Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari Toko Buku Hingga Layar Kaca

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Chicklit dan teenlit adalah cerita tentang keajaiban di pasar buku. Tentang sebuah novel dengan judul berbahasa Inggris, Nothing But Love—diindonesiakan menjadi Semata Cinta—yang meledak. Novel yang langsung ludes dalam dua minggu setelah dicetak 3000 eksemplar.

Itulah yang terjadi pada Juli 2004. Penyair Sitok Srengenge, pendiri penerbitan KataKita, tertegun, lebih-lebih penulis novel itu adalah putrinya sendiri. Namun, sukses Nothing But Love memantapkan hatinya untuk menerbitkan buku selanjutnya. Teenlit kedua berjudul Conchita, Pembajak Cinta. Bukan karya Laire, putri tunggalnya.

Penulisnya seorang lelaki yang tak muda lagi, kelahiran 1965. Awalnya Sitok ragu menerbitkannya. Namun, suatu ketika Laire tanpa sengaja membacanya dan ia terbahak-bahak. Kebetulan ceritanya lucu, tentang Conchita, cewek SMA yang berkenalan dengan seorang cowok setelah Conchita membajak sebuah bus Kopaja. Laire langsung meminta ayahnya untuk menerbitkannya.

Insting Laire cukup tajam. Meski tak selaris bukunya, Conchita telah dua kali cetak ulang. Kini, Sitok telah menerbitkan lima teenlit. Memang tak sebanyak buku-buku sastra yang diterbitkannya—mencapai 14 buah. Maklum, sebagai penyair, Sitok mengaku masih condong ke sastra. Toh ia cukup realistis, pasar sastra tak sebesar teenlit. Lihat saja buku kumpulan cerpen Kuda Terbang Mario Pinto karya Linda Christanty yang meraih penghargaan sastra Khatulistiwa Award tahun lalu, belum dicetak ulang hingga sekarang.

Teenlit sangat laris. Sitok mengaku, dari situ ia memberlakukan subsidi silang untuk keberlangsungan penerbit. "Aku tetap menyeleksi naskah yang masuk dengan pertimbangan dua hal, penulisnya masih muda dan memiliki kemampuan bercerita yang baik," kata penyair yang tahun lalu meluncurkan novel pertamanya, Menggarami Burung Terbang.

KataKita memberlakukan royalti 10 persen dari harga jual. Penerbit Ga-gasMedia yang kini membanjiri toko buku dengan produk chicklit-nya menempuh hal serupa. "Kami menerapkan royalti progresif," ujar F.X. Rudi Gunawan, penulis dan salah satu pendiri GagasMedia. Royalti ini diberlakukan bertahap. Untuk penulis yang berhasil menjual sampai 20 ribu eksemplar, GagasMedia memberikan 11 persen. Bila melampaui 20 ribu kopi, jatah royalti naik menjadi 12 persen.

Format ini mulai dinikmati penulis seperti Icha Rahmanti atau Aditya Mulya, penulis Jomblo. Cintapuccino karya Icha mencapai 50 ribu kopi. Jomblo dicetak ulang 11 kali, sekali cetak 5.000 kopi. Love Suck, karya Charmanta mencapai empat kali cetak. Keuntungan besar yang juga dinikmati penerbit. Tak heran jika GagasMedia melebarkan sayap produksi chicklit.

Berangkat dari kasus-kasus sebelumnya, larisnya chicklit memunculkan produk turunan berupa film. Kita lihat film Eiffel I'm in Love yang diangkat dari teenlit karya Rachmania Arunita, buku terbitan Terrant Books yang dalam enam bulan terjual 50 ribu kopi. Belajar dari situ, Cintapuccino akan difilmkan pada Desember nanti. (Bandingkan dengan film Princess Diary yang diangkat dari teenlit karya Meg Cabot dan Bridget Jones' Diary karya Helen Fielding).

GagasMedia menempuh sebaliknya: menerbitkan chicklit yang berangkat dari film. "Karena kami berpikir tentang keluasan komunitas. Pasalnya, segmen penonton film ini kan juga sama dengan segmen pembaca chicklit dan teenlit," kata F.X. Rudi Gunawan. Percobaan pertama mereka menerbitkan chicklit dari film 30 Hari Mencari Cinta. Ditulis Nova Riyanti Yusuf, chicklit ini diselesaikan dalam 10 hari, supaya tidak tertinggal jauh waktunya dengan peluncuran film. Buku lainnya yang sudah terbit, Tusuk Jelangkung dan Bangsal 13 yang ditulis F.X. Rudi Gunawan, Dara Manisku ditulis Miranda, Brownies oleh Fira Basuki, dan Virgin oleh Agung Bawantara.

Chicklit jenis ini mengalami perlakuan sedikit berbeda. GagasMedia cenderung mengontak penulis berpengalaman karena waktu penulisan sangat singkat. "Paling telat sebulan setelah film diluncurkan seperti buku Virgin yang belum muncul. Namun sebisa mungkin deadline dua minggu sejak kami menerima VCD sehingga kami bisa meluncurkan bersamaan dengan film seperti rencana kami saat peluncuran Seventeen nantinya," ujar F.X. Rudi Gunawan.

Perhitungan keuntungan pun hampir sama. Royalti 10 persen yang diberikan kepada penulis akan dibagi juga untuk penulis skenario. Pihak rumah produksi juga mendapat keuntungan. Ya, chicklit dan teenlit adalah keajaiban di pasar buku.

F Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus