Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Himbauan Mencari Dasar

Seminar yang mencoba mencari permasalahan dasar pendidikan, diselenggarakan lembaga pengkajian kebudayaan sarjanawiyata taman siswa & satuan tugas pembaharuan sistim pendidikan nasional dep. p & k.(pdk)

11 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOSEN IKIP itu, yang pernah menjadi guru di beberapa pelosok, kemudian menceritakan pengalamannya. Pertengahan 70-an ia mengajar di sebuah pulau di ujung tenggara negeri ini. Dalam masyarakat yang hampir semua penduduknya nelayan dan pemangkur sagu itu, berdiri dua SMA -- dan dia mengajar di salah satunya. Suatu hari, selagi ia bertugas, hujan lebat disertai angin kencang menimpa pulau. Atap rumbia sekolah ambruk -- guru dan murid basah kuyup. Dan tentu saja pelajaran dihentikan. Tapi anak-anak senang. Mereka tertawa. Sementara pak guru kita ini menangis -- dalam hati, tapi. Mengapa anak-anak ini harus belajar rumus ilmu pasti, yang tak langsung bermanfaat bagi hidup mereka? Mengapa justru tak diajar nnenangkap ikan atau bertani? Seolah belajar hidup secara nyata tak penting dibanding tahu materi kurikulum ! Demikian ia merenung. Kisah itu diceritakan Drs. T. Hermaya SY, Dosen IKIP Sanata Dharma Yogya -- dalam satu seminar dua hari pada akhir bulan lalu di Yogya pula. Seminar itu membicarakan alam pikiran pendidikan dewasa ini. Diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Kebudayaan Sarjanawiyata Taman Siswa dan Satuan Tugas Pembaruan Sistem Pendidikan Nasional Departemen P&K. Pak guru kita, seorang dari sembilan pembicara, agaknya menanyakan hal yang sangat mendasar. Tanpa dasar yang tegas, katanya, masyarakat akan terjebak dalam ritualisme hanya meneruskan suatu sistem tanpa tahu lagi untuk apa sistem itu. Pendekatan Situasional Masalah ini dipersoalkan pula oleh Drs. Antun Suhono, pembicara yang lain. Dengan mengutip penulis dan ahli ekonomi Inggris John Vaizey, ia mempersoalkan misi pendidikan. "Apakah tekanan diletakkan pada kepribadian, apakah pada pengadaan tenaga kerja yang baik untuk bidang ekonomi dan jasa, apakah pada kemasakan pikiran saja." Itu soalnya. Dari seminar yang dihadiri 30-an tokoh pendidikan dari Jakarta, Malang, Salatiga, Bandung, Surabaya, Sala dan Yogya itu, memang teringat kembali satu hal: bahwa 'pendirian pendidikan' itu susah dirumuskan dari sistem yang kini berjalan. Di samping itu konsep KPPN (Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional) yang diserahkan kepada Departemen P&K Maret tahun lalu pun, tidak terlalu menjelaskan hal itu. Hermaya bahkan mengkhawatirkan konsep tersebut. Sebab, baginya, konsep tersebut terlalu menekankan standarisasi jenjang dan kurikulum. "Pendekatan seperti itu cenderung meninggalkan pendekatan situasional," tulisnya. Akibatnya, bila dilaksanakan secara ketat, "mereka yang di lapangan tidak cukup punya wewenang menerapkan interpretasinya secara luwes." Dan contohnya adalah pengalaman Hermaya di muka. Kekaburan pendirian itulah, menurut dia, yang membawa pendidikan cenderung menjadi semacam industri massal. "Asal ada guru, gedung, dana dan fasilitas lain, beres sudah," kata Hermaya. Bersekolah pun berubah maknanya: dari kebutuhan untuk belajar, menjadi kebutuhan untuk berstatus murid -- sukur-sukur murid sebuah sekolah yang populer. Bersekolah adalah gengsi. Gengsi dong . . . Bagian Hidup Sejumlah cetusan pikiran dari seminar ini memang akan diserahkan kepada Departemen P&K. Siapa tahu, kalau disetujui, bisa melengkapi konsep KPPN. Hanya saja, seminar tak mencoba mencari perumusan yang jelas. Bahkan soal pelajaran agama (disampaikan oleh Drs. Soeroyo dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogya), lebih banyak membicarakan apakah agama itu. Hanya disinggung hal yang pernah dikatakan bekas menteri agama Prof. Dr. Mukti Ali: dalam pengajaran yang menekankan intelektualisme, perlu dimasukkan pengajaran agama. Dan sebaliknya. Tidak ada pembicaraan misalnya sistem "belajar hidup" model pesantren (klasik), yang siapa tahu sebuah alternatif. Yang samar-samar menyuguhkan konsep semacam itu adalah wakil Taman Siswa, Ki Hariyadi. Sistem dasar yang disebut Tripusat (pendidikan dalam keluarga, masyarakat dan sekolah), yang dirumuskan oleh pendiri Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara, agaknya yang dijagokan Taman Siswa. Pendidikan dalam ketiga lingkungan itu memang disebut-sebut dalam konsep KPPN. Bedanya, Taman Siswa menekankan bahwa ketiganya harus harmonis. Kalau tidak, "jalannya pendidikan tak akan sebaik yang kita harapkan," kata Hariyadi pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus