Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dua yang Diberkati Pasar

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di rumahnya, Jalan Buah Batu, Bandung Selatan, Nisha Rahmanti menyulap obsesi menjadi duit. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, Nisha, 27 tahun, menjalani ritual ini: masuk toko buku dengan mata terpaut pada hamparan buku-buku chicklit, lantas keluar dengan hati yang gemas. Dari hari ke hari ia hanya melihat aneka terjemahan, dari Bridget Jones' Diary, Sex and the City, hingga The Girl's Guide to Hunting and Fishing. Mana chicklit made in Indonesia?

Waktu itu, Januari 2004, ia memulai sesuatu yang baru. Diawali dengan riset chicklit di internet, dilanjutkan dengan menyantap buku-buku model Good in Bed oleh Jennifer Weiner, dan Can You Keep a Secret karya Sophie Kinsella. Hidup perempuan muda di kota besar, di mana pun ia berada, mengalir ke satu kesimpulan: quarter life crisis. Semakin tinggi karier, semakin terasa kebutuhan akan pendamping.

Sebuah tema yang dikuasainya, apalagi Icha hidup di Indonesia. "Udah masuk umur 26 aja, perempuan kita rasanya sudah diributin untuk cepat nikah kan?" ujarnya. Inilah local content yang diharapkan Icha bisa memberi ciri khas tersendiri bagi chicklit Indonesia. Dan ia menyodorkan Cintapuccino, naskahnya yang sudah selesai ditulis. Cerita tentang obsesi seorang perempuan bernama Rahmi terhadap Dimas Geronimo (Nimo), kakak kelasnya sejak SMA. Nimo muncul lagi, dan hidup Rahmi yang kini mapan itu terguncang keras.

Icha lulusan arsitektur ITB, penyiar Radio Oz, Bandung, dan biasa menulis fiksi. Tapi ia tak begitu "pede": seraya mengedarkan karyanya di antara kawan dan berniat menjualnya secara independen melalui distro-distro yang menjamur di Bandung. Ternyata Cintapuccino laris bukan kepalang, sudah delapan kali cetak ulang dan kini terjual 50 ribu kopi. Karya itu memang direvisinya sendiri hingga 10 kali, tapi itulah sebuah sukses pasar.

"Laporan terakhir yang kuterima akhir tahun kemarin sih, saya mendapat sekitar 40 juta," kata Icha. Pemasukannya juga bertambah saat pihak SinemArt milik Leo Sutanto menjalin kontrak dengannya untuk memfilmkan Cintapuccino. Dengan uang ini, gadis kelahiran 22 April 1978 itu berniat membuat lomba penulisan chicklit bekerja sama dengan GagasMedia, penerbit karyanya. Lewat lomba ini ia berharap obsesinya untuk memunculkan chicklit Indonesia terwujud.

Di Bandung ada Nisha, di Depok ada Laire Siwi Mentari, siswi kelas dua SMA, yang memiliki penghasilan Rp 45 juta. Ia penulis teenlit berjudul Nothing But Love. Kisah cinta anak SMA itu begitu laris, dan kini mengalami lima kali cetak ulang. "Sebagian besar ditabung untuk biaya kuliah nanti," ujar Laire Siwi Mentari, pelajar SMA Negeri 1 Depok ini.

Laire lahir dengan bakat menulis. Ayahnya penyair Sitok Srengenge, tapi ia lebih tertarik menulis fiksi dan sama sekali tak tergoda bahasa puitis ayahnya. "Soalnya ini kan cerita remaja, kalau saya menuliskannya dengan cara lain, kok rasanya gak gue banget. Akhirnya nulis apa adanya aja, namanya juga chicklit, kan harus ringan," kata Laire.

Konsep chicklit yang enteng diperoleh gadis kelahiran 10 November 1988 ini dari beberapa buku yang dibaca sebelumnya. Ia penggemar karya-karya Meg Cabot (Princess Diary), Fira Basuki, dan Tora Hayden. Kini, dari curhat (curahan hati) seorang sahabat, lahirlah Nothing But Love, buku yang ditulis dalam bahasa gaul. Menulis adalah kebiasaan sejak kecil yang mulai dipertajamnya kala masuk SMA. Dalam tiga bulan, ia menyelesaikan cerita tentang kisah cinta seorang gadis SMA bernama Airel—kebalikan dari namanya.

"Aku nulis kalau kebetulan gak ada pe-er, dan hari minggu full dari pagi sampai malam," kata gadis penggemar fotografi dan aktif sebagai vokalis band ini. Jadwal sekolahnya padat, itu pun masih ditambah kursus bahasa Jerman dua kali seminggu.

Setelah bukunya laris, kini Laire tengah menggarap bagian kedua dari ceritanya tersebut menjadi skenario. Kebetulan ada sebuah rumah produksi—yang enggan disebutkan namanya—tertarik untuk membuatnya menjadi film. Memang Laire semakin sibuk, tapi itulah salah satu jalan untuk mewujudkan cita-citanya. Lulus SMA, ia berniat melanjutkan kuliah sinematografi di Koln, Jerman. "Aku dengar di sana sekolah untuk sinematografinya terbaik di dunia, lagi pula ditanggung pemerintah," ujarnya, kenes. Dengan hasil teenlit-nya, Laire yang tengah menggarap novel keduanya ini yakin bisa menanggung biaya hidupnya saat kuliah kelak.

F. Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus