Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wawancara pada suatu si-ang awal Februari lalu itu ber-langsung sekitar 30 menit-. Tapi Marco Kusumawijaya, arsitek perkotaan, me-nga-ku gemetar. Bukan apa-apa, di ha-dapannya- duduk tokoh-tokoh kese-nian, yang menurut Marco, ”Orang-orang yang saya kagumi sejak bangku sekolah dasar.”
Di depannya ada Rendra, Sardono W. Kusumo, N.H. Dini, A.D. Pirous, Slamet Ab-dul Syukur, Misbach Yusa Biran, Koes-nadi Hardjasoemantri, Goenawan Mo-hamad, dan Ajip Rosidi. A.D. Pirous- ke-mudian membuka percakapan. Ia me-minta Marco menjelaskan visinya ten-tang kesenian. Bak dalam fit and proper test, Marco menguraikan panjanglebar konsep Jakarta sebagai kota berkesenian.
Tanya-jawab terjadi. Para tokoh yang tergabung dalam Akademi Jakarta itu kemudian memutuskan Marco sebagai salah satu dari 25 anggota baru Dewan Kesenian Jakarta.
Selain Marco, beberapa nama seper-ti koreografer Boi G. Sakti, pemusik Dwi-ki Dharmawan, sastrawan Radhar Panca Dahana, dan sutradara Riri Riza juga bergabung dalam kepengurusan baru Dewan Kesenian Jakarta periode 2006-2009, yang akan berkantor di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ke-25 nama itu akan menggantikan pengurus- lama yang dipimpin Ratna Sarumpaet, yang habis masa kerjanya Sabtu pekan ini.
”Saya bersedia masuk ke komite film Dewan Kesenian Jakarta karena saya merasa ada banyak hal di dunia film ki-ta yang mesti dibenahi,” kata Riri, sutradara Gie dan Eliana, Eliana itu.
Berbeda dengan pada periode se-belum-nya, Akademi Jakarta, yang -me-mi-liki kewenangan memilih anggota De-wan Kesenian, mengubah prosedur- pemilihan. Pada masa lalu Akademi menyiapkan nama-nama anggota Dewan dan menyetornya ke gubernur yang akan melantik mereka. Kini, lemba-ga ini membentuk tim review. Tim yang diketuai dramawan Putu Wijaya itu merekomendasikan nama-nama untuk diseleksi kembali oleh Akademi.
Perubahan prosedur pemilihan itu meng-undang protes Ratna. Ia menilai prosedur itu tak demokratis. Dan lagi, ia mengecam, ”Yang terpilih hanya yang dekat-dekat anggota tim.”
Misbach, Wakil Ketua Akademi, mem-bantahnya. Akademi, menurut dia,- menerima usul dari berbagai sumber, bah-kan membuka keran usulan secara bebas dengan memasang iklan di media massa. Usul itu datang dari berbagai penjuru. Bahkan banyak nama yang—meskipun mereka sama sekali- tak dikenal oleh para anggota tim review- secara personal—bisa masuk karena dikenal kompetensi dan prestasinya di bidang kesenian.
Dari iklan yang dipasang pada Okto-ber tahun lalu, terkumpul 188 nama ca-lon. Tim review menyaringnya menja-di 38 nama. Jumlah ini diperas lagi oleh Akademi menjadi 25 orang melalui pro-ses wawancara. Daftar final itu kemudian disetor ke gubernur pada 15 Fe-bruari lalu.
Tim review, kata Misbach, dibentuk- jus-tru ”untuk menjembatani antara 23 ang-gota Akademi yang uzur dan para se-niman muda”. Tim ini diminta me-mi-lih- orang-orang yang mengerti betul- la-pangan tugasnya, bekerja profesional, mam-pu bekerja dalam tim, dan tak terje-bak dalam kubu-kubu yang berpotensi me-mecah keutuhan Dewan di masa depan. ”Tak seperti pengurus De-wan ke-marin. Galak-galak sekali. Mampir ke ge-dungnya pun saya takut,” ucap Mis-bach.
Putu Wijaya melihat selama ini memang ada ketegangan antara Akademi dan Dewan. ”Hubungan keduanya tak la-gi mesra,” ucapnya. Karena itu, kata Putu, memperbaiki komunikasi de-ngan Akademi menjadi salah satu agenda penting anggota Dewan baru.
Ratna pun menyebutkan hal yang sa-ma. Dewan baru tak boleh lagi sa-ling tu-ding. ”Jangan ribut-ribut melulu. Ma-lu,” kata Ratna. Harus diakui, sejak tahun 1970-an, Dewan Kesenian Jakarta di-kenal sebagai organisasi yang identik de-ngan konflik. Apakah kepengurus-an ba-ru ini bisa bekerja tanpa konflik ber-arti? Ini sebuah tantangan bagi mereka- untuk menunjukkan: seniman bisa be-kerja dengan teratur, tanpa ribut melulu.
Setumpuk pekerjaan juga telah me-nan-ti. Misalnya mengurus tata ruang baru kompleks TIM—termasuk Grand Theatre, gedung megah enam lantai senilai Rp 300 miliar yang hampir jadi. Lalu mendesak Pemda DKI menunaikan janji memberikan gedung bekas kantor imigrasi di Jalan Cut Meutia, Menteng, sebagai Gedung Seni Rupa. Tugas lain yang lebih penting tentu saja menjadi semacam kurator yang merencanakan dan memberi pertimbangan artistik terhadap kegiatan kesenian di Jakarta selama tiga tahun ke depan.
Dewan, kata Kepala Dinas Kebudaya-an Pemerintah DKI, Aurora Tambunan, juga perlu menata kembali hubungan me-reka dengan Badan Pengelola TIM. ”Fitrahnya, Dewan membuat program, Badan Pengelola yang melaksanakan. Bukan berjalan sendiri-sendiri-, se-olah-olah bersaing,” kata Aurora.
”TIM itu milik Pemda DKI,” kata Aurora mengutip ucapan Ali Sadikin, ”Kami suplai dananya, seniman tinggal menyumbang pemikiran.”
Aurora menyebutkan, untuk tahun 20-06, anggaran untuk TIM mencapai Rp 15 miliar lebih. Pembagiannya, Akademi mendapat Rp 600 juta, Dewan memperoleh Rp 5,5 miliar, Institut Kesenian Jakarta sebesar Rp 4,5 miliar, dan Badan Pengelola TIM mendapat Rp 5 miliar.
Gubernur meningkatkan dana kese-ni-an- itu menjadi sepuluh kali lipat sejak- 20-03. Ini membuat gaji anggota Dewan juga melonjak. Pada periode Ratna, gaji anggota berkisar Rp 750 ribu-Rp 7,5 juta.
Tak cuma meningkatkan anggaran, Aurora mengatakan gubernur juga akan mengeluarkan surat keputusan baru yang merevisi SK 106 Tahun 2004. Isi-nya-, menata ulang hubungan antarlembaga di TIM dan membatalkan keanggotaan seumur hidup Akademi Jakarta.
Anggota Akademi, kata Aurora, akan menjabat selama lima tahun dan bisa dipilih kembali. ”Di masa yang akan datang, Dewan harus bisa memayungi seniman Jakarta, sedangkan Akademi harus mau turun gunung,” kata Aurora.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo