Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Di Bekas Rumah De Kock

Di gedung Museum Diponegoro, Magelang, aktor Landung Simatupang melakukan dramatic reading penangkapan Pangeran Diponegoro.

2 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertunjukan itu dibuka dengan duel dua lelaki bertopeng. Seorang berbaju serba putih, lawannya berpakaian hitam. Menunggang kuda lumping, mereka baku tendang. Gamelan terus ditabuh. Layar putih di panggung menampilkan gambar kaum pribumi dan pembesar Belanda.

Pemandangan itu berakhir ketika seorang lelaki naik ke atas ambin bambu di tengah panggung. Ia berjubah hitam dan berikat kepala motif batik. "Bulan 9 tahun 1929, ada gelagat yang jelas Perang Jawa sedang mendekati akhirnya," kata Landung Simatupang, lelaki itu, mulai membaca teks pada segepok kertas di genggamannya.

Inilah awal dari pentas pembacaan dramatik (dramatic reading) tentang Pangeran Diponegoro di gedung Museum Diponegoro, Magelang, Jawa Tengah, Ahad malam pekan lalu. Pementasan bertajuk Sang Pangeran di Keresidenan itu memanfaatkan teras gedung bekas kediaman Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Merkus de Kock.

Di tempat itu pula De Kock menangkap Pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830. Kala itu Idul Fitri, De Kock mengundang Diponegoro merayakan halalbihalal. "Terjadi di ruang baca De Kock, di situ," ujar Landung seraya menunjuk kamar di sisi kiri panggungnya. Landung menceritakan kronologi penangkapan tersebut.

De Kock mempersilakan Diponegoro masuk ke ruang baca. "Ya, mungkin di sini," kata Landung, memperkirakan posisi itu tepat di tempatnya kini berada. Landung melanjutkan membaca naskah. "Di pihak Belanda ada perwira staf De Kock, Letnan Kolonel W.A. Roest, Mayor Ajudan De Stuer, dan juru bahasa militer Kapten J.J. Roeps."

"Di luar ruang baca ada perwira Belanda lain: letnan komandan artileri medan Kolonel A. De Kock van Leeuwen dan pemimpin pasukan kavaleri Mayor Johan Jacob Perie. Mereka sengaja ditempatkan De Kock untuk mengawasi pengikut Diponegoro. Sepasukan tentara di bawah komando Letnan Kolonel Du Perron bergerak melaksanakan perintah De Kock: meringkus pengiring Diponegoro, melucuti senjatanya. Di dalam ruang baca, De Kock meminta Diponegoro tak usah pulang...."

Jawaban Diponegoro ditembangkan oleh Gati Andoko, lulusan antropologi Universitas Gadjah Mada sekaligus koreografer dalam pementasan itu.

Sri Nalendra mengkana ngandika haris,
pan sebab punapa, yen kula tan haweh mulih,
neng ngriki punapa karya

mapan kula prapta yun sobat sayekti,
sadhela kewala, pun hadat jawa puniki,
lamun sampun bakda pasa

hingkang hanom lumaku mring homahneki,
hingkang prenah tuwa, ngilangken sagung puniki,
marang sakeh luputira.

(Mengapa saya tak boleh pulang, Jenderal? Yang saya lakukan ini adalah sebagai sobat sejati, berkunjung sebentar. Sudah kebiasaan di Jawa, pada waktu selesai puasa yang muda mendatangi rumah yang dituakan, untuk menghapus semua kesalahan. Andalah yang tua, Jenderal; jadi adat yang sama berlaku juga.)

Balasan De Kock disuarakan Landung, "Alasan saya menahan Anda adalah saya ingin semua persoalan diselesaikan hari ini juga." Diponegoro pun kaget. Itulah titik dramatik pembacaan. Menurut Landung, masih dalam pertanyaannya apakah benar Diponegoro tak tahu akan dikhianati. Bukankah sang pangeran dikenal memiliki firasat tajam?

Naskah Sang Pangeran di Keresidenan yang dibacakan Landung disarikannya dari dua sumber utama, yaitu Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, buku yang ditulis sejarawan Inggris, Peter Carey; dan Babad Diponegoro. Naskah itu disusun Landung menurut bahasanya sendiri. Direktur Bentara Budaya Hariadi Saptono mengatakan pementasan akan digelar di empat situs sejarah yang memiliki hubungan erat dengan cerita Diponegoro.

Selain di gedung Residen De Kock Magelang, tiga pementasan digelar di Ndalem Tegalrejo Yogyakarta pada Januari 2014, Museum Fatahilah di Jakarta, dan Benteng Rotterdam di Makassar pada Februari 2014. Di tiap lokasi itu naskah yang dibaca Landung berbeda, disesuaikan dengan fakta di tempat tersebut. Dan pada lokasi pertama ini, Landung sudah mampu membawa imajinasi kita. Suasana penangkapan itu tiba-tiba terbayang.

Anang Zakaria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus