Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Di Bawah Kaki Para Pembajak Demokrasi

Mereka bergerak bagai bayang-bayang dan mengambil keuntungan dari demokrasi dan hukum yang tengah mencari bentuk.

30 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oligarki
Penulis: Jeffrey A. Winters
Penerbit: Gramedia
Edisi: I, akhir 2011
Tebal: 478 + xxvi

Sejak Soeharto dipaksa turun 14 tahun silam, kita masih terseok-seok berusaha menegakkan demokrasi dan hukum yang adil. Pesta demokrasi digelar silih berganti. Begitu riuh. Orang-orang luar mengelu-elukan semua itu sebagai suasana demokratis yang lama hilang. Tapi benarkah rakyat tak lagi sekadar dipinjam suaranya di bilik-bilik pemilu?

Membaca Oligarki, kita seperti diingatkan oleh Jeffrey Winters pada apa yang barangkali luput dari penglihatan bersama: gerak-gerik para oligark. Mereka bergerak bagai bayang-bayang, tapi pengaruhnya sangat terasa, bahkan dalam pesta-pesta itu. Mereka menyelinap dan menebarkan pengaruh, mengambil keuntungan dari demokrasi dan hukum yang tengah mencari bentuk.

Siapakah oligark? Berbeda dengan elite yang berkuasa karena jabatan resmi atau memegang kekuasaan koersif, para oligark memperoleh kuasa karena penguasaan yang luar biasa atas sumber daya material. Oligark mampu menjadi elite, tapi tak serta-merta sebaliknya.

Untuk memahami alasan eksistensial oligark, Winters menyusuri jejak historis dari masa Athena, Roma, lalu Venesia, hingga Indonesia kini. Ia mendapati ragam oligark dalam empat wajah: panglima, penguasa kolektif, sultanistik, dan sipil. Kendati beragam wajah, mereka menganut prinsip yang sama: mempertahankan penguasaan sumber daya material (wealth defense) demi kepentingan individu. Karena kekayaannya yang luar biasa, oligark memperoleh kuasa dan posisi sosial yang eksklusif dalam masyarakat.

Di Sisilia, para mafioso mampu menggunakan kekerasan untuk menjaga kelangsungan pendapatan. Di Amerika Serikat, lapisan "1 persen" bersekutu untuk menghalangi pengenaan pajak yang lebih tinggi.

Dalam oligarki sultanistisk, yang potretnya diwakili Soeharto, sarana pemaksaan dimonopoli oleh satu oligark (utama), bukan negara terlembaga yang dibatasi hukum. Tentu saja ada oligark lain, namun Soeharto menjalin hubungan patron-klien dengan mereka. Soeharto berperan mengatur kekuasaan dan hukum di antara mereka. Tapi, saat ia tersudut, Mei 1998, para oligark meninggalkannya sendirian.

Kejatuhan Soeharto melahirkan efek ganda dengan konsekuensi saling bertentangan. Ketika transisi menuju demokrasi tengah diupayakan, saat itu pula berlangsung transisi oligarki sultanistik menuju oligarki penguasa kolektif yang tidak terkendali oleh hukum. Masyarakat madani, di mata Winters, terlalu lemah untuk menangkap peluang kembalinya demokrasi, sementara para oligark bergerak lebih cepat untuk mendominasi demokrasi.

Demokrasi elektoral bahkan memberi cara baru bagi oligark untuk mengupayakan kepentingan mereka. Lembaga-lembaga demokrasi justru menyediakan arena bagi maraknya kerja sama dan persaingan antar-oligark. Kesimpulan Winters ini dapat dipakai untuk memahami hasil-hasil "pesta demokrasi". Studi Christian von ­Luebke menguatkan hal ini, bahwa kepemimpinan pasca-Soeharto bukan hanya dipengaruhi oleh karakteristik individual, tapi juga oleh "topografi" kekuasaan, seperti konsentrasi dan konektivitas dengan aset sosio-ekonomi.

Kajian Winters melengkapi studi mendalam Richard Robison dan Verdi Hadiz (Reorganizing Power in Indonesia, 2004). Kedua sarjana itu memaknai oligarki sebagai sistem pemerintahan dengan semua kekuasaan politik berada di tangan sekelompok kecil orang kaya yang membuat kebijakan publik lebih untuk keuntungan finansial sendiri. Caranya, melalui kebijakan subsidi langsung terhadap perusahaan mereka, kontrak karya pemerintah, maupun proteksi bisnis.

Jatuhnya Soeharto, menurut Robison dan Hadiz, membuka jalan bagi oligarki bisnis-politik untuk menyusun kembali kekuasaannya melalui akomodasi baru dengan berbagai kepentingan populis. Jauh hari, Robert Michels (1959) sudah berpendapat bahwa demokrasi gagal menghentikan kecenderungan oligarkis untuk muncul ke permukaan. Ia bahkan meyakini "hukum besi oligarki": sistem politik apa pun akan berkembang menjadi oligarki. Dan kini Winters menyimpulkan, oligark dan oligarki akan lenyap bukan melalui prosedur demokratis, melainkan bila distribusi sumber daya material yang sangat tidak seimbang dapat ditiadakan.

Dengan begitu terang, Winters memperlihatkan kemampuan para oligark untuk beradaptasi terhadap perubahan politik di habitat tempat mereka hidup. Ia membantu kita memahami apa yang barangkali luput dari penglihatan: gerak para oligark yang menyelinap di tengah-tengah transisi demokrasi. Demokrasi kita jadi tempat nyaman bagi oligark untuk mempertahankan, dan menimbun lebih banyak lagi, kekayaan demi kepentingan pribadi.

Dian Basuki, penulis blog di Tempo.co

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus