DOSEN IKIP itu, yang pernah menjadi guru di beberapa pelosok,
kemudian menceritakan pengalamannya.
Pertengahan 70-an ia mengajar di sebuah pulau di ujung tenggara
negeri ini. Dalam masyarakat yang hampir semua penduduknya
nelayan dan pemangkur sagu itu, berdiri dua SMA -- dan dia
mengajar di salah satunya. Suatu hari, selagi ia bertugas, hujan
lebat disertai angin kencang menimpa pulau. Atap rumbia sekolah
ambruk -- guru dan murid basah kuyup. Dan tentu saja pelajaran
dihentikan.
Tapi anak-anak senang. Mereka tertawa. Sementara pak guru kita
ini menangis -- dalam hati, tapi. Mengapa anak-anak ini harus
belajar rumus ilmu pasti, yang tak langsung bermanfaat bagi
hidup mereka? Mengapa justru tak diajar nnenangkap ikan atau
bertani? Seolah belajar hidup secara nyata tak penting dibanding
tahu materi kurikulum ! Demikian ia merenung.
Kisah itu diceritakan Drs. T. Hermaya SY, Dosen IKIP Sanata
Dharma Yogya -- dalam satu seminar dua hari pada akhir bulan
lalu di Yogya pula. Seminar itu membicarakan alam pikiran
pendidikan dewasa ini. Diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Sarjanawiyata Taman Siswa dan Satuan Tugas Pembaruan
Sistem Pendidikan Nasional Departemen P&K.
Pak guru kita, seorang dari sembilan pembicara, agaknya
menanyakan hal yang sangat mendasar. Tanpa dasar yang tegas,
katanya, masyarakat akan terjebak dalam ritualisme hanya
meneruskan suatu sistem tanpa tahu lagi untuk apa sistem itu.
Pendekatan Situasional
Masalah ini dipersoalkan pula oleh Drs. Antun Suhono, pembicara
yang lain. Dengan mengutip penulis dan ahli ekonomi Inggris John
Vaizey, ia mempersoalkan misi pendidikan. "Apakah tekanan
diletakkan pada kepribadian, apakah pada pengadaan tenaga kerja
yang baik untuk bidang ekonomi dan jasa, apakah pada kemasakan
pikiran saja." Itu soalnya.
Dari seminar yang dihadiri 30-an tokoh pendidikan dari Jakarta,
Malang, Salatiga, Bandung, Surabaya, Sala dan Yogya itu, memang
teringat kembali satu hal: bahwa 'pendirian pendidikan' itu
susah dirumuskan dari sistem yang kini berjalan. Di samping itu
konsep KPPN (Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional) yang
diserahkan kepada Departemen P&K Maret tahun lalu pun, tidak
terlalu menjelaskan hal itu. Hermaya bahkan mengkhawatirkan
konsep tersebut.
Sebab, baginya, konsep tersebut terlalu menekankan standarisasi
jenjang dan kurikulum. "Pendekatan seperti itu cenderung
meninggalkan pendekatan situasional," tulisnya. Akibatnya, bila
dilaksanakan secara ketat, "mereka yang di lapangan tidak cukup
punya wewenang menerapkan interpretasinya secara luwes." Dan
contohnya adalah pengalaman Hermaya di muka.
Kekaburan pendirian itulah, menurut dia, yang membawa pendidikan
cenderung menjadi semacam industri massal. "Asal ada guru,
gedung, dana dan fasilitas lain, beres sudah," kata Hermaya.
Bersekolah pun berubah maknanya: dari kebutuhan untuk belajar,
menjadi kebutuhan untuk berstatus murid -- sukur-sukur murid
sebuah sekolah yang populer. Bersekolah adalah gengsi. Gengsi
dong . . .
Bagian Hidup
Sejumlah cetusan pikiran dari seminar ini memang akan diserahkan
kepada Departemen P&K. Siapa tahu, kalau disetujui, bisa
melengkapi konsep KPPN.
Hanya saja, seminar tak mencoba mencari perumusan yang jelas.
Bahkan soal pelajaran agama (disampaikan oleh Drs. Soeroyo dari
IAIN Sunan Kalijaga, Yogya), lebih banyak membicarakan apakah
agama itu. Hanya disinggung hal yang pernah dikatakan bekas
menteri agama Prof. Dr. Mukti Ali: dalam pengajaran yang
menekankan intelektualisme, perlu dimasukkan pengajaran agama.
Dan sebaliknya. Tidak ada pembicaraan misalnya sistem "belajar
hidup" model pesantren (klasik), yang siapa tahu sebuah
alternatif.
Yang samar-samar menyuguhkan konsep semacam itu adalah wakil
Taman Siswa, Ki Hariyadi. Sistem dasar yang disebut Tripusat
(pendidikan dalam keluarga, masyarakat dan sekolah), yang
dirumuskan oleh pendiri Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara, agaknya
yang dijagokan Taman Siswa.
Pendidikan dalam ketiga lingkungan itu memang disebut-sebut
dalam konsep KPPN. Bedanya, Taman Siswa menekankan bahwa
ketiganya harus harmonis. Kalau tidak, "jalannya pendidikan tak
akan sebaik yang kita harapkan," kata Hariyadi pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini