Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Galih (Refal Hady), hidup bergerak seperti aliran lagu-lagu yang diputar dari kaset. Kadang-kadang kita harus mendengarkan lagu yang tidak disukai sebelum menemukan lagu yang bagus. Ratna (Sheryl Sheinafia) sebaliknya. Menggunakan metafora rekaman digital, menurut dia, hidup bakal lebih indah bila seseorang bisa "skip lagu-lagu yang jelek dan langsung mendengarkan lagu yang bagus".
Galih dan Ratna bersatu karena musik. Galih dibesarkan seorang ayah yang menghargai keindahan lagu-lagu masa lalu–yang terpancar dari toko kaset Nada Musik yang didirikannya–sedangkan Ratna adalah seorang yang berbakat musik yang diam-diam suka menulis lagu. Galih, yang selalu rindu kepada ayahnya yang sudah meninggal, bermimpi membangkitkan toko kaset yang hampir bangkrut. Suatu sore, sebuah walkman di pinggir lapangan sepak bola belakang sekolah mengawali kedekatan Galih dan Ratna.
Film Galih dan Ratna adalah interpretasi segar sutradara Lucky Kuswandi, yang terinspirasi dari novel Gita Cinta dari SMA karya Eddy D. Iskandar, yang diangkat sebagai film oleh Arizal pada 1978. Gita Cinta menjadi film pertama yang merepresentasikan kaum remaja saat itu, yang melejitkan nama Rano Karno dan Yessy Gusman sebagai pasangan remaja idola saat itu, semacam Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra untuk generasi tahun 2000-an.
Galih dan Ratna menggunakan plot besar yang sama dengan film pendahulunya tentang indahnya cinta pertama dua remaja yang berbeda kelas ekonomi, diselingi konflik dengan orang tua.
Sementara Rano Karno dan Yessy Gusman adalah pasangan Galih dan Ratna yang berboncengan dengan sepeda tua, Galih dan Ratna abad ke-21 menggunakan sepeda motor tua.
Sementara Galih dan Ratna versi 1978 tidak direstui orang tua karena soal suku dan ekonomi, Lucky lebih membuat konflik yang lebih modern: apa yang diinginkan anak untuk masa depan (belum tentu sama dengan keinginan orang tua).
Media sosial adalah bahasa baru dalam Galih dan Ratna abad ke-21. Mereka mencari tahu aktivitas satu sama lain melalui Twitter, dan kesalahpahaman bisa muncul karena paket data atau pulsa habis.
Lucky Kuswandi juga memotret generasi milenial yang narsisistik sekaligus kreatif dari sudut yang tepat. Dalam film ini, jumlah follower Instagram bakal menentukan status sosial seseorang di sekolah. Ratna dengan mudah masuk pergaulan di sekolah baru karena follower Instagram yang tinggi. Dalam film ini pula peluncuran ulang Nada Musik bisa begitu menggebrak lewat viral marketing.
Serangkaian karakter dalam film ini multikultural. Erlin dan Mimi, dua sahabat Ratna dalam film klasik itu, didesain ulang. Kini Erlin (Stella Lee) adalah beauty blogger dan Mimi (Rain Chudori) adalah remaja pemberontak yang gemar membuat petisi online. Persoalan kesetaraan LGBT juga disentil dengan cara yang subtil.
Lucky memang jago dalam urusan memotret kehidupan kaum urban. Lewat Madame X (2010) dan Selamat Pagi, Malam (2014), dia menampilkan refleksi kehidupan nyata dengan humor. Dalam film ini, humor itu dilekatkan di beberapa tempat dengan tepat. Sebagian terlontar lewat karakter guru moralis Pak Dedy dan abang sopir angkot. Joko Anwar dan Indra Birowo dengan segar memerankan dua karakter itu.
Di luar keduanya, pemilihan pemeran dalam film ini sangat baik. Semua pemeran, baik pemeran utama maupun pendukung-sebagian besar wajah baru-bermain sangat alami. Tengoklah bagaimana ekspresi Ratna yang kebingungan ketika hendak mencari pemutar kaset atau binar mata Galih saat menatap Ratna.
Catatan untuk film ini terletak pada kealpaan para pembuat film memberikan latar yang pantas bagi tokoh Tantri, tante Ratna. Tantri (Marissa Anita) hanya digambarkan sebagai tante yang selalu riang gembira, menetap di rumah besar, serta mendukung hubungan Galih dan Ratna. Mengapa dia hidup sendiri, apa pekerjaannya, atau sejumput kisah hidupnya tidak pernah diungkap.
Catatan lain terletak pada alur yang lambat pada 30 menit pertama. Lucky membangun latar dan tokoh sekaligus untuk kemudian mencapai konflik pada saat yang lama. Tapi, setelah konflik mencuat, persoalan itu menjadi sangat alami, tumbuh secara organik dari para karakter yang mewakili zamannya.
Dalam film ini, tokoh Galih dan Ratna menjalani proses pendewasaan diri dalam hubungan asmara mereka. Keduanya mengubah satu sama lain dan mengajarkan satu sama lain upaya meraih mimpi.
Generasi Babyboomers dan Generasi X bisa bernostalgia lewat film ini. Cameo dari Rano Karno dan Yessy Gusman-dua bintang dalam film lama-dan aransemen baru lagu tema lama membuat film ini terasa gurih. Bagi generasi Y atau Millennials, film ini adalah tentang mereka, tentang cinta, pencarian jati diri, dan menemukan mimpi.
AMANDRA M. MEGARANI
Galih & Ratna
Sutradara: Lucky Kuswandi
Skenario: Lucky Kuswandi dan Fathan Todjon
Pemain: Refal Hady, Sheryl Sheinafia, Stella Lee, Rain Chudori, Agra Piliang, Joko Anwar, Ayu Dyah Pasha, Marissa Anita, Hengky Tornado, Sari Koeswoyo, dan Indra Birowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo