Bibir bertemu dengan bibir ketika tembang yang berkisah tentang tragedi Bharatayudha itu menyayat telinga. Di panggung gedung Victoria Theater Singapura itu, Martinus Miroto berlaga.
Pada pertunjukan teater multikutur garapan sutradara Singapura Ong Keng Seng dua tahun silam, ia memerankan Zero, budak laki-laki Desdemona yang harus mencium bibir Othello. Melalui bibir, ia mengembuskan racun ke dalam mulutnya. Othello diperankan Madu Marghi, aktor India yang berpostur tinggi dan besar. Sedangkan Miroto langsing dan kecil. Adegan ini, menurut Miroto kepada TEMPO saat itu, cukup sulit dilakukan.
Miroto adalah salah seorang penari Indonesia yang laku keras dalam pertunjukan kolaborasi di luar negeri. Oleh Ong Keng Seng, sang penari Yogyakarta ini dikontrak keliling pertunjukan di Munich dan Adelaide. Menyambut milenium baru lalu, ia diminta bergabung dalam pertunjukan Peter Sellars mementaskan opera Stravinsky-Bilbelse Stukken di Amsterdam. Awal tahun ini, Miroto meloncat di atas pentas garapan Yin Mei, koreografer wanita asal Cina, untuk menyajikan Asunder di Danspace Project, New York. Karya yang diiringi sebuah ansambel hidup ini dijadwalkan bakal dikelilingkan sampai tahun 2003. Inilah sebuah pertunjukan puitis yang petikannya pernah dipentaskan beberapa waktu lalu di Teater Utan Kayu. Tahun depan, agenda Miroto sudah banyak, di antaranya ia dinanti di Wereld Muziek Theater Festival, Groningen.
Lahir di Sleman, Yogyakarta, 23 Februari 1959 sebagai putra kelima dari enam anak keluarga sederhana Setyo Martono, ia dikenal sebagai salah seorang penari Jawa alusan gaya Yogyakarta yang kuat. Sejak kanak-kanak, ia belajar tari di Krida Beksa Wirama--sekolah tari di lingkungan keraton. Setelah lulus dari ISI tahun 1986, ia kemudian melanjutkan ke Universitas California, Los Angeles, sampai meraih gelar MFA (master of fine arts) di tahun 1995. Penari yang pernah mereguk pendidikan di Wupernthal Dance Theater di Jerman itu--tempat sang suhu tari dunia Pina Bausch mengajar-- kini sehari-hari mengajar di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Di samping terus mendapat kesempatan terlibat dalam kolaborasi wilayah-wilayah kontemporer, ia tetap tak meninggalkan akarnya sebagai penari klasik. Sampai sekarang ia masih menjadi penari istana Yogyakarta. Ia juga aktif dalam garapan-garapan klasik, misalnya pagelaran golek menak dengan penata tari S. Kardjono. Ia seolah rileks berulang-alik antara tradisi dan kontemporer.
Selain menari, Miroto melangkah pada dunia penciptaan. Dua tari tunggal pendek karyanya berjudul Penumbra dan Incarnation, yang diciptakannya di UCLA, memikat. Penumbra mengambil gerak penari putri jathilan, sebelum kuda kepang trance. Bertopeng panji putih, dengan topi kerpus, tubuhnya dibungkus rok putih panjang terusan. Dua kakinya seolah menunggang kuda. Sederhana tapi bertenaga. Namun sayang, koreografinya yang lain berjudul Sepotong Kembang Sampah dan Kidung Kunthi (2000), yang melibatkan banyak penari, ternyata tak menggebrak. Sebagai koreografer--bukan sebagai penari--perjalanan penciptaannya masih akan terus diuji. Tetapi, sebagai penari, dengan pengalamannya mereguk berbagai kolaborasi internasional, tentu kita akan bisa mengharapkan Miroto menyalakan panggung dengan cahaya tubuhnya.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini