Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Malam lebih panjang dan siang lebih singkat di Dusun Wotawati di Gunungkidul, Yogyakarta.
Keunikan tersebut terjadi karena posisi dusun dikepung perbukitan karst Gunung Sewu.
Warga setempat yakini dusun itu dibangun oleh pelarian dari Kerajaan Majapahit sehingga mereka membangun rumah-rumah ala Majapahit untuk menjadi desa wisata.
LANGIT masih gelap di Dusun Wotawati pagi itu. Surya yang hangat terlambat bersinar, terhalang oleh perbukitan kapur yang ditumbuhi pepohonan rimbun. Rumah-rumah warga berpagar batu bata merah berdesain bangunan akulturasi Kerajaan Majapahit dengan Mataram kuno masih sepi tanpa aktivitas penghuninya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya satu-dua orang yang bepergian ke ladang, melewati jalan-jalan dusun yang mirip labirin: berliku-liku seperti sungai yang mengaliri perbukitan. Sawah yang ditumbuhi padi, jagung, dan kelapa terhampar di sekitar rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dusun terpencil itu berada di lembah aliran Sungai Bengawan Solo Purba di Desa Pucung, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Jutaan tahun silam, Bengawan Solo bukanlah sungai terpanjang di Jawa yang terbentang dari Solo, Jawa Tengah, sampai Gresik, Jawa Timur.
Di masa purbakala, muara Bengawan Solo ada di tenggara Yogyakarta, yaitu di Pantai Sadeng, Kecamatan Girisubo. Proses geologi berupa gerakan lempeng Australia membuat permukaan bumi naik dan mengubah arah alirannya dari ke selatan menjadi ke utara sehingga menjadi Bengawan Solo yang kita kenal sekarang. Aliran lamanya dikenal sebagai Bengawan Solo Purba.
Sungai Bengawan Solo Purba merupakan bagian dari perbukitan karst Geopark Gunung Sewu, bagian dari Global Geopark Network yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2015.
Warga mengembangkan Wotawati sebagai desa wisata yang mendapat sokongan Dana Keistimewaan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 5 miliar. "Kami masih menyiapkan sumber daya manusia dan kelengkapan fasilitas," kata Kepala Dusun Wotawati Roby Sugihastanto kepada Tempo di lokasi, Rabu, 29 Januari 2025.
Untuk mencapai dusun itu, pengunjung membutuhkan waktu tempuh dua jam untuk menempuh 73 kilometer dari Kota Yogyakarta. Dusun ini unik karena matahari bersinar lebih lambat dan tenggelam lebih cepat ketimbang di dusun lain di sekitarnya—ada sepuluh dusun di desa yang sama.
Suasana Dusun Wotawati di Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Januari 2025. Tempo/Shinta Maharani
Di Wotawati, matahari baru terbit pukul 07.00 dan pergi pukul 16.00. Fenomena waktu siang yang singkat ini membuat banyak pengunjung, umumnya dari Jakarta dan Semarang, datang karena penasaran.
Roby berkisah bahwa nenek moyang mereka menyembah Dewa Matahari. Saban pagi, saat matahari terbit, leluhur Dusun Wotawati menghadap ke timur dan merapal doa.
Kepercayaan itu menghilang seiring dengan masuknya agama samawi. Kini semua penghuni Dusun Wotawati, jumlahnya 400 orang, memeluk Islam. Meski tak lagi menyembah Dewa Matahari, mereka masih menjalankan sejumlah ritual peninggalan leluhur berupa tradisi rasulan ungkapan rasa syukur atas berlimpahnya hasil panen.
Rasulan berlangsung setiap Kamis Legi sesuai dengan penanggalan Jawa. Saat itu warga menyediakan sesaji yang dilengkapi dengan janur kuning untuk menaruh tumpeng, ayam ingkung, dan sayur daun kelor. Sayur kelor dibuang ke telaga yang berdekatan dengan ladang warga.
Dusun Wotawati tengah bersolek membangun rumah-rumah bergaya Kerajaan Majapahit dan Mataram Kuno. Pagar rumah dibangun menggunakan material utama bata merah yang didatangkan dari Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gapura berbentuk lar badak khas Gunungkidul. Fasad atau muka rumah berupa terakota dengan bata merah.
Pembangunan desa wisata itu membutuhkan tiga tahun yang dimulai pada 2024. Tahun ini pengerjaannya berfokus pada fasad semua rumah yang berjumlah 79. Selanjutnya tahap penyelesaian dengan membangun jalan, drainase, gazebo, gapura, dan papan informasi wisata.
Perpaduan arsitektur Majapahit dengan Mataram muncul dari cerita sesepuh. Roby menyebutkan dusun itu ada sejak dua ratus tahun silam. Berdasarkan cerita sesepuh dusun setempat, orang yang pertama datang di lembah tersebut merupakan pelarian dari Kerajaan Majapahit yang bernama Raden Joko Sukmo dan Nyi Arum Sukmawati.
Keduanya tinggal di Gua Putri, tak jauh dari lokasi dusun sekarang. Raden Joko Sukmo dan Nyi Arum Sukmawati keluar dari gua tersebut untuk menyambung hidup dengan bercocok tanam. Saat babat alas itulah keduanya harus melewati sungai kecil. Mereka membuat jembatan berbahan bambu atau wot dalam Bahasa Jawa.
Setelah jembatan jadi, Nyi Arum Sukmawati terpeleset. Raden Joko Sukmo menyelamatkannya. Setelah berhasil menyeberang, Nyi Arum Sukmawati berkata tentang harapannya agar tempat itu menjadi Dusun Wotawati. Nama Wotawati berasal dari kata "wot" atau jembatan untuk menyeberang dan "wati" dari nama Sukmawati.
Suasana Dusun Wotawati di Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Januari 2025. Tempo/Shinta Maharani
Guru besar Universitas Indonesia yang mengkaji arkeologi Hindu-Buddha Indonesia abad V sampai XV, Agus Aris Munandar, mengungkapkan bahwa belum ada peninggalan arkeologi berupa artefak dan situs yang menunjukkan dusun tersebut menjadi tempat orang-orang yang melarikan diri dari Kerajaan Majapahit. Penduduk dusun hanya mengandalkan cerita rakyat.
Gunungkidul, Aris melanjutkan, lebih dekat dengan Kerajaan Mataram Kuno pada masa Dinasti Syailendra yang berkuasa hingga abad X. Bukti arkeologisnya berupa reruntuhan Candi Risan di Kecamatan Semin, Gunungkidul. Orang-orang pada periode itu menganut Buddha.
Aris menyimpulkan dusun itu termasuk tua dan terasing. Istilahnya wanua. Ketika Majapahit runtuh pada awal abad XVI, banyak orang menganggap diri mereka sebagai penerus kerajaan dan tinggal di pelosok yang jauh dari keramaian. Di lokasi seperti Dusun Wotawati itulah para brahmana atau agamawan hidup menyendiri dan mempelajari kitab suci. Sebutannya, kata dia, adalah mandala, mirip pesantren dalam tradisi Islam.
Kisah brahmana menyendiri di wanua-wanua terasing itu disebut dalam kitab Sutasoma karya Empu Tantular. Ada juga dalam sastra Jawa Pararaton serta kitab Negara Kertagama bikinan Empu Prapanca pada masa Majapahit. "Mandala itu nyambung dengan cerita menyembah Dewa Matahari," ujarnya.
Warga Dusun Wotawati beraktivitas di Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Januari 2025. Tempo/Shinta Maharani
Penyembahan terhadap Dewa Matahari, Aris melanjutkan, dikenal sejak zaman Weda kuno di India sebelum datang ke Jawa. Hindu Saura merupakan aliran kepercayaan atau sekte yang memuja Dewa Matahari atau Aditya. Saura berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti matahari. Namun, kata dia, jumlah pemujanya sedikit. Kalah populer oleh Dewa Siwa dan Wisnu.
Aris menilai Dusun Wotawati istimewa karena lambatnya kehadiran matahari karena terhalang oleh gugusan karst Gunung Sewu. "Matahari sangat berperan penting bagi mereka. Itulah mengapa ada pemujaan," ucapnya.
Ihwal bangunan yang memadukan Majapahit dengan Mataram Kuno, Agus menyarankan pengelola desa wisata tersebut menjelaskan kepada pengunjung tentang rekonstruksi imajinasi dari cerita rakyat. "Harus ada penjelasan bahwa bangunan itu tidak otentik karena belum ada data arkeologisnya," tuturnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo