Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Di Tepi Kali Bedog

Di sebuah panggung di bantaran sungai yang diterangi ratusan sentir, para penari itu bergantian tampil.

9 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nungky Nur Cahyani penari dari Yogyakarta. Asuka Kanemori penari dari Jepang. Keduanya sebelumnya tak saling kenal. Mereka bertemu di Studio Banjarmili milik Martinus Miroto, penari kontemporer Yogyakarta, yang letaknya persis di pinggir Kali Bedog, Dusun Kradenan, Sleman, Yogyakarta. Selama lima hari mereka berlatih bersama. Itu pun hanya sekitar dua jam.

Tiap pagi Nungky harus mengantar anaknya ke sekolah dasar, lalu mengejar kereta Prambanan Ekspres ke Solo untuk berlatih tari bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Code Dance. Siangnya, lulusan Institut Seni Indonesia Surakarta itu kembali ke Yogyakarta untuk bekerja sebagai konsultan nutrisi, hingga sore. Lepas magrib, barulah dia bertemu dengan Asuka di Studio Banjarmili.

Dan malam itu, mereka menyajikan sebuah karya dari proses yang singkat tersebut. Berbalut kain putih keperakan, Asuka dari panggung berlari menuju jembatan di atas sungai. Brak, brak, brak! Kakinya mengentak saat berlari menuju jembatan di atas sungai. Ia tak peduli jembatan kayu selebar satu meter yang dipijaknya bergoyang dan 10 meter di bawahnya bebatuan cadas menanti.

Nungky muncul di panggung. Pandangan penonton kembali ke tempat Asuka semula tampil. Gerakan Nungky lambat, tak banyak mengeksplorasi gerak kaki. Gerakannya seperti penari serimpi. Nungky kemudian menyusul Asuka, yang terus menari di atas jembatan. Keduanya mendekat hingga berhadap-hadapan, lalu membentangkan kedua tangan masing-masing, seakan-akan hendak berpelukan, tapi tak jadi, lalu bergerak cepat dalam ritme dan pola yang sama. "Saya berperan sebagai yang ngemong dengan gerakan yang lebih pelan, seperti menanti, lalu mengimbangi," kata Nungky.

Inilah Festival Kali Bedog yang digagas penari Miroto, sebuah festival bebas—mengeksplorasi sungai dan jembatan. Siapa pun boleh ikut, tanpa seleksi yang ketat. Festival ini dimulai pada 2007, dirintis Miroto bersama Gusti Kanjeng Ratu Pembayun dan sineas Garin Nugroho. Kali ini, sekitar 200 peserta tampil. Manuela Biesheuvel dari Belanda, Suji Dance Company, Anggoro, Mila Rosinta, Rizki Suharlin Putri, Topeng Ireng Magelang, dan Hip Hop Urban Step Dance Studio Solo di antaranya.

"Kami belum bisa membayar semua seniman yang ikut. Mereka datang atas kemauan sendiri. Hanya ada dana transportasi dan makan," kata Miroto. Menurut Miroto, para seniman asing bisa datang berkat hubungan pertemanan saja. "Saya jadi punya utang ke mereka. Kalau saya diundang, berarti harus mau, dibayar atau tidak."

Kolaborasi Asuka dan Nungky yang diberi judul True Colour itu termasuk yang mendapat aplaus meriah penonton. Namun Miroto menilai karya kolaborasi mereka masih pada tingkat dialog. "Belum lebur. Masih ada keraguan antara yang satu dan yang lain," ujarnya. Sejak berakhirnya era Bagong Kussudiardja, kata Miroto, tari kontemporer Indonesia seperti mengalami stagnasi. "Semua masih kerap berangkat dari tari tradisi yang dimodifikasi ulang. Kita harus mencari sumber lain, karena pada dasarnya penonton itu selalu baru dan mencari yang baru," ujar koreografer 53 tahun itu.

Untuk menggali kosa-gerak tari pula Miroto melirik pencak silat. Itulah sebabnya pada festival kali ini ia juga memasukkan silat Khrisna Murti Gaya Mataraman yang diolah bersama karate. Dia mengundang Mao Arata, penari Jepang yang juga terpilih sebagai karateka terbaik di seantero Jepang tahun ini, untuk mengawinkan dua jenis bela diri itu dalam satu pertunjukan tari.

Salah satu yang mencuat dalam festival ini adalah aksi Suji Dance Company. Kelompok asal Bangka Belitung asuhan koreografer Suji Haryanto itu melakukan gerakan membahayakan dalam tari Taber. Penonton sempat harus menahan napas sesaat ketika seorang penari menjatuhkan diri ke sungai yang hanya selebar 1,5 meter dari atas jembatan setinggi 10 meter. Di bawah penerangan minim, sang penari ternyata mampu mendarat tepat di cekungan terdalam sungai, sehingga tak tergores atau terbentur batuan cadas yang mengitari­nya. "Untuk terjun, hanya berlatih sekali, karena sempat takut, tapi yakin saja," kata Suji.

Taber adalah tari yang memodifikasi gerakan ritual adat Bangka Belitung untuk mengusir roh jahat lewat aksi saling lempar ketupat sebelum memasuki bulan puasa. Suji, lulusan Sekolah Menengah Kesenian Indonesia Yogyakarta, dikenal sebagai koreografer yang kerap melakukan aksi tak lumrah dalam pentasnya. Misalnya, ketika membawakan tari Budong Bulong di Yogyakarta International Performing Arts pada Oktober lalu, dia menggigit mati seekor ayam kampung di atas panggung.

Bagi Miroto, festival ini tidak sekadar memberi ruang bagi seniman, tapi justru menjadi momen untuk mengajak masyarakat menjaga sungainya—melarang mencari ikan dengan setrum dan racun. Itulah sebabnya mulai tahun ini festival ini juga masuk agenda rapat Jumat Kliwonan di desa.

Pribadi Wicaksono, Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus