DASAR anak tunggal, ia badung. Apalagi ketika ayahnya Tan
Soen-tjiang, Cina totok - tak bisa lebih setanun berumah-tangga
dengan isterinya, Dasih, wanita Betawi tulen asal Jembatan Lima.
Perkawinan itu tak disetujui oleh keluarga lelaki. Lalu ayahnya
kawin lagi dengan gadis Tionghoa. Karena itu, dibanding ke
delapan adiknya--yang kini semuanya sudah tiada --kulitnya
terbilang berwarna. Dari situ bermula ia dipanggil Si Item, dan
kemudian Pak atau Oom Item.
Ketika keturunan Cina ramai-ramai ganti nama Indonesia, ia
justru bertahan dengan nama pemberian orang-tuanya: Tan
Tjeng-bok. "Yang penting kan prilaku kita, sebagai ukuran
baik-tidaknya pribadi seseorang", kata aktor 3 jaman yang tetap
laris itu. Selain Si Item ia anggap sebagai nama Indonesianya,
lebih dari itu juga sebagai merek dagangnya sekaligus. Dalam
setiap pertunjukan di televisi, klab malam atau di mana pun --ia
selalu memakai nama itu untuk setiap tokoh yang ia perani.
Acaranya memang tak tetap. Tapi di televisi, sejak 4 tahun
lalu, sebulan 2 kali ia muncul dalam grup Senyum Jakrta
bersama artis-artis lama dan baru. Yang lama misalnya Netty
Herawaty, Darussalam, Djauhari Effendy. Yang baru: Mansyursyah,
Didit Kasidi, Lenny. Untuk pertunjukan di tempat lain sekarang
ia memakai namanya sendiri untuk grupnya, Tan Tjeng-bok Cs.
Sebelumnya, di klab malam, ia pernah memakai nama Metropolitan
Big Five. Tapi belum sampai 2 bulan grup ini bubar.
Karirnya yang pertama sebenarnya sebagai biduan - ketika umurnya
baru 12 tahun, di Bandung. Ia sendiri lahir di Jakarta 2 tahun
sebelum abad ke-l9. berakhir. Belum setahun, kedua orangtuanya
bercerai. Ibu tetap di Jakarta, ayah Hijrah ke Bandung. Selama 6
tahun dirawat ibunya, kemudian dibawa ayahnya ke Bandung. "Ibu
tiri maupun adik-adik dan ayah saya sebenarnya baik. Tapi entah
mengapa saya sering tak betah di rumah", katanya. Dan ia sendiri
mengaku, semasa kecil memang nakal.
Ngamen Itu Nista
Amat sering bolos dari Hollandsch Chinese School (setingkat SD)
di jalan Braga, berkali-kali gurunya melapor kepada
orang-tuanya. Saking pusingnya, baru sampai kelas 3 sang ayah
menyuruhnya berhenti. Toh ia tak bebas bermain. Ia belajar silat
di rumah, di bawah asuhan ayahnya sendiri yang konon pernah jadi
murid kedua seorang guru persilatan Sianw Lin-shi. Ia senang.
Karena kepatuhannya sewaktu-waktu ia mendapat kesempatan
main di luar rumah. "Tapi jangankan diijinkan, tanpa ijin pun
saya senang kluyuran", kata Tjeng-bok lagi mengenang masa
kecilnya.
Yang mengaet hatinya ternyata orkes kroncong. Mula-mula sebagai
penonton biasa, belakangan turun berjoget dan mencoba tarik
suara. Dengan lagu Kroncong Muritsku, ia berhasil. Terakhir ia
pun tercatat sebagai biduan Orkes Kroncong Si Goler pimpinan Mat
Pengkor. Tapi mendengar itu, ayahnya - yang sehari-hari
berdagang barang pecan-belah di jalan Klenteng, Bandung naik
pitam, karena memandang dunia ngamen sebagai nista. Maka Si Item
dihajar. Merasa tertekan, ia minggat ke Jakarta, mencari ibunya
yang ternyata masih tinggal di Jembatan Lima - sanpai
meninggalnya sekitar tahun 30-an.
Di Jakarta orkes kroncong lagi menjamur saat itu. Tapi Si Item
tak lagi berminat. Ia malah jadi kranjingan pada Wayang Cina,
semacam stamboel atau komedi bangsawan, sejenis perkumpulan
sandiwara Miss Tjitjih di Jakarta sekarang. Bedanya, Wayang Cina
hanya memainkan cerita-cerita Tiongkok. Ia ikut rombongan Sui
Ban-lian yang waktu itu main tetap di Serina Park, persisnya di
Pasar Bulan, Mangga Besar. Meski hubungannya dengan sutradara
Tek Bie intim betul, toh selama 3 bulan tak sekali pun ia diajak
main. "Soalnya para pemain suka ngisap candu. Saya tidak. Saya
cuma ditugaskan jadi pesuruh saja", tuturnya.
Mendadak ayahnya menyusul. Tapi di Bandung, ia tetap saja
kluyuran. Suatu kali, malam Tahun Baru Imlek saat banyak orang
ngamen -- ia bergabung dengan rombongan lenong Si Ronda
pimpinan Ladur. Habis Imlek, rombongan berkeliling ke
perkebunan-perkebunan di Jawa Barat. Dan ketika itulah ayahnya
tak sabar lagi. Ia diusir Sejak itu tak lagi berjumpa dengan
ayahnya--sampai di tahun 20-an ia mendengar kabar si ayah
meninggal.
Rombongan Si Ronda berkeliling jalan kaki. Dari Bandung ke
barat, pernah sampai Puncak, Bogor. Ke arah lain pernah sampai
Sumedang. Karena administratur perkebunan yang orang Belanda tak
suka lenong, yang menanggap mereka cuma mandor-mandor saja. Itu
pun tak setiap mandor. Maka pahit getir pun ia rasakan: dalam
perjalanan mereka tak jarang kelaparan. Untung, daerah
perkebunan begitu luas hingga tidak setiap meter terawasi
penjaga. Maka Ladur, pemimpin rombongan dan 18 anak-buahnya, tak
ragu-ragu menyikat buah apa saja yang mereka jumpai.
"Satu batang rokok cap Bolong terbuat dari tembakau Jawa,
rasanya seperti rokok putih sekarang --terkadang diantri oleh 8
orang" kata Tjeng bok. Begitulah,selama 6 bulan Si Ronda
mengembara. Kembali ke Bandung. Tjeng-bok bergabung dengan
stamboel Indra Bangsawan. Mula-mula diterima sebagai tukang
membenahi panggung. Belakangan, toneel directeur (sutradara)
Djalfar Toerki menariknya sebagai pemain pembantu. Ia puas.
Soalnya 'stambul yang ini dari seberang, kalau tak salah dari
Inggeris".
Ratna Asan
Tak krasan ikut stambul, ia bergabung dengan orkes Hoetf scher
pimpinan Gobang, keliling Jawa. Dari kota ke kota, namanya mulai
tenar. Lagu yang sering dibawakannya tetap kesayangannya yang
dulu: Kroncong Muritsku. Kepuasan dengan grup ini pun tak sebe
rapa. Di Bangil, ia ketemu opera Dardanella pimpinan Pedro yang
keturunan lusia. "Dengan Dardanella inilah saya baru merasa
puas. Saya lupa daratan Keliling terus, boleh dikata dari Sabang
sampai Merauke".
Dikenal sejak 1915 sampai menjelang 1940, grup ini memang luar
biasa waktu itu. Main di setiap kota sampai berbulan-bulan,
Dardanella selalu menyewa gedung bioskop untuk panggungnya. Di
Jakarta, biasanya main di bioskop Thalia. "Ceritanya
hebat-hebat, sering kali karya Shakespeare", ujar Tjengbok
mengenang bangga. Misalnya Hamlet, Romeo and Juliet dan
lain-lain. Tapi juga cerita-cerita 1001 Malam seperti Thief of
Baghdad, atau cerita-cerita film seperti Mark of Zorro, Son of
Zorro, The Three Musketeers.
Sesudah marhum Andjar Asmara masuk, tahun 1920, sering juga
dimainkan naskah karangan bekas wartawan terkenal majalah
D'Orient itu. Antara lain Rantai 99, Boven Digoel, Soeara Dala
Koeboer, Medan bij Nacht Yang paling terkenal adalah cerita Dr.
Samsi, dimainkan oleh pasangan Astaman sebagai Dr. Samsi dan Tan
Tjeng-bok sebagai Leo van de Bruijn. Untuk membekali ketangkasan
pemain-pemainnya, Pedro tak tanggung-tanggung memanggil guru
khusus untuk mengajar 'seni' akrobatik seperti trapeezee,
ringen, shandowtracker. Mengenang marhum Pedro, Tjeng-bok
berkata: "Saya berterima-kasih kepadanya. Karena dialah, saya
dulu pandai main anggar. Lantas sukses dalam karir saya,
sampai-sampai digelari orang Douglas Fairbanks van Java".
Douglas Fairbank Sr (1883 -1939) adalah bintang film dan
produsir Hollywood yang lebih terkenal karena peranan-peranannya
sebagai pahlawan, antara lain dalam film-film The Mark of Zorro
(1920), The Three Musketeers (1921, Robin Hood (1922), The
Black Pirate ( 1926) dan The Iron Mask (1929 ) . Bersama Charlie
Chaplin ia mendirikan perusahaan film United Artists.
Bintang Dardanella yang lain, misalnya Riboet Dua dan Miss Dja.
Tapi honor Tjengbok menurut pengakuannya paling tinggi di antara
semua pemain. Itulah sebabnya, ketika itu, ia hidup mewah -
punya mobil sedan 8 silinder merk Studebaker seharga 2.000
gulden. Kalau Dardanella main di Jakarta, ia tidur di sebuah
hotel di Bogor. Tapi musim bukannya tak pernah berubah. Akhir
tahun 30-an Dardanella melaneong ke luar negeri. Ia tak bernafsu
ikut . 'Bagaimana mungkin akan berhasil kalau pemain-pemainnya
tak mahir bahasa Inggeris?", begitu pikiran Tjeng-bok. Benar.
Karena yang bisa ngomong Inggeris cuma Anjar Asmara, sampai di
India Dardanella bubar. Sebagian anggotanya, termasuk Anjar
AsmaraKembali ke tanah air. Selebihnya berkelana, antara lain
Miss Dja yang sampai kini menetap di AS bersama anak
perempuannya Ratna Asan, yang belakangan main dalam film
Papillon bersama Steve McQueen.
Nyaris bagaikan cerita panggung, perjalanan karirnya tak sepi
dari pasang-surut. Begitu Dardanella tutup layar, Tjeng-bok ikut
sandiwara keliling Orfeuse pimpinan Manoch, kemudian juga Star
pimpinan Afiat. Biar pun diperkuat oleh si Douglas Fairbanks van
Java tak satu pun grup-grup itu mampu mengulang kecemerlangan
Dardanella. Untung keadaan segera berubah, dan nasib Si Item pun
berubah pula. Menjelang Jepang masuk, di Jakarta berdiri
perusahaan Java Industrial Film (JIF) milik The Tjeng-boen.
Dengan JIF inilah Si Item memasuki babak baru: perfilman.
Film pertamanya Srigala Hitam. Disutradarai Tan Tjoei-hok,
pemilik studio Hajam Woeraek. Itu sudah jamannya Film bicara
"Tentu saja tidak sebaik film-film sekarang yang pengisian
suaranya pakai dubbing. Dulu teknik rekamannya langsung ketika
shooting", kata Tjeng-bok. Kawan mainnya dalam film itu antara
lain Muhammad Mohtar dan Hadidjah, ibunya violis Idris Sardi.
"Ketika itu cuma saya yang dikontrak. Lainnya pemain lepas. Saya
dikontrak 3 tahun dengan bayaran 250 gulden sebulan",
tambahnya. Kontrak belum berakhir, studio Hajam Woeroek keburu
diduduki Jepang.
Jadi Kenek Oplet
JIF pun berantakan, meskipun sebelumnya sempat menyelesaikan
beberapa film yang dibintangi Tan Tjeng-bok: Ajah Berdosa, Si
Gomar, Singa Laoet, Rentjong Atjeh. Dengan film-film yang dibuat
setelah kemerdekaan sampai kim, Tjeng-bok sudah main tak kurang
untuk 50 judul. Filn-filmnya yang kemudian ini antaranya:
Sebulan Di Ibukota, Badai Selatan, Aku Tak Berdosa, Ketemu
Jodoh, Tabah Sampai Akhir, Drakula Mantu. Paling akhir adalah
Sjahdu, disutradarai oleh John Tjasmadi, yang sampai kini belum
beredar.
Ia juga pernah main ludruk dan ketoprak. Setelah JIF bangkrut,
ia masuk Miss Tjitjih pimpinan Said Abubakar Bafagih, yang
ketika itu main secara tetap di Kebon Pala, Jakarta. Sekarang,
seperti diketahui, di Jelambar di sebelah barat kota -- setelah
beberapa waktu pindah-pindah tempat. Pernah tinggal di Bandung,
Tjeng-bok tak sulit main dalam cerita-cerita berbahasa Sunda.
Said Abubakar bahkan pernah mempercayakannya menyutradarai
beberapa lakon, di antaranya Fir'aun, Sultan Hasanuddin dan
cerita-cerita kepahlawanan lainnya. Tapi toh ada juga kesulitan
lain yang justru tidak terduga: penguasa melakukan sensus
terhadap emua orang Cina, yang kemudian diharuskan bayar pajak
orang asing
Karena di Jawa Timur semua tak begitu ketat ia lari ke sana. Di
masa itulah ia ikut rombongan ludruk, juga ketoprak, bahkan juga
rombongan wayang orang Wargo Wardowo pimpinan Ripto di Surabaya.
Ia ditugaskan sebagai penata teknik dan pengurus peralatan pang
gung. Dua pekan lalu, di rumah nya di jalan Bandengan Utara
Gang Makmur Jakarta Utara, ia berkata: "Harap dicatat, sayalah
orangnya yang membongkar. ludruk, ketika itu, menjadi tidak
melulu memakai bahasa Jawa". Bagaimana bentuk 'pembongkaran' itu
secara terperinci, tidak sempat diterangkan. Yang pasti, setelah
Proklamasi ia kembali ke Jakarta. Tidak lagi kluyuran. Kecuali
kalau ada panggilan main di tempat lain atau ia sendiri sengaja
berlibur.
Meski begitu, di Jakarta nasibnya tidak lantas baik. Kehidupan
sandiwara di awal Republik berdiri memang agak suram, setidaknya
tak sebagus yang dibayangkannya ketika masih di Jawa Timur.
Maka ketika seorang kawannya mengajak jadi kenek oplet, ia tak
menolak. Tapi dua tahun bekerja ia merasa tak cocok. Sambil
tetap menumpang di rumah kawannya di Gudang Arang di Jakarta
Kota, ia mencoba jual obat. "Ayah saya dulu juga pandai
mengobati sakit eksim. Bahan-bahannya dari reramuan daun dan
akar-akaran. Saya masih hafal resepnya". Bahkan ayahnya pernah
berpesan agar sesudah dewasa kelak ia mempraktekkan kebolehan
itu untuk menolong orang lain, tanpa bayar.
Apa boleh buat, warisan itu akhirnya ia praktekkan justru untuk
mencari nafkah. Ia pasang iklan dan peminatnya ternyata
lumayan. Setiap penderita kebetulan selalu sembuh dengan cepat.
Dan suatu waktu, persisnya lupa, ia ketemu marhum Bing Slamet
yang sudah lama mengenalnya. Bing mengajaknya melawak di Princen
Park, taman hiburan Lokasari sekarang. "Bak buaya tak melewatkan
bangkai, saya sambut ajakan Bing dengan gembira", katanya. Baru
setelah itu karirnya sebagai tukang ngamen nyambung lagi, meski
'jabatan' sebagai tukang obat tak ditinggalkannya. Cuma tak lagi
pasang iklan - hanya kalau ada orang datang saja.
Ia sudah tua sekarang. Garis-garis di wajahnya sudah dalam.
Tapi kulitnya belum rapuh betul.Mata dan kupingnya masih
berfungsi baik. Ia masih tampak sehat, memang. Waktu kanak-kanak
dulu suka berenang, tapi bukan di pemandian yang resmi. Cuma di
kali Ciliwung atau Angke - karena ibunya, sesudah menjanda, jadi
tukang cuci pakaian yang tentu saja selalu bergiat di pinggir
sungai. Si Item kecil ketika itu memang membantu memikul bakul
cucian ke sana. Sesudah dewasa, beberapa waktu ia senang juga
jalan kaki. Sebelum jam 5 pagi biasanya sudah bangun dan dari
rumahnya, di bilangan Bandengan Jakarta Kota, jalan kaki ke
Kantor Pos. Pulang-pergi jaraknya lebih dari 3 kilometer. Itu
beberapa waktu yang lalu. Sekarang jarang.Malas " katanya.
Rumahnya yang ia tinggali sekarang miliknya sendiri. Dibeli Rp
65 ribu 14 tahun lalu, setelah bertahun-tahun ngontrak melulu di
Gudang Arang. Meskipun bangunannya bertingkat, rumah itu
kelihatan agak sarat. Ukurannya cuma 4 x 9 meter tapi
penghuninya 9 orang: Tjeng-bok sendiri, plus Sarmini
isterinya ibu mertua, satu anak perempuan berikut suami, 3
cucu dan seorang lagi yang numpang. Anaknya sebenarnya 2 orang,
cucu 8 orang. Anak yang tinggal bersamanya sekarang yang nomor
2, Sri Anami namanya, perempuan. Sejak umur 8 tahun, Sri Anami,
isteri pegawai perusahaan Telesonic itu, jadi pemain wayang
orang. Berhenti 7 tahun lalu -- setelah berumur 25 tahun
lantaran berumah-tangga. Tak Tjeng Bok yang pertama kini di
Purbolinggo, juga perempuan. Nawangsih namanya. Suaminya bekerja
di pabrik gula.
Perkawinan Tjeng-bok--Sarmini sudah berumur lebih 30 tahun.
Menurut Tjeng-bok, isterinya yang berasal dari Jawa Timur itu
isterinya yang terakhir.Isteri pertama dan kedua, orang Bandung.
Isteri ke-3 sampai 10, dari Jawa Timur. Katanya sendiri, jumlah
isterinya nemang bukan main, "lebih dari seratus". Tapi ia lupa
namanya satu-persatu.Yang jelas, perlama kali ia menikah tahun
1917. "Yang paling berkesan ialah isteri saya yang kedua. Saya
berumah-tangga sampai 2 tahun", katanya. Dua tahun merupakan
rekor terlama, sebab dengan isteri-isteri lainnya (sebelum
Sarmini), cuma bisa bertahan tak lebih dari 3 bulan saja ....
Jual Layang-layang
Ada sebab lain mengapa rumahnya terasa sumpek. Meskipun
Tjeng-bok mengambil tempat sendirian di tingkat dua, tak dengan
sendirinya ia leluasa Potret-potret, guntingan koran, komik dan
poster-poster serta banyak kertas-kertas lagi tak sedikit
menyita ruangan: menempel di dinding dan bertumpukan pula di
meja. Dua kursi plastik dan kursi kebun, juga ada di sana. Di
bawah, selain padat oleh 8 penghuni juga padat barang-barang.
Satu ruangan besar bagian depan untuk warung.
"Isteri saya itu iseng. Dia buka warung", katanya. Warung itu
kelihatannya lengkap menjual keperluan harian. Ada beras, gula,
kopi, minyak goreng, minyak tanah, arang. Juga segala macam
barang kelontong seperti benang jahit. ember plastik, bahkan
juga layang-layang. Jalan depan rumahnya pun cuma 1 meter. Dan
kampung itu memang cukup padat penduduk. Rumah-rumah berdempet,
nyaris tak berjarak. Bocah-bocah pun lumayan banyak.
Tetapi keluarga itu tampaknya betah di sana. Setidaknya
sehari-hari kelihatan rukun dan damai. Kalau tak ada acara
Tjeng-bok lebih sering di rumah saja. Sehari-harian di loteng.
Kalau tak menerima tamu ya baca koran, komik atau mendengarkan
musik. Tapi kalau di halaman ada yang berteriak: "Oom Item ada
tamu! Oom Item ada tamu!", dan ia tak menyahut -- itu tandanya
ia lagi tenang mendengkur di kursi, atau di dipan di ruangan
bawah. Soalnya, siang-siang, sorot matahari begitu getol di
bagian atas. Dan si Oom yang sudah uzur ini acap kali begitu
lesu buat menantangnya. Tapi jangan dikira ia sudah layu. Main
dalam film Syahdu, ia toh masih sanggup merogoh honor nyaris Rp
1 juta dari kantong produsir. Dan untuk setiap panggilan
pertunjukan, ia memasang tarip Rp 250 ribu ke atas, main di
TVRI, ia cuma mendapat Rp 10 ribu. "Dalam hal ini saya tak
memperhitungkan honor. Yang penting, penampilan itu sebagai
bukti bahwa saya masih artis", katanya. Maklum. Sebab apa yang
telah ditumpuknya sepanjang usianya itulah sebenarnya
satu-satunya hidupnya: di panggung, atal untuk penonton -- dan
tidak di tempat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini