Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dengan Rumput, Ia Bersabda

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebuah petang, warga Kampung Ngringgo di Surakarta berjalan berbondong-bondong menuju Sanggar Negeri Suket. Mereka semua akan menyaksikan bagaimana rumput (suket) bisa menjadi Anak Lanang Putra Matahari. Ini adalah acara rutin Kelompok Wayang Suket, yang lazim menyajikan latihan terakhir lakonnya sebelum pertunjukan itu digelar di Jakarta. Kelompok teater dengan basis seni tradisi yang dipimpin Slamet Gundono ini memang lazim bergeladi resik di sanggarnya sebelum pentas di luar kota. Maka, sore itu, warga beroleh tontonan gratis yang asyik. ''Bukan hanya kesenian wayang yang diberi ruang di tempat ini, ekspresi kesenian apa pun bisa berproses bersama di sini," kata Slamet, yang menemukan suket sebagai "pengganti" kulit atau kayu sebagai wayang. Apa pula Wayang Suket ini? Adalah dalang bertubuh tambun ini yang mengambil filosofi suket (rumput) sebagai dasar dalam karyanya. Menurut dia, suket, yang banyak tumbuh di sekitar rumah dan kadang-kadang tumbuh liar, bukan "hanya" tanaman, tapi makhluk yang mengatur hubungan antara rasa dan semangat, antara kedekatan dan kebersamaan, antara kehadiran dan keintiman. Suket adalah hakikat kebersamaan yang terus-menerus. Filosofi yang ditangkapnya tersebut dialirkan dalam karyanya yang bernama Wayang Suket. Dan rumput inilah yang membawa Slamet meluncur ke berbagai negara untuk memperkenalkan wayang versi barunya ini. Lahir di Tegal pada 19 Juni 1966 sebagai putra bungsu dari 12 bersaudara, wayang menjadi bagian dari hidup keluarga Ki Suwati--ayah Slamet, yang dikenal sebagai dalang wayang kulit gaya Tegal klasik. Namun, pilihan Slamet menjadi dalang tidak datang begitu saja. Selepas lulus dari Pondok Pesantren di Babakan, Tegal, Slamet memilih kuliah di Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Alasannya saat itu, wayang sudah ketinggalan zaman. Namun, memasuki semester kelima di IKJ, ia merasa wayang sebenarnya lebih memiliki unsur teatrikal dibanding teater modern. Maka, ia pun banting setir dan menempuh pendidikan di Solo. "Inti wayang itu ada pada ekspresi dalang. Yang lain hanya alat bantu, yang bisa berupa boneka, suket (rumput), atau cangkem (mulut) pendukung lakon," kata Slamet. Pengagum mendiang Ki Narto Sabdo ini sudah aktif mendalang saat kuliah. Awalnya, Slamet masih patuh pada pakem wayang kulit konvensional. Belakangan, ia kemudian memilih gaya pedalangan kontemporer dengan memasukkan unsur teater, musik, dan tari modern. Maka, lahirlah Pakeliran Wayang Layar Panjang, Wayang Gremeng, lalu Wayang Suket, dan yang tengah disiapkan yaitu Wayang Nglindur. Kredo Slamet adalah mendekatkan seni tradisi ke publik. Hal ini sudah ia lakukan sewaktu ia masih mahasiswa pedalangan di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia, Surakarta. Maka, sepanjang tahun 2001 lalu, Slamet bergerak lebih aktif berkeliling ke berbagai komunitas dan sekolah untuk mengenalkan model teater tradisinya itu. Kiatnya cukup segar. Misalnya, saat ia tampil di salah satu SMU di Jakarta, ia dan rekan-rekannya mengecat rambut biar tampil funky. Selain dikenal sebagai dalang, Gundono juga akrab dengan dunia tari. Ia sering memperkuat pentas drama tari Sang Sutasoma sebagai Batara Kala karya Sentot, yang dipentaskan di Teater Tanah Airku, Jakarta. Dua kali ia diajak Sardono W. Kusuma dalam pentas lakon Diponegoro, serta The Gong yang dipentaskan di Tokyo, Hiroshima, Osaka, dan Fukuoka. ''Keterlibatan saya dengan penari-penari terkenal itu lantaran saya ingin tetap survive di luar wayang," kata Slamet. Kini, kreasi Slamet semakin laku diminati publik. Setiap bulan ia pasti dapat tawaran naik panggung, termasuk pentas di luar negeri. Obsesi terbaru Slamet? Mengangkat kreasinya ke layar televisi. Yusi A. Pareanom dan Anas Syahirul

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus