JIKA suatu ketika Anda melihat sepotong kecil karpet bertengger di jas yang sedang dikenakan seseorang, jangan buru- buru membantu membersihkan ''sampah'' itu. Bisa jadi itu sebuah perhiasan yang sengaja dipakai -- seperti layaknya bros atau pin. Pengertian perhiasan pada benak kita perlu dievaluasi. Lebih- lebih setelah melihat pameran perhiasan masa kini dari Jerman, yang diadakan oleh Goethe Institut (19 -26 November) di Jakarta Design Center. Selain bros ''potongan karpet'' tadi, ada seuntai kalung dari rangkaian benang kawat dengan manik-manik dari berbagai bahan dan bentuk, yang dalam penyusunan komposisi manik-maniknya melibatkan partisipasi pemakai. Kemudian ada cincin segi empat menyerupai sangkar burung dari bahan baja murni, ada jepitan telinga yang anatomis dari perak, bros dengan bahan kayu lapis dengan bentuk semacam miniatur ''alat tenun bukan mesin''. Biasanya, perhiasan hadir sebagai barang yang menampilkan keanggunan yang dibentuk melalui perpaduan garis dan bidang dari aneka bahan ''mulia'' seperti perak, emas, dan baja. Kini, tampil dalam ''kesembronoannya yang bebas'', tidak terikat bentuk-bentuk formal, dengan bahan seadanya seperti karpet, kayu, kayu lapis, kertas dinding. Dan tidak menggambarkan suatu apa, hanya ungkapan dinamisme ''abstrak''. Perhiasan masa kini, sejalan dengan perkembangan seni rupa, mengalami apa yang sering disebut pluralisme. Di sini, makna yang terkandung dalam kata ''perhiasan'' mengalami penjabaran yang makin luas dan demokratis. Dan dalam pameran ini, kecenderungan itu sangat tampak, yaitu dengan mencoba membongkar pengertian perhiasan melalui kesadaran baru akan falsafah, bentuk, maupun bahan-bahan remeh bukan mulia. Di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, kesadaran baru dalam memahami perhiasan sebagai ekspresi individual sudah bisa diamati sejak tahun 1960-an, berbarengan dengan merebaknya aliran pop art dalam khazanah seni rupa. Hanya saja, hal itu baru berkembang pesat setelah memasuki tahun 1970-an. Munculnya kesadaran baru ini terutama berjangkit pada perupa akademis, yang mempunyai tradisi mengkaji secara kritis sejarah perkembangan masyarakatdan hasil kebudayaannya dari segala segi, seperti bentuk dan isi, adanya hubungan bentuk dan bahan melalui penelitian, dan percobaan teknik. Menilik aneka ragam bentuk dan isi segala jenis perhiasan dari Jerman yang dipamerkan, hampir dapat dikatakan bentuk- bentuk geometri dan konstruktif merupakan ciri yang menonjol. Lihatlah gelang, kalung, bros yang liris geometris (karya Georg Dobler dan Hermann Junger). Ada bros, giwang yang kukuh dan padat (Gabriele Dziuba). Ada bros dan kalung yang angker dan tajam (Therese Hilbert). Ada bros dengan bentuk-bentuk sederhana dan warna-warna manis (Otto Kunzli). Ada cincin, bros, dengan bentuk arsitektural (Wilhem Mattar). Yang sedikit keluar dari ciri-ciri geometri-konstruksi adalah karya Ulrich Teige, yang menampilkan ragam bros dengan bentuk pipih dan ilustratif: sosok petinju yang sedang melawan kanguru, atau gambar mainan kereta luncur, serta gambar sosok orang yang sedang main api dengan bahan pelat baja, enamel, dan tembaga. Karya Klaus Arck dengan bahan ''seadanya'' seperti karpet, kayu lapis, senar, memberikan sentuhan yang amat personal dan orisinal. Sebuah potongan karpet telanjang di atas kayu lapis 10 x 6 sentimeter, yang dijepit oleh senar di kanan kiri pada bidang permukaannya. Juga bros lainnya yang berbentuk huruf O atau ''alat tenun bukan mesin''-nya dengan bahan kayu lapis serta tali nilon, menunjukkan kecermatan tinggi serta unik. Memilih sebuah perhiasan tidak tergantung sekadar bentuk visual. Banyak aspek yang harus dilihat, selain dapat mempengaruhi gerak tubuh pemakainya, bentuk maupun bahan suatu perhiasan menuntut tipe perilaku tertentu dari pemakainya. Karena itu, perhiasan sering ''dibaca'' oleh masyarakat sebagai cerminan kepribadian pemakainya. Sebagai karya seni pakai atau desain, perhiasan yang dipamerkan ini memang menampilkan gejala menarik: kesimpulan eksplorasi pada bentuk. Bahan yang digunakan tahun-tahun terakhir ini, baik di Eropa maupun Amerika, menggeser batasan seni dan desain dalam seni rupa menjadi sangat kabur. Mereka tidak lagi mengutamakan unsur-unsur sebagaimana yang ada pada karya desain, yaitu fungsional, efektif, efisien, nyaman, tapi lebih mengutamakan ekspresi pribadi perupanya. Pameran perhiasan kontemporer Jerman ini mestinya merangsang kita untuk lebih menggali dan mengeksplorasi kekayaan dari tradisi kerajinan kita. S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini