Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Musim Prog Tiba

30 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yes dan Dream Theater, dua grup progressive rock terkemuka beda generasi, mengentak Jakarta. Yes, band legendaris 1970-an dari Inggris, hadir dengan alunan musik yang bergelombang harmonis, layaknya simfoni yang dimainkan sebuah orkestra. Dream Theater, grup asal Amerika Serikat yang mendunia sejak awal 1990-an, menyuguhkan aliran progressive metal yang menggelegar dan terkesan "akademis".

Konser pertama musik "atas angin" kelas dunia itu kabarnya bakal berlanjut. Kehadiran sejumlah band serupa lainnya akan menyusul. Musim prog ini tentu akan memenuhi dahaga para penggemarnya, yang memang terbatas tapi masuk kategori fanatik–dan bisa jadi malah berduit.


Jakarta di Memori DT
Untuk pertama kalinya Dream Theater berpentas di Indonesia. Dengan drumer baru, tak ada yang berkurang, justru seperti melepas beban.

Bersepeda dan menonton konser rock seharusnya menjadi paduan yang istimewa bagi Gatot Widayanto pada Sabtu dua pekan lalu.

Sudah lebih dari lima tahun terakhir lelaki 51 tahun yang bekerja sebagai konsultan manajemen dan menggemari musik rock itu bersepeda ke kantor (bike-to-work). Pada akhir pekan pun, jika tak harus mengantar keluarganya, dia kerap memilih bersepeda untuk mengisi waktu. Dua pekan lalu, dia berencana gowes untuk menonton konser Dream Theater. Dia bahkan memesan jersey khusus, berwarna biru langit bersablon cover artwork album mutakhir band dari Amerika Serikat itu, untuk menjalani trip ke tempat pertunjukan di Ancol.

Cuaca tak bersahabat sejak siang membatalkan rencana Gatot. "Mulai jam dua, di rumah saya dan Bintaro hujan…, terus teman-teman di sekitar Sudirman bilang mendung gelap. Wah, nyesel pol," katanya. Tapi dia tak mengurungkan niat untuk hadir di Mata Elang International Stadium, gedung yang belum sepenuhnya rampung dibangun dan menjadi tempat konser berlangsung.

Malam itu, setelah nebeng teman untuk sampai di venue, dia bergabung bersama sekitar 8.000—tua-muda—penggemar band yang dianggap sebagai pionir progressive metal itu. Lebih dari sekadar menonton dan melebur diri ke dalam antusiasme dan kegembiraan audiens, dia pun menjadi saksi band kelas dunia dari aliran musik yang luput masuk radar arus besar itu tampil di Indonesia untuk pertama kalinya.

"Dream Theater, the most awaited rock band…." Begitulah baliho berwarna latar merah menyala di beberapa sudut Jakarta mempromosikannya.

Iklan yang tak berlebihan. Ketika lampu panggung meremang dan Dream Is Collapsing—lagu karya Hans Zimmer yang menjadi soundtrack film Inception—terdengar membahana, penonton yang hampir memenuhi gedung berkapasitas 10 ribu orang itu bagaikan mesin menganggur yang baru mendapatkan injeksi energi. Mereka seperti mengekspresikan keyakinan bahwa, pada akhirnya, band yang ditunggu-tunggu sudah di depan mata. Begitu suara mirip orang bersendawa di pembukaan Bridges in the Sky berkumandang dan disusul intro gitar bertempo cepat, hampir tak ada yang bisa menahan diri untuk menjerit, mengacungkan tangan, bahkan berjingkrakan. Layar telepon seluler berpendaran di segala penjuru.

James LaBrie, sang vokalis, muncul menyusul John Petrucci (gitar), John Myung (bas), Jordan Rudess (keyboard), serta Mike Mangini (drum) dan langsung tarik suara. Di bawah siraman cahaya lampu warna-warni yang menawan, dia menyanyikan cerita tentang pengalaman seorang shaman melewati kegelapan jiwa menuju penyembuhan—semacam penemuan jati diri.

Blackness awakens/ Visions come alive

Seeing through darkness/ With borrowed eyes...

Selama lebih-kurang 10 menit, kuintet ini menyajikan paduan riff gitar yang kukuh, melodi yang megah, interlude menawan, juga perubahan tempo dan birama yang mendebarkan serta volume yang menggedor. Inilah sesungguhnya etalase dari repertoar yang dibawakan dua seperempat jam malam itu.

Seluruhnya ada 15 lagu dalam paket setlist yang disajikan, masing-masing dengan energi dan kegairahan memainkannya seperti orang sedang bertemu dengan sahabat lama: 6:00, Build Me Up, Break Me Down, Surrounded, The Root of All Evil.... LaBrie, suaranya bertenaga dan tanpa cela, seperti berdansa di antara nada-nada meraung dan mendentam yang berasal dari kegesitan jemari Petrucci pada gitarnya, kukuhnya betotan bas Myung, dan luasnya eksplorasi bebunyian keyboard Rudess.

"It's Mike Mangini right there everyone!" LaBrie memperkenalkan sang penggebuk drum, wajah baru yang bergabung mulai April tahun lalu menggantikan Mike Portnoy.

Bukan semata aplaus, gemuruh sambutan penonton bisa dibaca sebagai persetujuan terhadap LaBrie, yang memang terdengar mirip seorang penggemar. "Dia (Mangini) tidak sekadar mengisi porsi Portnoy. Improvisasinya juga menawan," kata Gatot, yang pernah menonton konser Dream Theater di Singapura pada 2006. "Kalau layar ditutup pun, orang tidak bisa tahu bahwa yang main bukan Portnoy."

Mangini, bagaimanapun, memang salah satu pusat perhatian. Dalam 27 tahun riwayat Dream Theater, keberadaan drumer baru merupakan perubahan besar—barangkali tak terbayangkan sebelumnya. Portnoy bukan saja anggota pendiri, tapi juga sudah seperti, katakanlah, sutradara satu film atau manajer suatu klub sepak bola: dia diganti, maka keberadaan band atau setidaknya arah musiknya bisa sangat bermasalah.

1 1 1

Perkenalan dua sekawan Petrucci dan Myung dengan Portnoy adalah momen yang menjadi titik awal Dream Theater. Ini berlangsung di Berklee College of Music, Boston, Massachusetts, pada 1980-an. Dengan minat musik yang beririsan, antara lain menyukai Rush, Yes, Pink Floyd, Iron Maiden, bahkan sejumlah band speed metal dan hair metal kala itu, mereka bersepakat membentuk Majesty pada 1985. Kevin Moore (keyboard) dan Chris Collins (vokal) melengkapi formasi.

Sempat merekam sejumlah demo, lalu mengganti Collins dengan Charlie Dominici, dan menukar nama dengan Dream Theater, mereka mengeluarkan album debut pada 1989. Tapi, karena promosi minim, album berjudul When Dream and Day Unite ini kurang bergaung.

Baru pada 1992, melalui Images and Words, dengan LaBrie menggantikan Dominici, mereka mencapai sukses artistik dan komersial. Kritikus menahbiskan album ini sebagai tonggak penting persemaian aliran progressive metal. Dan berkat Pull Me Under, salah satu lagu di dalamnya, Dream Theater memperoleh ekspose tinggi di radio-radio dan kemudian juga MTV.

Jalan menjadi lapang. Pergantian personel berikutnya—Kevin Moore keluar dan posisinya diisi Derek Sherinian, lalu Jordan Rudess menggantikan Sherinian—sama sekali tak menghalangi laju kreativitas. Album-album selanjutnya, meski tak menyamai sukses komersial Images and Words, kian mengukuhkan formula musik dan pencapaian mereka. Penggemar baru bisa dijaring. Awake (1994), album sebelum Moore mengundurkan diri, misalnya, menyadarkan Gatot, yang pada 1990-an merasa kehilangan musik kesukaannya, bahwa "musik progresif masih ada".

Salah satu penggambaran gaya musik Dream Theater adalah ini: ada elemen progresif ala Rush, kegarangan khas speed metal, dan melodi megah yang bisa mengajak penonton sestadion ikut bernyanyi. Portnoy punya versi lebih ringkas: musik Dream Theater berfokus pada tiga elemen, yakni metal, melodi, dan progresif. Mau dipakai yang mana pun, tuntutannya adalah kemampuan bermain instrumen yang tak sembarangan.

Dengan itu, sampai saat merilis Black Clouds & Silver Linings (album kesepuluh, 2009), Dream Theater telah menjual sepuluh jutaan kopi album-albumnya di seluruh dunia. Mereka bisa dibilang sudah menjadi entitas bisnis dengan mesin uang yang terus berdering. Sukses di sisi lain: Petrucci, Portnoy, dan Myung juga mengoleksi aneka penghargaan, masing-masing dalam pencapaian sebagai gitaris, drumer, dan pemain bas.

Ketika, pada September 2010, Portnoy memilih keluar setelah usulnya agar mereka rehat dulu ditolak, Dream Theater, meminjam kata-kata Petrucci dalam satu wawancara, "berada dalam situasi yang asing". Sesuatu yang tak terbayangkan terjadi juga. Tapi Petrucci dan rekan-rekannya memilih jalan terus. Melalui audisi yang melibatkan tujuh drumer yang dianggap paling jago sejagat, masuklah Mike Mangini. Bersama profesor di Berklee College of Music ini, mereka merampungkan A Dramatic Turn of Events, yang dirilis pada September 2011.

Sebagian besar materi dari album kesebelas itulah yang menjadi tulang punggung repertoar tur dunia mereka kali ini. Termasuk pertunjukan di Jakarta, yang ditopang peralatan seberat 8,4 ton.

1 1 1

Di panggung dengan backdrop tiga segi enam (atau kubus, dengan cara pandang lain) yang menjadi layar bagi tayangan beraneka klip dan animasi, malam itu Mangini terus menebar senyum di balik instalasi masif perangkat drumnya. Rambutnya tergerai, lebih panjang daripada saat mengikuti audisi tahun lalu, yang rekamannya disisipkan sebagai bonus di album terbaru. Dia melalui titian sempit antara kesempatan berimprovisasi dan keharusan memainkan bagian yang sudah tersusun ketat seolah-olah tanpa bersusah payah.

Namun kesan rileks dan lepas tak hanya terlihat pada Mangini, tapi juga pada Petrucci, Rudess, dan Myung. Mereka terlihat seperti seharusnya satu tim. "Itu salah satu beda konser ini dibandingkan dengan konser di Singapura enam tahun lalu," kata Gatot. "Mungkin karena kini justru tidak ada Portnoy."

Selepas Outcry yang penuh tikungan dan duel unison, tempo diturunkan sejenak. "Ini sungguh menakjubkan," kata LaBrie sebelum mengambil napas menyanyikan The Silent Man dan Beneath the Surface diiringi gitar akustik Petrucci—momen kesekian yang mengundang penonton ikut bersenandung.

Dan momen kor datang lagi sebagai keniscayaan ketika Pull Me Under dibawakan di bagian encore untuk mengakhiri pertunjukan. Penonton kembali histeris sejak Petrucci membunyikan not-not intro pada gitarnya.

Lost in the sky/ Clouds roll by and I roll with them

Arrows fly/ Seas increase and then fall again

This world is spinning around me/ This world is spinning without me...

Jakarta pun masuk ke memori Dream Theater. "Salah satu pengalaman konser DT terbaik," Rudess ngetwit di akunnya tak lama setelah pertunjukan tamat. Gatot merasakan kesan serupa. Meski batal datang bersepeda, dia tetap merasa puas karena keinginannya menghirup atmosfer di antara audiens Jakarta—yang dia yakin pasti jauh lebih menggairahkan ketimbang di Singapura—terpenuhi.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus