudkan dalam pentas Opera Primadona.
Nano masih punya banyak ide di kepala untuk lakon-lakon Teater Koma selanjutnya. Kisah wayang dan legenda dari Cina, misalnya, kata Nano, masih menyisakan banyak ruang untuk digali menjadi pentas. "Kalau umur Teater Koma sampai 50 tahun-mudah-mudahan-saya akan bikin sesuatu yang lebih besar," ujarnya.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Fakta Teater Koma1.
1. Telah naik pentas 1.632 kali.
2. Total yang menonton langsung pentas selama 40 tahun berdiri: lebih dari 500 ribu orang.
3. Harga tiket pertama saat pentas Rumah Kertas (1977): Rp 300.
4. Pertunjukan dengan durasi terpanjang adalah Sie Jin Kwie (2010), selama 265 menit.
5. Sejak 1977 sudah dilarang tampil sebanyak enam kali.
6. Pernah mendapat ancaman bom dua kali saat mementaskan Opera Kecoa (1985) dan Opera Primadona (2000).
7. Riantiarno pernah diinterogasi sebelum tampil sebanyak 15 kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo