"UNISON" gubahan Cal Tjader , yang biasa melekat di lagu Bye Bye Blues menyeruak, mengakhiri dialog perkusi. Kompak. Setelah dua kali mcngulang baru mereka kembali ke tema, Menteca, lagu bikinan sendiri. Itulah kelompok Indonesia 6 ketika muncul Sabtu malam tiga pekan lalu di layar TVRI. Akhir tahun kemarin, dua gelar mereka boyong dari Band Explosion '87 festival yang setara dengan World Pop Song Festival yang kondang. Saingan mereka tak kepalang. Dua gelar dari Tokyo itu untuk pemain bas dan keyboard terbaik. Festival diikuti 22 kelompok dari 11 ncgara. Wakil Asia yang layak cuma Indonesia dan Hong Kong, selain Jepang yang tuan rumah. Kelompok itu hasil seleksi dari 6.500 band di seluruh Jepang dan 5.500 dipilih di negara masing-masing. "Saingan kami ada yang berumur 40," kata Hentriesa Yulmedia 25 tahun, pemain drum. Sedang Indonesia 6 rata-rata baru dua puluh. Bahkan Yanni Danuwidjaya, yang merebut gelar keyboard terbaik, belum 16 tahun. Deassy Arlan Lahat, pemain bas terbaik, baru 21 tahun. Sementara itu, Iwan Miradz, pemukul perkusi, 23 tahun. Booby, 22 tahun, dan Yovie Widianto, 19 tahun -- keduanya pemain keyboard. Kelompok ini terbentuk 1984. "Dulu namanya Kahitna," kata Deassy. Semua anggota Kahitna belajar di Elfa Music Studio, Bandung. Saat itu, Yanni belum bergabung bersama mereka. Baru menjelang pcrtengahan tahun lalu mereka bertemu. "Pas ketika pemain gitar kami nggak ada," cerita Deassy. Kemudian Yanni memperkuat barisan Kahitna. Karena hendak ikut Light Music Contest - yang menjadi ajang seleksi sebelum ke Jepang mereka sepakat mengubah nama menjadi Indoncsia 6. "Kami 'kan berenam," ujar Hentriesa. Usia yang sebaya akhirnya juga berpengaruh pada warna musik yang mereka bilang sebagai Latin jazz. Beda dengan "Latin jazz tradisional" hanya sedikit. "Ya, ada warna musik kelompok Casiopca, Spyrogyra, Level 42. Pokoknya, yang disenangi anak-anak muda," kata Hentriesa. Mereka memang sedang mencari bentuk. Masuknya warna Casiopea dan sejenis ini memang sedang trend di kalangan anak muda. Dan itu membuat musik Indonesia 6 menjadi adonan fusion yang kental. Ada pula nada etnik Indonesia mewarnai komposisi mereka. "Ini porsi untuk ke luar negeri," kata Elfa Secioria, musikus yang jadi pengarah kelompok ini. Mereka tak mengalami kesulitan, karena Yanni punya banyak lagu yang diselipi nada macam begitu. Yanni sudah sejak 1979 tampil lewat Junior Original Concert - konser anak-anak berbakat dari seluruh dunia, di Tokyo. Banyak lagunya yang dibikin khusus untuk JOC. Yanni sejak usia 5 tahun memainkan Keroncong Kemayoran dengan electone, lengkap dengan bas yang dimainkan dengan kakinya. "Dia tak ada yang mau ngajarin," cerita Nyonya Danuwidaya, ibu Yanni. Kemudian Yanni mengikuti kursus musik untuk anak-anak. Tak lama. Lalu ia jadi langganan JOC dan pernah bermain untuk Unicef di Tokyo dan Osaka, tiga tahun lalu. Cuma anak Jepang, Jerman, dan Indonesia layak tampil dalam konser akbar itu. Konser besar yang lain adalah konser di gedung PBB, New York. Ia bersama dua teman dari Indonesia, Stephen dan Andy, membawakan lagu Phinisi Nusantara ciptaan Andy. Ia memang belajar sendiri lalu tidak sampai setahun belajar pada Jazeed Jamin. Tetapi karena pendidikannya dalam musik klasik, Yanni agak sulit dengan jazz. Tapi ia banyak dibantu Tamam Hussein. "Supaya feeling jazznya masuk," ujar Yanni. "Komposisi saya untuk JOC bukan klasik, bisa dibilang kontemporer," begitu ia menjelaskan. Mulai dengan kelompok Warimo, 1985, ia sekarang makin betah bermain dengan jazz. Bahkan meski ada warna Casiopea dan etnik Indonesia, kecenderungan Indonesia 6 tetap kuat pada Latin jazz yang mengedepankan variasi perkusi. Apalagi ada Iwan Miradz, yang, menurut Elfa, jempolan saat ini di Indonesia - baik dalam teknik maupun kreativitas "Sayang, di festival tak ada gelar pemain perkusi terbaik," kata Hentriesa. Lagu yang membawa mereka meraih dua gelar di Tokyo berjudul All the Thing's You Are, yang dimainkan dalam irama samba, kaya improvisasi, berbau Latin yang keras. Arkian, teknik mereka juga alhamdulillah. Latin jazz yang mereka mainkan pekat dengan warna fusion. Banyak break dan unison, yang selain rumit juga memerlukan kekompakan dan dengan mulus menguasai alatnya. Tetapi mereka masih amatir. "Harus-mikir sekolah lagi," kata Yanni, juara III di kelasnya, SMA Marsudirini. Demikian pula Deassy, yang ingin jadi sarjana ekonomi. Yang lain juga masih kuliah. Cuma Hentriesa yang mantap. "Saya pilih musik daripada kuliah," katanya tegas. Sekarang, yang bisa ditunggu dari mereka segera beredarnya Album Indonesia 6. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini