Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
ODIR akhirnya katut Pak De ke Jakarta bersama arus balik pemudik Lebaran yang baru lalu. Urung mendaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) itu "resmi" jadi bagian dari kaum urban baru yang berburu pekerjaan di Ibu Kota. Untuk sementara, Pak De, yang sudah beberapa tahun menetap di Jakarta, bersedia menampung dia di rumah kontrakannya. Namun, merasa cuma sebagai penjaja keliling sayur-mayur, Pak De tak bisa mencarikan pekerjaan untuk si keponakan. Ia hanya bisa menyarankan keponakannya itu melihat-lihat iklan lowongan kerja di koran.
Rupanya tak banyak jenis pekerjaan, yang ditawarkan lewat iklan, yang cocok dengan kualifikasi pendidikan Qodir. Menyadari cuma lulusan sekolah menengah, ia pun sebenarnya tak muluk-muluk mencari kerja. Baginya sudah cukup bagus bila bisa jadi sopir, satpam, penjaga gudang, atau kurir. Mati-matinya jadi petugas dapur atau kebersihan. Syukur-syukur ketemu pekerjaan gambar-menggambar bangunan seperti yang dia pelajari semasa di sekolah. Namun inilah kesulitan Qodir berikutnya saat menyimak iklan lowongan kerja: dia tak akrab dengan istilah pekerjaan atau jabatan yang hampir semuanya berbunyi Inggris.
Sebutan sopir, misalnya, dalam iklan lowongan kerap ditulis driver. Besar kemungkinan sebutan itu masih dikenali secara luas, baik sebagai istilah maupun wujud pekerja(an)nya. Demikian pula istilah satpam sering dibayang-bayangi security, yang terkesan lebih gagah. Lalu, di manakah "penjaga gudang", "petugas dapur", dan "kurir", yang juga dicari-cari Qodir? Istilah berbagai "jabatan rendahan" itu dia temukan pada warehouse staff, kitchen crew, dan messenger setelah membolak-balik kamus Inggris. Sebutan lawas "juru gambar" terlacak pada drafter, yang mensyaratkan pendidikan SMK bangunan, yang terpasang dalam iklan mini sebuah perusahaan kontraktor.
Dunia kerja masa kini jelas jauh beda dengan, misalnya, ketika Thomas Stamford Raffles—dalam The History of Java (1817)—menemukan berbagai pertukangan di Tanah Jawa sekitar awal abad ke-19, semisal tukang watu (tukang batu), kemingan (tukang anglo), tukang pandom (penjahit), kemasan (tukang emas), dan sinarawedi (tukang perhiasan bebatuan). Jadi, konstruksi gambarannya, pekerjaan utama orang Jawa kala itu adalah menukang, selain bertani. Cap pribumi sebagai "tukang" itu juga dikukuhkan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Buktinya bisa dilihat pada buku ajar sekolah pertukangan (ambachtsschool) berbahasa Melayu, seperti Pada Menjatakan Beberapa Pekerdjaan Toekang-toekang (oleh J.L. van der Toorn, 1898), Pemimpin Toekang Kajoe (J. de Meij, 1931), Pengetahoean tentang Perkakas² dan Barang² Bakal oentoek Toekang Besi (W.H. Bouwman, 1933), dan Pemimpin Toekang Zetter dari Moerid sampai Djadi Zetter (Th. J. van Cleef, 1933).
Boleh jadi iklan lowongan kerja mutakhir mencerminkan kian membiaknya diferensiasi tugas dalam dunia kerja modern sebagaimana digagas Emile Durkheim lebih dari seabad lalu, sejak sosiolog Prancis itu menulis The Division of Labour in Society (1893). Istilah pekerjaan atau jabatan makin terperinci dan rumit. Urusan keuangan suatu perusahaan, misalnya, ditangani finance manager, account executive, purchasing staff, billing collector, dan semacamnya. Usaha konstruksi memerlukan project manager, site surveyor, civil engineer, dan sebagainya. Bisnis pertambangan membutuhkan subsurface manager, drilling engineer, mine superintendant, dan seterusnya. Hotel dan restoran berbintang merekrut regu chef untuk meracik aneka masakan.
Tak semua istilah Inggris dalam iklan lowongan kerja ditulis dengan beres. Sebuah perusahaan swasta nasional, contohnya, memasang iklan yang kacau: "membutuhkan tenaga professional (rangkap ‘s’) yang berdedikasi sebagai accounting, legal, internal audit". Mestinya, istilah pekerjaan itu merupakan kata ganti orang sehingga menjadi accountant, legal officer, dan internal auditor. Pertanyaannya, apakah penginggrisan semacam itu merupakan "tuntutan" yang benar-benar dipahami ataukah sekadar gaya. Tentu wajar belaka jika lowongan tenaga security investigator di sebuah kedutaan asing diiklankan dalam bahasa Inggris. Namun sebagian iklan yang lain tampak cuma ingin tampil "modern" tapi diekspresikan secara salah.
Apakah tidak ada kosakata Indonesia untuk menyebut istilah pekerjaan/jabatan itu? Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa telah menawarkan Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing (edisi pertama, 1995). Cakupannya cukup luas: bisnis dan keuangan, industri, olahraga dan seni, pariwisata, perhubungan dan telekomunikasi, perlengkapan pribadi, serta properti. Istilah supervisor, misalnya, ditawarkan jadi "penyelia" sehingga tax supervisor disulih "penyelia pajak", yang malah terkesan ramah. Kalau mau, personnel manager, quality controller, dan sales head—contoh yang lain—bisa diganti "manajer kepegawaian", "pengawas mutu", dan "kepala penjualan". Entah mengapa tawaran Pusat Bahasa itu terasa mejen di tengah jalan.
Naga-naganya iklan lowongan kerja kontemporer bukan hanya ungkapan kebahasaan. Mungkin inilah buntut perkembangan masyarakat pascaindustri di Barat yang mengibas-ngibas di negara berkembang seusai Perang Dunia. Industri pelayanan dan kerja kantoran melejit pesat dan menumbuhkan kelas menengah kota. Namun usaha kecil tergusur oleh konglomerasi raksasa yang dalam operasi dan organisasinya berkiblat ke idiom internasional. Maka "pencuci piring" mesti disebut dishwasher, dan ruang bagi pencari kerja seperti Qodir pun semakin sempit.
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo