Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dengan muka berseri-seri Cristofon Carlos Nahak menunjukkan tas dari kain tenun yang dibawanya. “Tas tenun ini hasil karya para narapidana,” kata Cristofon, 25 tahun, di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tengggara Timur, Kamis, 11 Oktober 2018. Tas tenun bertali selempang itu berbahan kain dan potongan map plastik ukuran besar yang keras sehingga muat untuk menampung ponsel, dompet, buku, dan makanan ringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ito panggilan akrabnya, baru sepuluh bulan ini ia melibatkan para warga binaan Lapas 2 B Atambua untuk membuat kerajinan tas dan kain tenun. “Semua berawal sejak saya mengikuti misa Natal 2017 di gereja di Lapas menemani mama yang bekerja di sana,” kata peserta Komunitas Kreatif Bekraf – Tempo Institute atau Kombet Kreatif di Belu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kombet Kreatif adalah pendampingan kepada para pelaku usaha dan komunitas ekonomi kreatif yang diadakan Tempo Institute dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Selama tiga hari, para peserta mendapatkan pendampingan tentang bagaimana cara membranding produk, berjejaring, dan belajar membuat storytelling untuk menambah nilai produk ekonomi kreatif mereka.
Ito menjelaskan, sebenarnya mamanya kerap membawa kain tenun dari penjara yang dibuat para warga binaan. “Di dalam penjara ada alat keterampilan seperti untuk menenun dan menjahit yang memang dipakai para napi itu belajar,” katanya.
Saat bertemu pada misa Natal itulah, ia berkesempatan mendengarkan keluh kesah mereka. “Ada yang curhat sudah dibuang keluarga, gak pernah ditengok, sampai kebingungan mau bekerja apa kalau keluar penjara.”
Secara kebetulan, tak lama setelah pertemuan di akhir tahun itu, seorang kawannya datang dari Jakarta. “Tiba-tiba terpikir saja kenapa saya gak memesan mereka untuk membuatkan oleh-oleh dari kain tenun untuk kawan saya ini.
Dari membuat satu tas, Ito merasakan bungah lantaran temannya mengagumi hasil karya para narapidana itu. Ia dan mamanya kembali ke penjara dan melontarkan ide kepada para narapidana untuk membuat barang-barang kerajinan dari tenun.
Hampir setiap pekan, ia berkunjung ke Lapas untuk memberikan bahan-bahan seperti benang, map, lem, dan alat-alat jahit. “Yang perempuan melilit benang, menenun dan narapidana laki-laki membuat model tas.” Ada delapan narapidana perempuan dan empat napi laki-laki yang mengerjakan pesanannya. “Narapidana lain mengerjakan pesanan sipir,” kata Ito.
Dalam sepekan, mereka bisa menghasilkan tiga kain ukuran dua meter dan sepuluh tas. Itolah yang bertugas menjual hasil karya mereka. Hasil penjualan itu, kata Ito, digunakan untuk membeli bahan lagi dan memberikan uang saku mereka. “Saya hanya mengambil Rp 5.000 dari tiap orang untuk ongkos transport belanja dan berkunjung karena niatnya memang membantu mereka.”
Para narapidana itu, menurut Ito, beroleh uang saku Rp 300 ribu per bulan dari keringat mereka sendiri. Dari uang itu, Ito dan mamanya membelanjakan kebutuhan sehari-hari mereka di luar makanan. Sisanya, Rp 50 ribu dikembalikan kepada mereka. “Aturan di lapas, mereka hanya dibolehkan memegang Rp 50 ribu maksimal,” tuturnya.
Menurut Ito, lantaran masih merintis, usahanya belum berkembang. Ia berencana membuat komunitas dengan melibatkan lebih banyak lagi para narapidana. Dengan berbekal ilmu dari Kombet Kreatif yang diperolehnya, ia akan mempraktikkan dengan membranding hasil karya narapidana itu, berjejaring dengan komunitas ekonomi kreatif lain, dan membuat storytelling yang bisa memberikan nilai tambah produk itu. “Motivasi terbesarku, mereka tidak dipandang sebelah mata lagi.”