Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Den Kisot di Panggung Melengkung

Kisah Don Quijote yang majenun diadaptasi dalam teater wayang golek. Unik dan kocak.

18 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karakter Den Kisot saat gladi resik pertunjukan boneka Den Kisot yang disutradarai Endo Suanda dalam Festival Don Quijote di Komunitas Salihara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Den Kisot menaiki patung kuda sembrani berwarna emas. Patung itu dikerek naik dan terus naik. Di atas kuda, Den Kisot melihat tiga titik berwarna terang di kejauhan. "Sansoo… Matahari makin mendekat. Ada sinar terang berwarna-warni, selangkah lagi bertemu Dulcinea," ujar dia. Sang punakawan hanya mengiyakan sambil berpesan agar junjungannya berhati-hati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinar lampu yang menyorot Den Kisot perlahan naik. Juragan kaya raya lantas berteriak lantang, "Putus, putuskan!" Den Kisot pun jatuh menghunjam tanah. Tubuhnya remuk. Sang istri juragan tertawa kegirangan menyaksikan adegan itu. Den Kisot diperdaya oleh pasangan kaya itu, yang mengatakan dengan menaiki kuda emas, dia akan menemui leluhurnya yang diimpikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itulah akhir pengembaraan Den Kisot, sang kesatria pengelana, yang ingin menemui Dulcinea yang dia impi-impikan. Sanso, si petani pengawalnya, dan Vanesa, keponakannya, sedih tak terhingga. Tapi kematian Den Kisot tak begitu saja berlalu. Ada Sayid Hamid di panggung bagian belakang dan Cervantes di panggung melengkung yang saling melempar penutup kisah.

Kisah Don Quijote, sang hidalgo, adalah bangsawan kecil yang majenun karena terlalu banyak membaca cerita kesatria lama. Ia sangat terpengaruh hingga berlaku seperti tokoh dari buku yang dibacanya. Don Quijote yang konyol itu, di tangan sutradara pertunjukan, Endo Suanda, menjadi lebih hidup dengan wayang golek yang dibuat oleh seniman Indramayu. Karakter Don Quijote, Dulcenia, dan Sancho Panza beralih nama menjadi Den Kisot, Sanso, dan Dulsenia.

Kisah dari Don Quijote de la Mancha itu dipentaskan di Galeri Salihara pada Ahad, 14 Juli lalu. Pertunjukan itu merupakan bagian dari acara Festival Don Quijote yang digelar Komunitas Salihara bersama Kedutaan Besar Spanyol di Indonesia dan Aula Cervantes. Endo mengemas konsep teater dengan idiom wayang golek.

Endo menghadirkan seorang dalang, Ari Dukun Majenun; seorang narator, Darto JE; dan empat musikus. Unsur komedi yang muncul sepanjang pertunjukan berseling dengan celoteh percakapan yang kocak, bernas, dan menyentil isu-isu kekinian, seperti politik identitas, polarisasi, kuasa pemuka agama, hingga pelarangan dan pembakaran buku. Saat adegan pembakaran buku, Endo menampilkan video buku-buku yang dibakar.

Dalam novelnya, Don Quijote memakai panci sebagai penutup kepala dan menunggangi kuda kurus bernama Rocinante. Dia konon berkelana di seantero Spanyol. Dalam pentas tersebut, Den Kisot menaiki kuda bernama Roki. Den Kisot mengajak Sanso, petani gemuk dan bodoh, yang menunggangi keledainya.

"Buat apa berkeliling Spanyol, Den, sudah lama, capek pula," ujar Sanso, yang disambut tawa oleh penonton. Majikannya berkata dirinya adalah kesatria kelana yang akan memberantas kejahatan, menegakkan yang bengkok.

Kekonyolan Den Kisot pun dipertunjukkan oleh sang dalang. Sang punakawan hanya mampu mengelus dada dan menepuk jidatnya ketika majikannya berkukuh menyerang kincir angin di sebuah dataran. Di mata Den Kisot, kincir angin itu adalah gergasi atau raksasa yang mempunyai tangan-tangan perkasa. Gergasi itu merupakan jelmaan kolaborasi para jin dan setan.

Pertunjukan Den Kisot disutradarai oleh Endo. Pakar etnomusikologi, tari, dan wayang ini mulai menyiapkan pentas ini dari naskah yang dibuat Goenawan Mohamad. Ia lalu mencari musikus dari kelompok musik eksperimental, dalang, juga narator. Konsep teater dengan wayang dimatangkan dalam beberapa bulan terakhir. Ia juga menampilkan unsur wayang kulit dengan gunungan, raksasa, dan kincir angin untuk memperkaya visual sekaligus memudahkan dalang berekspresi.

Kadang wayang golek dipegang oleh sang dalang dan ditancapkan di panggung melengkung, serta dibantu oleh asisten yang juga membantu meletakkan wayang di panggung bagian belakang. Narator beratraksi dengan kuda lumping atau tampil sebagai kesatria yang menantang Den Kisot. "Kami mencoba membuat pakem baru, gaya baru dengan konsep teater wayang golek ini," ujar Endo seusai pementasan, Ahad lalu.

Musik eksperimental dihadirkan oleh empat musikus yang memainkan gitar, perkusi, biola, suling, dan kecapi. Nadanya liris, tapi juga menjadi dinamis di adegan-adegan tertentu. Tak lupa dihadirkan nuansa musik padang pasir untuk memperlihatkan unsur budaya Spanyol, yang juga berasal dari Arab. Unsur musik Sunda yang sangat liris dan melankolis juga muncul menjelang akhir pertunjukan, saat Den Kisot mendekati ajal.

DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus