Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cantik di Atas Kertas

Harvest dan Glory menjadi kreditor Panca karena pertolongan Bank Victoria.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM usai lagu sumbang perbankan nasional. Tak lama setelah skandal Bank Global, kini muncul kasus Bank Victoria International. Bank dengan aset senilai Rp 1,9 triliun itu ditengarai melakukan berbagai pelanggaran, mulai dari aturan perbankan hingga korupsi.

Opera busuk Victoria muncul pertama kali di rapat dengar pendapat Dewan Perwakilan Rakyat, pekan lalu. Adalah Drajad H. Wibowo, anggota DPR dari Komisi Keuangan dan Perbankan, yang membeberkan berbagai penyelewengan Victoria. Ironisnya, borok-borok itu tersibak justru di saat Victoria sedang mempersiapkan diri menambah modal.

Tindak lancung Victoria dengan nilai terbesar adalah keterlibatannya dalam memunculkan dua kreditor fiktif PT Panca Overseas Finance (POF), yaitu Harvest Hero dan Glory Dragon International. Tudingan itu diperkuat oleh kenyataan bahwa Victoria dan Panca merupakan perusahaan terafiliasi.

Skandal kreditor fiktif ini bermula dari gugatan International Finance Corporation (IFC) ke Panca karena mengemplang utang US$ 13 juta pada 2001. Upaya lengan bisnis Bank Dunia itu kemudian mentah dengan kemunculan dua kreditor ?dadakan? POF, yaitu Harvest dan Glory.

Harvest dan Glory mengklaim sebagai kreditor terbesar Panca dengan nilai tagihan Rp 1,6 triliun. Sebagai pemegang tagihan terbesar, Harvest dan Glory berhak atas posisi pemimpin rapat kreditor. Mudah ditebak, mereka kemudian menolak pemailitan Panca dan memilih penyelesaian di luar pengadilan.

Jalan tengah memang tak haram dalam menyelesaikan sengketa utang-piutang. Yang mengganjal IFC adalah rendahnya nilai pembayaran utang yang disepakati, yaitu 10 sen untuk satu dolar. Apalagi, asal-usul Harvest dan Glory sebagai kreditor Panca tak jelas pula.

Belakangan, kecurigaan IFC terbukti beralasan. Harvest dan Glory menjadi kreditor Panca karena pertolongan Victoria. Kedua perusahaan itu, bersama Panca, tercatat sebagai nasabah yang mendapat fasilitas rekening giro dari Victoria. Selama September hingga Oktober 2000, mutasi di antara rekening giro Panca, Glory, dan Harvest sangat ganjil.

Dalam transaksi empat hari saja, uang yang bolak-balik di antara rekening ketiga perusahaan itu mencapai Rp 1,6 triliun. ?Padahal biasanya saldo tiap rekening itu tak lebih dari Rp 5 juta,? ujar seorang sumber Tempo. Tujuan mutasi uang itu apa lagi kalau bukan ?memodali? Harvest dan Glory.

Dana pinjaman itu kemudian disalurkan lagi oleh Harvest dan Glory ke Panca. Di buku Panca pun muncul nama Harvest dan Glory sebagai kreditor. Dengan skenario kreditor fiktif, Panca memang berhasil lolos dari jerat pailit IFC. Namun, justru negara yang harus menanggung ongkosnya. IFC, yang merasa diakali, lantas menunda program investasi di Indonesia senilai US$ 250 juta, sejak Maret 2001. Selama setahun, nama Indonesia menghilang dari radar investasi di IFC.

Drajad menilai pelanggaran yang dilakukan Panca dan teman-temannya, termasuk Victoria, tak ubahnya tindak pidana korupsi. ?Penundaan itu merugikan Indonesia,? ujar Drajad dalam rapat dengar pendapat di DPR, awal pekan lalu. Dosa lain Victoria dengan terlibat dalam sandiwara kreditor Panca adalah menabrak aturan batas maksimum pemberian kredit. Ketika meminjamkan dana Rp 1,6 triliun ke Glory dan Harvest, modal Victoria tercatat tak lebih dari Rp 70 miliar.

Direktur Utama Victoria, Untung Woenardi, membantah ikut kongkalikong dalam operasi penyelamatan Panca. ?Itu urusan mereka (Panca dan kreditornya),? kata Untung. Ia juga menyebut banknya tak pernah menabrak aturan pemberian kredit. ?Tak benar ada fasilitas overdraft.?

Untung tak membantah bahwa Glory dan Harvest merupakan nasabah giran Victoria. ?Tetapi mereka tak memiliki hubungan kredit dengan Victoria,? katanya. Pernyataan ini agak membingungkan karena nasabah giran (pemegang rekening giro), secara sederhana, bisa disamakan dengan pemegang kartu kredit.

Para nasabah giran ini mendapat fasilitas talangan hingga jumlah tertentu selama periode tertentu. ?Jadi, saldo nasabah merah dulu di bank. Baru rekening itu dilunasi,? ujar seorang sumber Tempo. Bukankah itu berarti nasabah giran sama dengan debitor?

Untung tentu punya pembelaan tersendiri. Sayang, ia menolak membeberkan versinya tentang rekening Glory dan Harvest di Victoria. ?Saat ini saya sedang sibuk,? kata Untung, menolak permintaan wawancara yang diajukan sejak awal pekan ini. Ia hanya mau memberi jawaban-jawaban singkat melalui telepon.

Bank Indonesia, sebagai pengawas bank, sebenarnya pernah mengendus kejanggalan transaksi itu. Tapi BI tak langsung mengambil tindakan keras. Tiga orang direksi Victoria, di antaranya Untung, hanya diminta meneken surat pernyataan di atas meterai. ?Isinya tentang kesediaan dimasukkan di daftar orang tercela jika di kemudian hari menjalankan transaksi yang dikategorikan tidak lazim,? kata Drajad.

Surat pernyataan itu bisa dibilang vonis super-ringan. Sebab, sebelum mensponsori kreditor Panca, Victoria sempat beberapa kali menabrak aturan main. Sudarto, investigator eksekutif Unit Khusus Investigasi Perbankan BI, menyatakan Victoria telah diadukan ke polisi sejak tahun lalu. ?Kasus yang disampaikan sama dengan yang dibicarakan di DPR,? ujar Sudarto.

Sumber Tempo yang lain menyatakan Victoria telah dilaporkan ke polisi pada Juli 2004 dan Januari 2005. Laporan pertama untuk dua kasus, laporan kedua mencakup lima kasus. Modus pelanggaran yang telah dilaporkan adalah penggangsiran uang bank melalui transaksi pembelian aset.

Modusnya, bank mengikat perjanjian jual-beli dengan pihak ketiga. Pelanggaran pertama, harga pembelian aset itu digelembungkan. Pelanggaran lain, yang lebih fatal, pihak ketiga sebagai penjual aset tak memiliki bukti kepemilikan atas aset yang mereka jual ke Victoria. ?Setelah ditelusuri, ternyata pihak ketiga itu terkait dengan para petinggi Victoria,? ujar sumber Tempo di BI.

Kecurangan ini terlihat ketika Victoria membayar Rp 1,68 miliar untuk dua unit apartemen di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, pada Mei 1998. Begitu pula dalam transaksi pembelian tanah di Kuningan, Jakarta, senilai Rp 6,05 miliar, serta tanah di Manyar Seberangan, Surabaya, senilai Rp 5,4 miliar. Transaksi pembelian tanah di Jakarta berlangsung pada September 2000, sementara di Surabaya pada April 2002.

Drajad mencatat, masih ada transaksi yang seharusnya menjadi penerimaan bank, tetapi tak pernah dicatat. Contohnya adalah pendapatan dari penyewaan tiga unit apartemen, yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 100 juta. Kesalahan Victoria lain yang disoal Drajad adalah transaksi pengeluaran kas fiktif senilai Rp 699 juta.

Pada 2003, Tempo mencatat saling gugat di antara direksi Victoria. Berawal dari laporan Direktur Kepatuhan Victoria, Didit Wijayanto, ke BI. Didit melaporkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan para kolega dan atasannya, seperti pembelian tanah. Alih-alih mendapat penghargaan, Didit malah diadukan balik oleh direksi Victoria lain, termasuk Untung. Sial bagi Didit, karena ia sampai harus mencicipi tahanan polisi sekitar enam bulan. (Tempo 24 Agustus 2003).

Drajad menyatakan petinggi Bank Victoria pernah mengakali aturan penjaminan pemerintah. Ketika Bank Sewu dilikuidasi pemerintah pada April 1999, Victoria masih memiliki dana Rp 41 miliar. Dana itu ditempatkan Victoria di akhir tahun 1998 dalam bentuk instrumen pasar uang antarbank, yang lazim disebut overnight call money (OCM).

Karena suku bunga OCM lebih tinggi dari suku bunga penjaminan, Victoria khawatir dana mereka tak diganti pemerintah. Dengan bantuan Sewu serta beberapa perusahaan keuangan, Victoria mengubah jenis penempatan dana OCM mereka menjadi deposito yang dapat dinegosiasikan (NCD). Victoria pun tak kehilangan uangnya.

Dengan daftar dosa begitu panjang, Drajad meminta BI kembali memeriksa direksi dan komisaris Victoria. ?Tingkat pelanggaran yang dilakukan para pengurus Victoria sudah cukup memadai untuk membuat mereka tak lolos dalam uji kelayakan dan kepatutan,? ujar Drajad.

Sejauh ini, permintaan itu belum bersambut. Direktur Pengawasan Bank I BI, Sabar Anton Tarihoran, menyebut BI masih mendalami kemungkinan pelanggaran di Victoria. Anton juga berkilah, masalah di Victoria lebih bernuansa konflik internal dan tidak mempengaruhi kesehatan bank itu sendiri.

Jika diteropong dari neraca keuangan, sejauh ini memang tak tampak indikator akutnya kesehatan Victoria. Bahkan, saat ini Victoria sedang sibuk mencari modal tambahan sebesar Rp 50 miliar. ?Tambahan modal itu untuk mengimbangi ekspansi kredit kami,? ujar Untung.

?Tetapi kinerja keuangan tak bisa menghapus pelanggaran,? ujar Drajad. Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional itu mengingatkan agar BI tak terlena dengan angka di atas kertas. ?Sebelum kasusnya terbongkar, laporan keuangan Bank Global juga sangat bagus,? kata Drajad.

Thomas Hadiwinata, S.S. Kurniawan, Yandi M.R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus