Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kenaikan Upah Buruh dan Ekonomi Indonesia

9 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fauzi Ichsan*

Sebagai ekonom pasar finansial, saya jarang mengikuti perkembangan di sektor riil, apalagi yang berhubungan dengan industri padat karya, seperti tekstil, garmen, dan sepatu. Namun kenaikan upah minimum provinsi (UMP) per bulan yang tajam untuk 2013 (UMP DKI Jakarta, misalnya, naik 44 persen ke Rp 2,2 juta) telah memicu kekhawatiran investor finansial. Investor saham khawatir biaya produksi akan naik dan akibatnya laba korporasi serta harga saham akan turun. Investor obligasi juga khawatir produsen akan mengalihkan kenaikan biaya produksi ke harga produk sehingga memicu kenaikan inflasi, yang menggerus imbal hasil obligasi.

Lepas dari justifikasi kenaikan UMP, adanya sweeping oleh buruh yang berunjuk rasa (menuntut kenaikan UMP dan diakhirinya outsourcing) terhadap mereka yang tidak ikut berdemonstrasi turut membuat investor bergidik. Isunya sekarang bukan hanya kelayakan upah, yang bisa dinegosiasikan, melainkan juga keamanan dan kepastian hukum. Pertanyaannya, apakah dampak memburuknya hubungan industrial akan menekan pertumbuhan investasi dan, pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia?

Di sisi buruh, kenaikan UMP wajar karena sesuai dengan kenaikan biaya kebutuhan hidup layak (KHL). Di DKI, misalnya, KHL 2012 ditetapkan sebesar Rp 1,9 juta. Dengan naik pesatnya harga properti di kota besar Indonesia, biaya sewa rumah pun ikut naik dan mendongkrak KHL. Selain itu, rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 2013, jika terealisasi, akan terus menaikkan KHL. Tanpa adanya jaminan sosial yang pasti (seperti pendidikan dan layanan kesehatan gratis dari pemerintah), UMP menjadi bagian dari "jaminan sosial" untuk menjaga kesejahteraan buruh yang harus dibayar pengusaha.

Di sisi pengusaha, rencana kenaikan UMP tentu memberatkan. Apalagi bagi industri padat karya, yang keuntungannya tipis dan bersaing ketat di pasar ekspor dengan negara yang upah buruhnya lebih murah. Menurut Japan External Trade Organization, pada 2012 (sebelum kenaikan upah minimum provinsi) UMP Jakarta sebesar US$ 167, di atas Manila (US$ 153), Bangkok (US$ 136), Mumbai (US$ 103), Ho Chi Minh (US$ 95), Colombo (US$ 60), dan Phnom Penh (US$ 55).

Pengusaha Indonesia juga berargumentasi, walau UMP di beberapa kota Asia lebih tinggi daripada Jakarta (Shanghai US$ 203, misalnya), infrastruktur di sana jauh lebih baik sehingga biaya logistik lebih rendah dibanding Jakarta. Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia, bagi industri padat karya serta usaha kecil dan menengah (UKM), biaya buruh mencakup 25-30 persen dari biaya produksi. Sedangkan bahan baku sebesar 55-65 persen dan overhead (antara lain, listrik, logistik, dan pajak) 10-15 persen.

Jika laba perusahaan minim (5-7 persen di atas biaya produksi), kenaikan UMP yang tajam akan merugikan perusahaan. Bagi perusahaan tersebut, jika kenaikan UMP tidak bisa ditangguhkan, pilihannya tiga. Pertama, mengurangi jumlah buruh yang dipekerjakan dan merelokasi pabrik ke provinsi yang UMP-nya masih rendah. Kedua, memangkas kualitas produk. Ketiga, mengalihkan usaha dari produksi ke berdagang dengan mengimpor barang dari negara yang biaya produksinya lebih murah. Masalahnya, jika perusahaan tersebut bersaing di pasar ekspor, pilihannya tidak banyak selain menutup usaha.

Pengusaha khawatir pula kenaikan UMP yang tajam akan memiliki knock-on effect. Buruh supervisor yang upahnya di atas UMP tapi upah anak buahnya naik tajam tentu akan menuntut kenaikan upah pula. Mereka juga khawatir besarnya kenaikan UMP 2013 bakal menjadi patokan kenaikan di masa depan.

Ekonom yang mendukung kebijakan intervensionis dan kenaikan UMP mengatakan, selama sepuluh tahun terakhir, kesenjangan ekonomi antara yang mampu dan yang tidak mampu terus memburuk jika dipantau melalui indikator Gini coefficient of inequality. Salah satu cara mengurangi kesenjangan ini adalah menaikkan UMP, mengingat masih lemahnya jaminan sosial. Para ekonom ini berpendapat pula bahwa kinerja sektor korporasi Indonesia sangat baik.

Dari 2005 sampai 2011, laba korporasi Indonesia tumbuh rata-rata 21,4 persen per tahun dibanding, misalnya, 19,9 persen di Cina, 16,3 persen di Turki, 15,1 persen di India, dan 8,2 persen di Brasil. Pendek kata, sektor korporasi Indonesia adalah salah satu pencetak laba terbesar di dunia, dengan tingkat return on equity hampir 29 persen pada 2011. Dengan laba yang besar, tentunya sektor korporasi Indonesia dianggap mampu membayar UMP yang lebih tinggi.

Namun para ekonom ini sering lupa bahwa tidak semua korporasi mencetak laba yang tinggi dan banyak korporasi yang labanya tinggi sudah mengupah buruhnya di atas UMP. Laba industri padat karya dan UKM tipis serta sangat rentan terhadap economic shocks, seperti kenaikan UMP dan harga BBM.

Di kubu yang berseberangan, ekonom pendukung pasar bebas tentu ada di pihak pengusaha. Dari sekitar 118 juta tenaga kerja Indonesia, sebanyak 6,1 persen menganggur dan 28,8 persen setengah menganggur. Artinya, 35 persen dari tenaga kerja Indonesia tidak memiliki pekerjaan full-time, sehingga banyak dari mereka yang sebetulnya bersedia bekerja full-time dengan upah di bawah UMP. Namun, karena adanya UMP, pasar buruh tidak bekerja selayaknya.

Perusahaan dapat mempekerjakan lebih banyak buruh jika bisa membayar mereka di bawah UMP, seperti yang terjadi di sektor informal. Kenaikan UMP yang tajam akan memperbesar sektor informal karena pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja di sektor formal bakal diserap di sektor informal dengan upah di bawah UMP.

Walau argumentasi mereka logis, ekonom pasar bebas sering lupa bahwa 55 persen dari ekonomi Indonesia adalah konsumsi masyarakat sehingga kenaikan UMP membantu daya beli masyarakat. Selain itu, kalaupun UMP dihapus, bukan berarti perusahaan akan mempekerjakan buruh sebanyak-banyaknya—bahasa kerennya kebutuhan pengusaha untuk buruh inelastis terhadap upah. Bisa saja mereka menekan upah buruh serendah-rendahnya untuk menaikkan laba, yang belum tentu direinvestasi di sektor riil tapi digunakan untuk membayar dividen yang lebih besar ke pemegang saham.

Bagi saya, buruh dan pengusaha memiliki argumentasi yang kuat. Namun ada satu faktor yang patut diangkat: peran pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sangat mudah bagi pengusaha, buruh, dan ekonom untuk menyalahkan pemerintah. Pertama, kenaikan KHL yang pesat disebabkan oleh lemahnya sarana transportasi umum serta jaminan sosial (kesehatan dan pendidikan) bagi buruh dan keluarganya, selain inflasi yang umumnya tajam di kota besar.

Kedua, jika infrastruktur lebih memadai serta bisa menekan biaya transportasi dan energi bagi industri, tentu biaya produksi bisa ditekan, yang akan memperbesar cadangan yang bisa digunakan untuk menyerap kenaikan UMP. Selain itu, jika biaya "siluman" dan birokrasi di pemerintah bisa ditekan, tentu cadangan ini bisa lebih besar lagi.

Ketiga, jika aparat keamanan cepat bereaksi, aksi sweeping buruh yang meresahkan investor dan masyarakat bisa dihindari. Tugas pemerintah untuk memastikan isu hubungan industrial tidak menjalar menjadi isu keamanan yang bisa meletus menjadi konflik sosial-politik. Sedangkan dalam hal UMP, pemerintah tidak bisa lepas tangan serta harus menjadi penengah yang efektif antara buruh dan pengusaha.

Kenaikan UMP 2013 sendiri tidak akan menghambat pertumbuhan investasi dan ekonomi Indonesia, yang diperkirakan naik dari 6,3 persen pada 2012 ke 6,5 persen pada 2013. Mengingat banyak industri yang biaya buruhnya mencakup kurang dari 15 persen dari biaya produksi dan upah pekerja di sebagian besar sektor informal di bawah UMP, kenaikan UMP hanya akan berdampak di sektor padat karya dan UKM yang membayar UMP.

Dampaknya terhadap inflasi secara nasional pun diperkirakan kecil, mengingat selalu ada impor murah yang bisa mensubstitusi barang produksi lokal yang lebih mahal. Inflasi diperkirakan naik dari 4,5 persen pada 2012 ke 5-5,5 persen pada 2013. Namun, jika faktor kenaikan UMP dan militansi buruh digabung dengan faktor pengganggu iklim investasi lainnya (seperti pembubaran BP Migas, ketidakpastian kenaikan harga BBM, pengungkitan kembali kasus Bank Century, serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang dianggap populis), akumulasi beberapa faktor mikro bisa berdampak negatif bagi potret makro Indonesia dan menghambat pertumbuhan investasi di bawah potensi di sektor riil.

Mengingat pula banyak pejabat negara yang memiliki agenda politik untuk Pemilihan Umum 2014, banyak dari mereka diperkirakan mengeluarkan kebijakan populis untuk mendongkrak popularitasnya walau mengabaikan logika ekonomi. Kita semua tentu berharap pemerintah tidak kehilangan fokus dalam kebijakannya sewaktu Indonesia melaju ke tahun pemilu.

*) Managing Director Standard Chartered Bank

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus