Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

MUI dan Konservatisme Islam

Fatwa Majelis Ulama Indonesia kerap kali menyuburkan konservatisme Islam. Bagaimana MUI menanggapinya?

7 Februari 2025 | 15.00 WIB

Koordinator Tim Advokasi Pandangan dan Sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ahmad Yani (tengah), dalam pertemuan advokasi Al Quran dan Negara Kesatuan Republik Indonesia di gedung MUI, Jakarta, 14 November 2016. Tim advokasi menyatakan siap mengawal sikap keagaamaan MUI terkait dengan kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Tempo/Imam Sukamto
Perbesar
Koordinator Tim Advokasi Pandangan dan Sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ahmad Yani (tengah), dalam pertemuan advokasi Al Quran dan Negara Kesatuan Republik Indonesia di gedung MUI, Jakarta, 14 November 2016. Tim advokasi menyatakan siap mengawal sikap keagaamaan MUI terkait dengan kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Tempo/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Fatwa Majelis Ulama Indonesia berulang kali dianggap menyuburkan konservatisme Islam, alih-alih menumbuhkan Islam moderat.

  • Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Sudarnoto Abdul Hakim menilai konservatisme merupakan istilah yang bisa diperdebatkan dan tidak selalu berarti negatif.

  • Paham yang ditolak MUI adalah ekstremisme Islam, dan mereka mengklaim telah meredamnya.

TIDAK satu-dua kali eksistensi Majelis Ulama Indonesia dipertanyakan. Apakah lembaga yang mewadahi ulama dan cendekiawan Islam ini membimbing masyarakat atau menyebabkan perpecahan? Pertanyaan itu dilontarkan Maskur Rosyid, dosen Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Jawa Tengah, dalam tulisannya di The Conversation Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Keresahan tersebut muncul setelah banyak fatwa, juga pernyataan pengurus MUI, yang dapat merusak pluralisme di Indonesia. Dari fatwa yang mengharamkan paham pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme; fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah; larangan bagi orang Islam mengucapkan selamat Natal dan menggunakan atributnya; hingga imbauan agar warung makan tutup pada siang hari selama Ramadan. Menurut Maskur, MUI yang seharusnya berperan sebagai pembimbing justru menunjukkan sikap konservatif dan radikal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ada juga kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Gubernur DKI Jakarta 2014-2017 ini dipenjara dengan tuduhan penodaan agama Islam setelah dia menyitir Surat Al-Maidah ayat 51. Saat itu MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernyataan Ahok menghina Al-Quran dan/atau menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum. Fatwa tersebut memicu gelombang unjuk rasa besar yang dikenal dengan Aksi Bela Islam 212.

Pertemuan advokasi Al Quran dan Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenai kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, di gedung MUI, Jakarta, 14 November 2016. Tempo/Imam Sukamto

Sejumlah cendekiawan menyebut problem ini sebagai gugurnya paham Islam moderat seperti yang digaungkan pejabat negara. "Digantikan Islam konservatif atau intoleran, bahkan radikal," demikian ditulis Zainal Abidin Bagir, dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, dalam tulisannya yang berjudul "Konservatisme Agama dan Demokrasi" di majalah Tempo edisi 19 Juni 2017.

Konservatisme berasal dari kata "konservatif". Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai kolot, kuno, dan tua. Konservatisme Islam berarti paham yang mempertahankan ajaran agama secara mutlak dan menolak unsur kebaruan.

Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan konservatisme merupakan istilah yang sifatnya dapat diperdebatkan. Jika konservatif diartikan sebagai menjaga kemurnian agama, itu tidak salah. "Yang salah adalah melebih-lebihkan, mengurangi, dan meremehkan ajaran agama, serta menggunakan agama untuk kepentingan tertentu," kata Sudarnoto di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta Timur, Senin, 3 Februari 2025.

Sudarnoto menyatakan MUI berperan meredam konservatisme Islam dalam arti negatif. Sebab, organisasi ini mengusung Islam moderat atau Islam wasatiah. MUI, dia melanjutkan, didukung oleh 63 organisasi Islam moderat sejak berdiri pada 1975. Mereka berpegang pada prinsip ukhuwah Islamiyah atau membangun persaudaraan umat Islam dan hikmatul wathan atau kebijaksanaan tanah air. "Sehingga kita bersama-sama menjaga keutuhan negara dan bangsa," ujar guru besar sejarah dan peradaban Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, Banten, tersebut.

Guru besar ilmu sejarah dan peradaban Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sudarnoto Abdul Hakim, di Jakarta, 3 Februari 2025. Tempo/Ihsan Reliubun

Penulis buku MUI di Tengah Pusaran Krisis Kemanusiaan Global dan Islamofobia itu menyatakan MUI menolak ekstremisme Islam. "Ekstremisme menganggap dirinya paling benar, sementara yang lain salah," ucapnya. "Itu kami luruskan."

Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan mengatakan konservatisme merupakan filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Untuk hal tertentu, dia melanjutkan, konservatisme perlu dilestarikan, misalnya dalam kaidah fikih atau hukum syariat serta kewajiban menjaga kerukunan dan perdamaian. "Ini harus terus kita pelihara," katanya.

Amirsyah tidak merespons pertanyaan soal fatwa MUI dalam kasus Ahok dan merebaknya konservatisme Islam. Menurut dia, MUI berperan mencegah konservatisme Islam lewat jalur dakwah. "Dengan moto mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, serta memberi solusi bukan hanya simpati," kata Wakil Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Pengurus Pusat Muhammadiyah itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ihsan Reliubun

Ihsan Reliubun

Menjadi wartawan Tempo sejak 2022. Meliput isu seni dan budaya hingga kriminalitas. Lulusan jurnalistik di Institut Agama Islam Negeri Ambon. Alumni pers mahasiswa "Lintas"

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus