Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mikke Susanto*
BELUM "kering" benar masalah dan kehebohan isu koleksi palsu di Museum Oei Hong Djien, Magelang, kini, bulan pertama 2013 ini, seni rupa Indonesia kembali dikejutkan oleh hilangnya 141 lukisan karya Widayat dari museumnya di Magelang. Sebanyak 37 lukisan memang telah dikembalikan oleh yang mengambilnya (dua anak Widayat), tapi berita pengembalian ini tidak mengurangi persoalan yang terjadi setelahnya.
Dalam konteks lokal, akibat dua peristiwa beruntun ini, Kota Magelang menjadi sorotan. Terjadinya dua peristiwa ini semakin menajamkan persoalan edukasi dan rekreasi publik pada dua museum besar seni rupa di kota itu. Tapi, bagi saya, peristiwa yang terjadi pada Museum Oei Hong Djien dan Museum Haji Widayat memberi efek yang lebih besar.
Peristiwa ini akan semakin menohok posisi Indonesia di mata internasional. Negeri ini akan dipandang tidak memiliki intensi yang serius terhadap benda dan harta karun nasional. Bukan tidak mungkin benda-benda berharga Widayat ini akan menjadi penghuni museum di negara lain di masa depan.
Pada titik ini secara khusus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (lebih khusus lagi melalui Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), sebagai lembaga pembinaan seni rupa di Indonesia, selalu terlambat mengambil respons. Lembaga negara ini bisa dikatakan tidak peduli terhadap penyelesaian perkara tersebut.
Persoalan undang-undang museum, yang di dalamnya berisi izin pendirian museum, kuratorial, standardisasi keamanan, dan persoalan profesionalitas pengelola, saja sampai kini belum dikelola. Republik ini hanya memiliki dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan hal tersebut tidak mencukupi. Jadi, persoalan museum di Indonesia sama gelapnya dengan "pasar gelap" lukisan.
Tidak salah bila museum di negeri ini bisa menjadi instrumen pasar gelap benda seni dibanding menjadi penerang dan broker kebudayaan yang berfaedah bagi publik. Apalagi bila pengelola museum adalah pihak keluarga, kemungkinan besar museum semacam ini akan selalu rawan masalah.
Terbukti sejumlah museum di Indonesia yang dikelola keluarga selalu terjangkiti masalah, misalnya pembiayaan operasional, persoalan penurunan citra dan "penggembosan" koleksi, serta tuduhan pemalsuan. Mungkin hanya Museum Basoeki Abdullah di Jakarta yang cukup bertahan, karena oleh empunya dihibahkan dan dirawat oleh negara.
Rata-rata kasus hilangnya koleksi sangat terkait dengan Âproblem internal, profesionalitas, mental pengelola, dan keamanan museum yang kurang maksimal. Tidak kembalinya koleksi museum juga bisa menyebabkan lahirnya benda-benda tiruannya.
Selama ini Galeri Nasional atau Museum Nasional Indonesia belum pernah dipercaya memamerkan karya seni kelas dunia. Justru negara tetangga, seperti Jepang, Cina, dan Singapura, yang sering beruntung.
Saya melihat peristiwa yang terjadi pada dua museum di Magelang itu akan semakin menjauhkan Indonesia dari forum internasional atau kunjungan benda berharga koleksi penting di dunia, yang mungkin mampir dan disajikan di Indonesia.
*) Kurator dan Staf Pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo